NEW YORK (IndependensI.com) – Selama empat tahun Asosiasi Tenis Amerika Serikat (USTA) bekerja keras untuk mengembalikan sukses tenis Amerika Serikat (AS) di bawah kendali semangat “Make American Tennis Great Again”. Lolosnya empat petenis putri AS di babak semifinal ajang grand slam US Open menjadi awal sukses USTA untuk menelurkan prestasi dari jargon tersebut.
Sukses ini adalah untuk kali pertama sejak tahun 1981 saat Tracy Austin, Chris Evert, Martina Navratilova dan Barbara Potter menguasai babak empat besar di US Open. Dengan demikian, prestasi ini memastikan satu gelar dimiliki oleh petenis Paman Sam pada laga final, Minggu (10/9).
Selama empat tahun, USTA sudah kenyang dengan bermacam kritik dan tekanan dari para penikmat tenis menyusul minimnya prestasi petenis putri AS. Era dari duo Williams, Serena dan Venus bisa dikatakan sudah habis. Sedangkan regenerasi petenis di bawahnya terhambat, menyusul dominasi keduanya di ajang tenis dunia hingga grand slam. Boleh dibilang paceklik prestasi petenis lokal kala grand slam US Open digelar.
Babak empat besar kali ini diisi oleh petenis kawakan Venus Williams, petenis muda Madison Keys, diikuti Sloane Stephens dan CoCo Vandeweghe. Ketiga petenis muda yang masih berusia 20-an inilah yang menjadi cikal bakal kebangkitan prestasi tenis AS. Babak final tenis putri US Open akan memainkan Keys melawan Stephens. Uniknya, Stephens yang berlaga dari babak kualifikasi dan menjadi petenis nonunggulan, malah sukses menuju babak final. Satu gelar dipastikan milik AS.
Dari catatan yang ada, sulit untuk terjadi dimana babak semifinal diisi para petenis dari satu negara. Tahun 1985 di Wimbledon, Navratilova, Evert, Zina Garrison dan Kathy Rinaldi juga menempati babak semifinal.
“Sebenarnya saya sangat pesimistis bisa mencapai babak semifinal. Sebab persaingan di US Open sangat ketat. Belum lagi dengan adanya persaingan antar petenis AS sendiri,” ujar Keys seperti dikutip dari Reuters, Jumat (8/9). “Bermain hingga babak final adalah luar biasa. Menjalani laga sesama AS pastinya membanggakan sekaligus menegangkan,” imbuhnya. Dirinya berharap, dengan prestasi ini bisa memberikan motivasi bagi petenis muda AS untuk bisa berprestasi lebih, tidak hanya di daratan Amerika tetapi di seluruh dunia.
Sementara itu, Stephens yang nyaris selama satu musim absen karena operasi kaki, tidak menyangka bisa merangkak naik ke final. Peringkatnya yang terjun bebas hingga angka 950 WTA dipastikan mengendurkan niat dan semangatnya. Keys pun demikian, dia sempat absen dua bulan menyusul rekondisi dari operasi cedera pergelangan tangan. Sedangkan Vandeweghe bermasalah dengan pelatih saat di French Open, malah cemerlang setelah ditangani mantan petenis Australia, Pat Cash.
“Semua butuh proses. Setiap atlet pasti punya cara masing-masing,” ungkap Rinaldi yang kini menjadi kepten tim Piala Fed AS sekaligus pelatih nasional. Menurutnya, Serena dan Venus sukses menjadi motivator terbaik bagi para petenis muda. Kendati keduanya sangat dominan, tetapi para petenis muda ini bisa menuai prestasi, tentunya dengan cara dan upaya masing-masing.
Segala cara dan upaya sudah dilakukan para petenis muda ini untuk keluar dari bayangan duo Williams memang tidak mudah. Apalagi kedigdayaan Serena yang sulit untuk dipatahkan di lapangan serta strategi dalam memilih turnamen, sudah menjadi jaminan mutu. Dalam kancah tenis, prestasi buka dilihat dari menang-kalah semata, tetapi kesuksesan yang berlangsung secara kontinyu dan berkesinambungan. Jadi perlu dijadikan catatan, kesuksesan di kandang hendaknya bisa berlanjut di ajang tenis lainnya, baik kelas grand slam maupun turnamen reguler sepanjang musim. Sekali lagi, hanya duo Williams yang bisa mempertahankan peak performance demi meraih prestasi terbaik, walau dalam kondisi cedera sekalipun.