LEMBANG (IndependensI.com) – Keberadan petani muda menjadi fenomena dan harapan bagi pertanian Indonesia. Tren bertani tidak lagi dimiliki hanya karena profesi warisan dari orang tua. Bertani menjadi ladang bisnis menjanjikan. Penghasilan bertani bahkan mampu menyaingi gaji PNS bahkan pegawai swasta.
Ulus Pirmawan, salah satu sosok petani sayur yang sukses dan tidak bisa dianggap sebelah mata. Beliau merupakan seorang tokoh pemuda tani yang berjuang di sektor pertanian. Ulus berdomisili di Kampung Gandok, Desa Suntenjaya, Cibodas – Lembang. Kerja kerasnya mampu menunjukkan bahwa petani bisa berkembang.
Setelah beranjak dewasa, Ulus Pirmawan banyak belajar mengenai pertanian, baik yang diadakan oleh Dinas Pertanian maupun lembaga atau perusahaan yang kompeten dengan dunia pertanian. Dirinya pernah menjadi supplier dan pada tahun 2005 mendirikan Kelompok Tani Baby French.
“Setelah sukses dengan Kelompok Tani Baby French, saya kembali dirikan gabungan kelompok tani yang diberi nama Wargi Panggupay,” kata Ulus di Lembang, Sabtu (220/09/2018).
Wargi Panggupay membawahi delapan kelompok tani produktif. Seluruh kelompok tani ini berperan aktif dan terlibat langsung dalam program tanam. Wargi Panggupay juga melakukan kerja sama dan menjalin kemitraan dengan Eksportir. “Yaitu PT Alamanda Sejati Utama, Fortuna Agro Mandiri (Farm/Multi Fresh) dan supplier supermarket,” tutur Ulus.
Menurutnya, sebagai penerus bangsa, pemuda itu bisa lebih terbuka ke bidang pertanian. Pertanian itu lebih menjanjikan, bisa atur waktu kerja sendiri dan penghasilannya bagus. “Pasar dalam negeri masih membutuhka. Peluang di pasar ekspor juga masih terbuka luas. Indonesia harus jadi lumbung pangan dunia”, tambah Ulus.
Selain Ulus, Doni Pasaribu, seorang sarjana pertanian yang memutuskan sepenuh hati memilih pertanian sebagai jalur bisnis.
Bermodal pengalaman dan pengetahuan, usahanya terus berkembang menjadi ladang bisnis menguntungkan, berkelanjutan dan berkesinambungan. Bahkan dirinya mampu meregenerasi anak – anak muda di sekitarnya untuk giat bertani.
“Ini adalah panggilan hati. Dulu orang bertani karena keturunan. Sekarang saya sendiri memilih jadi petani”, sebut Doni.
Dirinya juga merasa prihatin apabila lahan pertanian tidak dimaksimalkan. Pemuda berusia 22 tahun ini nyaman dengan profesi sebagai petani karena memiliki fleksibilitas waktu namun tetap berpenghasilan mencukupi.
“Kalau lahan pertanian tidak digunakan bertani maka lahan yang ada lama – lama bisa habis. Inilah kesempatan menghancurkan doktrin negatif bertani sulit kaya. Bertani bisa sukses. Sayang kalo sarjana pertanian tapi tidak bertani. Penghasilan saya memang di bawah Pak Ulus tapi penghasilan saya bisa melebihi dari seorang PNS”, ucapnya penuh semangat.
Ada sosok lain di samping Doni. Seorang lulusan SMK Komputer. Meski baru berusia 21 tahun, Umbara sudah mampu mengisi pasokan pasar retail wilayah Bandung sampai Jakarta.
“Seharusnya menjadi petani itu bangga. Di sini banyak orang tuanya yang petani tapi anaknya tidak mau bertani. Kita harus meningkatkan potensi diri. Pendapatan minimal saya Rp 200 ribu per hari”, jelas Umbara ketika ditanyakan berapa nilai penghasilannya.
Dirinya menjelaskan bahwa penghasilan sebesar itu adalah angka minimal yang dapat diperolehnya sehari – hari. Tidak jarang dia mampu menghasilkan berkali – kali lipat. Pemuda asli Desa Suntenjaya meyakini bahwa dirinya tidak akan beralih profesi.