Jakarta- Pengamat Energi dari Energi Juang, Hizkia atau Hiski Darmayana menyatakan hilirisasi pertambangan merupakan amanat Presiden Pertama Republik Indonesia, Bung Karno.
Meskipun, sambung Hiski, dahulu Bung Karno dan pemerintahannya tak menggunakan istilah hiliriasi, melainkan industrialisasi sumber daya alam.
Hal itu dikatakan Hiski ketika menjadi pembicara dalam Diskusi Publik bertajuk “Hilirisasi Industri : Menguji Kesiapan dan Roadmap Agenda Hilirisasi SDA Indonesia serta Ancaman Larangan Impor Sawit dari Uni Eropa Bagi Kesejahteraan Masyarakat” pada Minggu 6 Agustus 2023. Diskusi secara virtual ini diselenggarakan Milenial Indonesia.
“Dalam Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana yang dirancang pemerintahan Bung Karno melalui Dewan Perencanaan Nasional pimpinan M Yamin pada 1960, industrialisasi sumber daya alam menjadi salah satu rencana utamanya. Dan itu ditegaskan lagi dalam Deklarasi Ekonomi 1963,” ungkap Hiski.
Industrialisasi itu, sambung Hiski, tiada lain merupakan hilirisasi sumber daya alam untuk menghentikan warisan buruk sistem ekonomi kolonial, yakni ekspor bahan mentah.
Hiski mengungkapkan, dalam pidato Tahun Vivere Pricoloso pada 17 Agustus 1964, Bung Karno mengungkapkan ciri-ciri ekonomi kolonial. Salah satunya adalah ekspor bahan mentah.
Sayangnya, upaya industrialisasi sumber daya alam ini terpotong ketika rezim Orde Baru pimpinan Soeharto berdiri.
“Industrialisasi atau hilirisasi ini terinterupsi ketika rezim Orde Baru berdiri. UU No.11/1967 tentang Pertambangan pun terbit, yang memposisikan pemerintah dengan perusahaan tambang secara setara, serta memberi ruang pada ekspor produksi pertambangan berupa bahan mentah,” ungkap Hiski.
Di era reformasi, lanjut Hiski, semangat hilirisasi itu kembali berkobar yang berujung pada pengesahan UU nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Amanat hilirisasi itu kembali diperkuat pasca revisi UU Minerba, yang kemudian melahirkan UU nomor 3 tahun 2020.
Larangan ekspor bijih nikel pun diberlakukan melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019.
Namun, ujar Hiski, komitmen pemerintahan Presiden Jokowi melakukan hilirisasi ternyata diganggu oleh ‘musuh lama’ nya, yakni kekuatan neokolonial.
“Gugatan Uni Eropa di WTO, lalu IMF melalui Article IV Consultation yang meminta Indonesia untuk mempertimbangkan potensi manfaat jangka panjang dari kebijakan hilirisasi, sehingga menurut mereka sebaiknya Indonesia menghapus secara bertahap pembatasan ekspor merupakan manifestasi dari gangguan neokolonial,” tegas Hiski.
“Namun apapun tantangan yang dihadapi hilirisasi pertambangan, negara ini tidak boleh melangkah mundur, melainkan harus bergerak maju. Hilirisasi pertambangan mampu membuat bangsa ini menyongsong bonus demografi 2035 serta Indonesia emas 2045,” tambah alumni GMNI itu.
Selain Hiski, turut berbicara dalam Diskusi tersebut yakni Eko Sulistyo (Komisaris Utama PT. PLN) serta Sureza Sulaiman (Ketua Umum Milenial Indonesia). Diskusi itu dipandu oleh Anja Hawari Fasya (Ketua Harian Milenial Indonesia).