Independensi.com – Dari Januari sampai Maret 2019, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan empat kali Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap beberapa orang yang terlibat kasus suap-menyuap. Dalam bulan Maret saja KPK melakukannya sebanyak tiga kali.
Tanggal 24 Januari 2019, Bupati Mesui Provinsi Lampung, Khamami SH terjaring OTT KPK dalam dugaan suap atas proyek infrastruktur di Dinas PUPR kabupaten Mesuji.
Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Ir. Romahurmuzy dicokok KPK dalam suatu operasi OTT di Surabaya 15 Maret 2019 diduga menerima suap berkaitan dengan jual-beli jabatan di lingkungan Kementerian Agama RI.
Direktur Produksi dan Teknologi PT Krakatau Steel Tbk Wahyu Kuncoro, terjaring tanggal 22 Maret 2019 dengan dugaan terlibat suap menyuap dalam pengadaan alat-alat berat dengan nilai proyek Rp 28 miliar.
Lima hari kemudian anggota Komisi VI DPR yang juga calon legislatif dari Jawa Tengah, Bowo Sidik Pangarso di-OTT KPK di Jakarta dalam kaitan jasa pengangkutan amoniak oleh perusahaan PT Humpuss Transportasi Kimia.
Bersama para tokoh tersebut, ikut juga beberapa orang ditahan KPK terkait OTT-OTT yang terjadi dalam tiga bulan lalu.
Pertanyaannya, apakah KPK semakin hebat meng OTT kasus dalam empat bulan atau rakyat yang semakin sadar melaporkan atas terjadinya suap-menyuap yang dilakukan oleh para penyelenggara negara dengan merugikan keuangan negara dengan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi?
Pertanyaan itu semakin penting selama sisa kampanye ini termasuk pada penyelenggraan pemungutan suara tanggal 17 April mendatang. Sebab ada bukti bahwa dana oleh Bowo Sidik Pangarso sebanyak Rp. 8 miliar dimasukkan dalam 40 ribu amplop uang rupiah pecahan 20.000 dan 50.000 yang konon diduga akan digunakan “peluru” pada serangan fajar nanti. Penyelenggara Pemilu juga perlu mensiasati apakah ada yang melakukan serangan fajar?
Namun pertanyaan penting saat ini adalah, apakah OTT masih perlu dilakukan KPK? Jawabnya,Harus bahkan harus ditingkatkan. Korupsi sebagai musuh bangsa, masyarakat dan negara harus diberantas. OTT sebagai salah satu cara memberantas korupsi, apa salahnya? Karena kalau tidak terbukti terlibat suap menyuap, maka para pelaku ditangkap, yang tidak terlibat atau tidak ada bukti secara hukum, tokh demi hukum pula harus dilepaskan dan dibebaskan.
OTT sah-sah saja dilakukan untuk memberantas korupsi sepanjang tidak melangggar Undang-undang, etika dan moral yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, baik itu preventif maupun represif.
Mereka yang terkena OTT adalah kaum intelektual kalau tidak terlibat silahkan menalwan sesuai hukum, apa yang dilakukan tidak melanggar Undang-undang, fungsi, tugas dan tanggung jawabnya, sumpah jabatan serta pakta integritas yang dilakukannya.
Seseorang yang melanggar peraturan perundang-undangan, wajar saja terkena OTT dan mempertanggungjawabkannya. Terkena OTT bukanlah suatu kecelakaan atau suatu musibah, melainkan suatu akibat dari perbuatan yang diketahui sebagai perbuatan terlarang karena dilakukan, wajar saja terkena OTT.
Artinya, menurut akal sehat bahwa OTT itu harus didukung dan harus simultan dilakukan Penegak Hukum seperti Kepolisian Negara dan Kejaksaan Agung tidak hanya oleh KPK serta harus didukung aparat serta instansi pemerintah.
Dalam peningkatan OTT itu seyogyanya semua institusi penegak hukum dan instansi pemerintah mengedukasi masyarakat bagaimana melaporkan dugaan terjadinya korupsi serta men-sosialisasikan penyampaian laporan serta persyaratan dan klasifikasi yang dibutuhkan.
Dengan aktifnya masyarakat mulai dari tingkat pedesaan sampai nasional apabila memiliki kesadaran yang tinggi dalam melaporkan sesuai dengan prosedur, melaporkan adanya dugaan korupsi, tidak karena benci atau irihati apalagi karena balas dendam, akan meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap korupsi.
Ke-empat kasus di atas, dugaan korupsi tersebut muaranya adalah merugikan rakyat. Korupsi dalam proyek infrastruktur di Mesuji, jual beli jabatan di Kemenag, pengadaan alat berat di PT Krakatau Steel serta pengangkutan amoniak di PT Humpuss semua yang akan menanggung akibat buruknya adalah masyarkat dengan merugikan keuangan negara yang menguntungkan diri para pelaku atau orang lain atau suatu korporasi.
Karenanya, untuk menyelamatkan masyarakat, bangsa dan negara dari tangan para pelaku korupsi di masa datang, OTT oleh penegak hukum seyogyanya ditingkatkan. (Bch)