JAKARTA (Independensi.com) – Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin menghimbau dua kubu pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (Presiden Joko Widodo – Ma’ruf Amin di nomor urut 1 dan Prabowo Subianto – Sandiaga Salahudin Uno di nomor urut 2) menghindari isu keagamaan seperti penyebutan khilafah.
Menurut Din Syamsudin, tudingan mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), A.M. Hendropriyono di Jakarta, Kamis, 28 Maret 2019, dimana disebutkan pelaksanaan Pemilihan Umum Presiden, Rabu, 17 April 2019, merupakan pertarungan kelompok ideologi Panacasila dengan paham kekhilafahan, merupakan bentuk politisasi agama yang cenderung menjelekkan.
Tidak pelak lagi, tudingan seakan dialamatkan kepada masa pendukung calon nomor urut dua, yaitu Prabowo Subianto – Sandiaga Salahudin Uno, karena bentuk ketidakpuasan terhadap petahana nomor urut 1 atas nama Presiden Joko Widodo – Ma’aruf Amin.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) pada Rabu, 19 Juli 2017, telah mengeluarkan Surat Keputusan pencabutan badan hukum bagi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) karena bertentangan dengan ideologi Pancasila.
Surat Keputusan didasarkan pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017, karena HTI dinyatakan menganut paham khilafah yang bertentangan dengan Pancasila.
Din Syamsudin, menjelaskan, walaupun di Indonesia khilafah sebagai lembaga politik tidak diterima luas, tetapi khilafah yang disebut dalam alquran adalah ajaran Islam. Manusia mengemban misi menjadi wakil Tuhan di bumi (khalifatullah fil ardh).
Pernyataan Din Syamsudin, dibantah staf pengajar Filsafat Universitas Indonesia, Jakarta, Donny Gahral Adian, karena paham khilafah memang bertentangan dengan ideologi bangsa yaitu Pancasila.
Pancasila itu ideologi bangsa. Dalam Pancasila terkandung nilai nasionalisme pada sila ketiga dan demokrasi sila keempat.
Khilafah yang dipertentangkan dengan Pancasila bukan keyakinan melainkan ideologi politik. Ideologi politik yang bertentangan dengan sila dalam Pancasila. Khilafah yang dipertentangkan bukan keyakinan melainkan ideologi sebuah organisasi yang di banyak negara sudah dilarang.
“Mempertentangankan khilafah dan Pancasila sudah tepat dan akurat, sebab Pancasila merupakan ideologi bangsa, bukan keyakinan. Khilafah sebagai ideologi politik yang ingin mengganti Pancasila sebagai pemersatu bangsa kita tolak,” ujar Donny Gaqhral Adian.
Menurut Donny, pertarungan antara negara Islam dan negara Pancasila selesai dalam wacana. Namun belum selesai dalam arena politik. Buktinya beberapa organisasi masih memperjuangkan Negara Islam.
A.M. Hendropriyono, tentu tidak sembarangan mengeluarkan pernyataan. Karena jauh sebelumnya, sepanjang tahun 2016, misalnya, satu tahun sebelum HTI dibubarkan (2017), Ketua Pengurus Besar Nahdatul Ulama, K.H. Aqil Said Siradj, sudah memperingatkan Presiden Joko Widodo, agar menutup sebagian pesatren yang menganut paham khilafah, karena anti Pancasila.
Malah kuasa hukum HTI, Yusril Ihza Mahendra, dalam sidang gugatan di Pengadilan Tata Usaha Jakarta, Kamis, 31 Agustus 2017, mengatakan, kalau video rekaman tahun 2013, sebagai salah satu bukti pembubaran HTI, mestinya sudah harus dibubarkan Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Indonesia dua periode, 2004 – 2014.
Jatidiri bangsa
Indonesia, dilahirkan Presiden Soekarno, berurat berakar ideologi sosialis, dimana sudah disesuaikan dengan alam dan budaya Bangsa Indonesia, yaitu Pancasila.
Di dalam ideologi Pancasila, karakter segenap komponen masyarakat di Indonesia, harus berdasarkan jadiri diri bangsa, yaitu berdasarkan adat dan budaya yang berkembang di dalam negeri.
Karena itulah, beberapa bulan sebelum meninggal dunia di Jakarta, 21 Juni 1970, Soekarno yang diberhentikan jadi jabatan Presiden terhitung 22 Juni 1966, menyampaikan pesan, bahwa jatidiri bangsa Indonesia adalah jatidiri nusantara.
Kalau orang Indonesia, memeluk Agama Kristen, pesan Soekarno, jangan seperti orang Yahudi, karena Agama Kristen berurat berakar dari Kebudayaan Suku Bangsa Yahudi di Timur Tengah.
Kalau orang Indonesia, memeluk Agama Hindu, jangan menjadi orang India, karena agama Hindu berurat berakar dari Kebudayaan India. Demikian pula kalau orang Indonesia menganut Agama Islam, jangan menjadi orang Arab karena Agama Islam berakar dari Kebudayaan Arab di Timur Tengah.
Soekarno sangat mengerti pemahaman anthropologi budaya, bahwa kebudayaan melahirkan agama, agama adalah produk budaya. Kebudayaan masyarakat dalam satu kawasan kemudian terbukti melahirkan agama samawi, agama bumi dan atau agama tradisi besar.
Itulah sebabnya, Presiden Soekarno, memutuskan status Daerah Istimewa Yogyakarta terhitung 19 Agustus 1945, karena Yogyakarta dinilai sebagai sumber peradaban Kebudayaan Suku Jawa di Indonesia.
Kebudayaan Suku Jawa, itu, kemudian, melahirkan agama asli Suku Jawa, berurat berakar dari legenda suci Suku Jawa, mitos suci Suku Jawa, adat istiadat Suku Jawa dan hukum adat Suku Jawa.
Agama asli setiap suku bangsa di dunia, menurut Presiden Soekarno, sebuah bukti kecerdasan dan ketinggian budaya masyarakat. Karena itu, agama impor yang dianut, harus dimaknai sebagai sebuah keyakinan iman, dan agama asli yang berurat berakar dari legenda suci, mitos suci, adat istiadat hukum adat, sebagai filosofi dan ideologi beretika berperilaku.
Ideologi dan filosofi personil masing-masing suku bangsa di Indonesia, harus menginduk kepada ideologi politik yaitu Pancasila, sebagai sebuah produk politik semenjak kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945.
Kemudian pula, sebelum konfrontasi dengan Malaysia, tahun 1962, Presiden Soekarno, pernah bertapa di Gunung Bawakng di Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat, sebuah gunung suci di dalam Agama Karimawatn, salah satu agama asli Suku Dayak Kanayatn.
Keputusan Presiden Soekarno bertapa di puncak Gunung Bawakng, Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat, tahun 1962, karena proklamator, itu, sangat menghargai Kebudayaan Suku Dayak yang melahirkan agama asli Suku Dayak, berurat berakar dari legenda suci Dayak, mitos suci Suku Dayak, adat istiadat Suku Dayak dan hukum adat Suku Dayak.
Soekarno menegaskan, agama impor yang dianut segenap lapisan masyarakat di Indonesia, sebagai keyakinan iman dan agama asli berbagai suku bangsa di Indonesia sebagai upaya memperkaya ideologi dan filosofi beretika berperilaku.
Jadi keduanya (agama impor sebagai keyakinan iman dan agama asli sebagai filsofi), mesti dimaknai dalam konteks yang berbeda, agar terbebas dari tudingan mencampur-adukkan ajaran agama.
G30 1965
Sayangnya, kepribadian masyarakat Bangsa Indonesia, runtuh, dan kemudian terlalu mendewakan agama impor sejak pemberontakan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD).
Pemberontakan TNI-AD dimotori Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Letjen TNI Soeharto, dibiayai Central Intelijen Agency Amerika Serikat (CIA AS), melalui Gerakan 30 September (G30S) 1965, dimana kemudian dituding Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalangnya.
Soeharto menjadi Presiden Indonesia, per 1 Juli 1966 – 21 Mei 1998, menandai kejayaan ideologi liberalis, merasuki alam pikiran segenap lapisan masyarakat Indonesia. Masyarakat di Indonesia pun, ikut berpola-pikir kebarat-baratan.
Bahkan Pemerintah Republik Indonesia, merasa berhak untuk menentukan agama seseorang. Kementerian Agama, kemudian membuat sebuah kriteria agama, semata-mata berdasarkan kemapanan infrastruktur dari agama impor yang tumbuh dan berkembang di Indonesia.
Konsep trilogi kehidupan bernegara sebagai rujukan peradaban berbagai suku bangsa di Asia, yaitu hormat dan patuh kepada leluhur, hormat dan patuh kepada orangtua, serta hormat dan patuh kepada negara, sudah tidak dipedulikan lagi.
Ini membuat budaya impor mengedepankan kesalehan individu, dan dalam kiprah kesehariannya mengedepankan tindak kekerasan, tumbuh marak. Ideologi Islam garis keras, yakni kehilafahan tumbuh marak.
Ideologi sejenis kekhilafahan, memang tumbuh marak di era Pemerintahan Soeharto, 1 Juli 1966 – 21 Mei 1998. Cuma paham Islam garis keras, tidak sampai muncul ke permukaan, karena Pemerintahan Presiden Soeharto bertindak dan bersikap represif.
Di era demokratisasi ditandai kejatuhan Presiden Soeharto, 21 Mei 1998, ideologi Islam garis keras muncul bagaikan cendawan di musim hujan, semata-mata karena tidaktegasan pemerintah.
Akibatnya, agama asli berbagai suku bangsa di Indonesia, berurat berakar dari legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat, sudah tidak lagi menjadi filosofi dan ideologi beretika berperilaku.
Filosofi dan ideologi sebagian masyarakat di Indonesia, pasca G30S 1965, tanpa filter, menginduk kepada doktrin atau aqidah agama impor, sehingga berbenturan sangat tajam dengan ideologi Pancasila, seperti halnya ideologi Islam garis keras, yakni kekhilafahan.
Ironisnya, ketika pemerintahan Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perppu Nomor 2 Tahun 2017, bentuk tindakan tegas dan keras terhadap kelompok Islam garis keras, kemudian muncul tudingan bahwa mantan Gubernur Daerah Khusu Ibu Kota Jakarta, itu, sebagai bagian tidak terpisahkan dari keturunan PKI.
Itulah pesan Pancasilais ingin disampaikan mantan Kepala BIN, A.M. Hendropriyono, bahwa Pemilu Presiden, Rabu, 17 April 2019, merupakan pertarungan ideologi Pancasila melawan ideologi Kekhilafahan dari kelompok Islam garis keras.(Aju)