Denpasar (Independensi.com) – Upaya untuk melindungi warisan budaya dan kearifan lokal di Bali menjadi semakin penting di tengah pesatnya perkembangan pariwisata. Dengan pemerintah yang berperan sebagai pengelola sumber daya negara, alokasi dana dari devisa pariwisata untuk keperluan pelestarian budaya menjadi langkah yang membumi dan strategis bagi pembangunan berkelanjutan Bali ke depan.
Sebuah inisiatif yang menarik perhatian ini mengundang pertanyaan tentang sumber dana dan siapa yang seharusnya bertanggung jawab. Lalu Bali akan minta Dana Bagi Hasil (DBH) 2 persen dari devisa pariwisata, lantas kepada siapa harus memintanya? Jika diminta ke pemerintah pusat, bagaimana perhitungannya? sebab selama ini pusat memperoleh dari pajak biasa seperti PPH dan PPN.
Diketahui, usulan dari anggota DPD RI Perwakilan Bali Gede Ngurah Ambara Putra, SH. ini juga telah disampaikan beberapa waktu lalu. kepada Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia setelah melakukan penyerapan aspirasi masyarakat Bali disaat rapat kerja komite I DPD RI dengan Kementerian Dalam Negeri RI pada 14 Mei 2024, disepakati bahwa terdapat urgensitas untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Pihaknya berharap inisiasi usulan ini dapat terealisasi dan diakomodir untuk kepentingan bersama dalam memajukan budaya, desa adat, dan subak di Provinsi Bali, serta meraih potensi ekonomi yang lebih baik melalui sektor pariwisata.
Menurutnya, keberadaan sumber daya budaya di Bali telah berkontribusi besar terhadap industri pariwisata. Pada tahun 2023, Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Bali mencapai Rp 275 triliun, di mana 70 persen di antaranya berasal dari devisa pariwisata.
“Usulan ini tidak hanya bertujuan untuk pelestarian budaya, namun juga untuk memastikan keberlanjutan industri pariwisata yang merupakan aset penting bagi pertumbuhan ekonomi Bali,” kata Ngurah Ambara.
Ambara berharap dengan adanya perubahan undang-undang ini nantinya usulan agar 2 persen dari Dana Bagi Hasil devisa pariwisata Bali dialokasikan untuk budaya dapat terwujud.
“Saya yakin dengan dukungan semua pihak, usulan ini dapat terwujud dan membawa manfaat bagi pelestarian budaya dan kesejahteraan masyarakat Bali,” terang Ambara.
Memang devisa pariwisata sekitar 180 Triliun itu tidak dicatat sebagai penerimaan kas dalam APBN, perlu diperjelas kembali, permohonan untuk mendapatkan 2% dari besaran potensi Devis pariwisata yang secara langsung berdampak pada PDB. Intinya bertujuan dalam rangka pelestarian budaya, adat dan subak. Karena secara faktual besaran potensi PDB di Bali 70% berasal dari besaran devisa pariwisata. Sehingga menjadi logis pengalokasian dana pelestarian yang dimohonkan dari pemerintah pusat. Nantinya melalui pajak yang dihasilkan dari berbagai transaksi ekonomi yang terkait dengan pariwisata, potensi pendapatan pajak dari besaran PDB yang signifikan dapat diraih.
Seperti halnya dari pembayaran pajak hotel hingga pengeluaran sehari-hari seperti membeli barang-barang lokal, setiap transaksi memicu pengumpulan pajak yang berkontribusi pada pendapatan negara. Dengan begitu, kendati anggaran yang diusulkan hanya sebesar 2%, dampak positifnya dapat terasa meluas melalui kontribusi ekonomi yang berlipat-lipat.
Hal ini dilakukan semata-mata sebagai upaya untuk melindungi warisan budaya dan kearifan lokal di Bali menjadi semakin penting di tengah pesatnya perkembangan di sektor pariwisata. (hd)