JAKARTA (Independensi.com) – Aksi rusuh massa komplotan Calon Presiden nomor urut 02 Letjen (Purn) Prabowo Subianto – Sandiaga Salahudin Uno, Jakarta, 21 – 22 Mei 2019, menunjukkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) diklaim merampas kemapanan sejarah perpolitikan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD).
Keluarga Besar TNI-AD tidak rela seorang sipil, berlatar-belakang tukang mebel, mantan Wali Kota Solo, mantan Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta, Jokowi (57 tahun), kembali terpilih menjadi Presiden Indonesia, periode kedua, 2019 – 2024, berpasangan dengan K.H. Ma’aruf Amin (juga seorang sipil).
Kemarahan lantaran Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU-RI), di Jakarta, Selasa dinihari, 21 Mei 2019, menggelar sidang paripurna menetapkan pasangan nomor urut 01 atas nama Calon Presiden Joko Widodo – K.H. Ma’aruf Amin, sebagai pemenang Pemilu Presiden, Rabu, 17 April 2019.
Dari perolehan suara, pasangan Jokowi – K.H. Ma’aruf Amin, unggul jauh, sekitar 16 juta suara dengan pasangan nomor urut 02 atas nama Prabowo Subianto – Sandiaga Salahudin Uno.
Karena merasa kemapanan sejarahnya dirampas, Keluarga Besar TNI-AD, berulah, bertingkah, berkomplot, bersekutu dengan kelompok radikal eks Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI) dalam aksi rusuh massa di Jakarta, 21 – 22 Mei 2019, sehingga Polisi Republik Indonesia (Polri) berhasil menciduk 257 tersangka, dan 8 orang perusuh dilaporkan tewas saat menyerang Asrama Brigade Mobil (Brimob) Polri, Jakarta.
Penangkapan Soenarko
Ketidakpuasan terhadap Jokowi, bisa dilihat dari ditangkapnya Mayjen (Purn) Soenarko (65 tahun), mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Danjen Kopassus) TNI-AD (2007 – 2008), dalam kepemilikan senjata api illegal, M4 Carbine, produksi Amerika Serikat, dan tuduhan makar, di Jakarta, Senin malam, 20 Mei 2019.
Inilah yang membuat geram para senior Keluarga Besar TNI-AD. Di samping menuding praktik kriminalisasi terhadap Soenarko, Keluarga Besar TNI-AD, mempersalahkan pemberitaan media, sehubungan tuduhan makar dialamatkan kepada Soenarko.
“Jangan hina kami para purnawirawan dengan makar. Kami punya apa? Saat ini persis menjelang 1965. Para ulama ditangkapi, dibunuh, dan muncul Dewan Jenderal yang ujungnya para jenderal Angkatan Darat dibunuh dan dibuang di lubang buaya,” ujar Letnan Jenderal (Purn) Johanes Suryo Prabowo (64 tahun), mantan Kepala Staf Umum Tentara Nasional Indonesia (TNI), 2011 – 2012.
Johanes Suryo, meminta media jangan mudah menuduh dengan mengutip pernyataan orang. “Saya sakit hati dengan pemberitaan soal penangkapan Soenarko,” tegas Johanes Suryo.
Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis Tentara Nasional Indonesia (BAIS TNI) periode 1997 – 1999, Mayjen (Purn) Zacky Anwar Makarim (71 tahun), turut melampiaskan amarahnya.
“Saya dua puluh tahun berdinas di Kopassus, saya terpanggil ada komandan jenderal Kopassus akan diadili soal makar,” kata Zacky saat menghadiri konferensi pers yang digelar tim kuasa hukum mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus Mayjen (Purn) Soenarko di Hotel Atlet Century Park, Senayan, Jakarta, Jumat, 31 Mei 2019.
Zacky mengaku mendapat kunjungan dari ratusan purnawirawan Kopassus yang tinggal dari sejumlah daerah. Ada yang dari Serang, Banten, Jawa Barat, Solo, Jawa Tengah, dan Jakarta.
Zacky mengatakan ada pula purnawirawan Kopassus generasi yang amat senior, yaitu Trikora. Para purnawirawan Kopassus, itu, menyampaikan kerisauan luar biasa atas penangkapan dan penahanan Soenarko.
Keluarga Besar TNI-AD, kemudian mempersoalkan penangkapan Mayjen (Purn) Kilvan Zen (72 tahun), Kamis, 30 Mei 2019, atas tuduhan aksi makar dan kepemilikan senjata api illegal.
Insiden 1965 dan 1998
Protes Keluarga Besar TNI AD, atas penangkapan Soenarko, dan Kivlan Zen, sulit diterima secara akal sehat kalangan masyarakat kebanyakan.
Karena keduanya, sebelumnya, cukup gencar memprovokasi masyarakat untuk mengepung Kantor KPU-RI dan Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia (Bawaslu RI), apabila Jokowi – Ma’aruf dinyatakan keluar sebagai pemenang Pemilu Presiden tahun 2019. Aksi keduanya, pada dasarnya sudah mememuhi unsur makar.
Soenarko dan Kivlan Zen, bahkan menuding KPU RI tidak netral, karena dalam perhitungan perolehan suara, Jokowi, selalu menggungguli Prabowo Subianto.
“Kalau tanggal 22 diumumkan Jokowi menang, kita lakukan tutup dahulu KPU, mungkin ada yang tutup Istana dengan Senayan, tapi dalam jumlah besar. Kalau jumlah besar, polisi juga bingung. Kalau tentara, yakin dia tidak akan bertindak keras,” ujar Soenarko, dalam video rekaman durasi 2,5 menit yang tersebar di media sosial.
Kivlan Zen, malah memimpin aksi demonstrasi meminta KPU RI mendiskualifikasi pasangan Jokowi – Ma’aruf, karena dalam pencoblosan Rabu, 17 April 2019, dituding melakukan kecurangan secara terstruktur dan masif.
Akan tetapi kalau dilihat dari latarbelakang sejarah TNI AD, tidaklah terlalu mengherankan. Gerakan 30 September (G30S) 1965, misalnya, dibekingi Central Inteligence Agency Amerika Serikat (CIA AS), adalah bukti kudeta TNI AD atas kepemimpinan Presiden Soekarno.
Dampak G30S 1965, Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostroad), Letjen TNI Soeharto, melenggang mulus menjadi Presiden Indonesia, terhitung 1 Juli 1966 hingga 21 Mei 1998.
Insiden kejatuhan Presiden Soeharto, melalui gerakan massa, 21 Mei 1998, terwujud, setelah TNI AD, tidak sepenuhnya mendukung kelembagaan Polri di dalam mencegah ribuan massa menduduki Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI).
Bahkan para petinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), memilih berada ke luar dari Jakarta, saat ribuan massa menududuki Gedung DPR-RI, sehingga Presiden Soeharto, memutuskan mundur terhitung 21 Mei 1998.
Polri, ketika itu, tidak berani melakukan langkah lebih lanjut, karena institusi baju coklat, ini, masih berada di bawah ABRI (Polri, TNI Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara).
Presiden Jokowi, tentu, belajar dari pengalaman pergantian kepemimpinan nasional secara tidak wajar pada tahun 1965 dan 1998.
Karena itu, Jokowi, terlebih dahulu, meyakinkan institusi Badan Intelijen Negara (BIN), BAIS TNI, TNI dan Polri, sepenuhnya mendukung pemerintahan yang sah.
Menghadapi grand design kerusuhan, mengarah ke pemberontakan dan makar yang disampaikan BIN, BAIS TNI, TNI dan Polri, Presiden Jokowi mengambil langkah strategis. Upaya mendalami gerakan intensif dilakukan. Fungsi intelijen diaktifkan.
Presiden Jokowi melakukan instruksi operasi kontra-intelijen. Informasi awal yang sangat rapi didalami. Para senior di bidang intelijen turun gunung. Kelompok senior intelijen, seperti Mayjen (Purn) Marciano Norman, Mayjen (Purn) Muchdi PR, sampai Jenderal (Purn) Abdullah Mahmud Hendropriyono dan yang lainnya bergerak cepat. Informasi untuk mengendus soliditas TNI dan Polri menjadi prioritas Jokowi.
Operasi kontra intelijen Jokowi, sukses, bagaikan bisul yang dipaksa pecah, sebelum saatnya. Soenarko, Kivlan Zen, dan tokoh pengusung diberlakukan Piagam Jakarta, Eggy Sudajana, ditangkap, membuat komplotan Prabowo Subianto ribut sendiri, bagaikan kera kena belacan (terasi).
Jaringan logistik aksi rusuh massa, terendus, sehingga aksi sangat cepat diredam, dimana 257 ditangkap, dan 8 orang dilaporkan tewas dalam bentrokan.
Ketidakrelaan TNI AD
Belajar dari manuver Keluarga Besar TNI-AD dalam insiden tahun 1965, 1998 dan terakhir, 21 – 22 Mei 2019, membuktikan ada sikap ketidakrelaan kalangan Keluarga Besar TNI-AD di Indonesia, terhadap keberadaan masyarakat sipil sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan nasional.
Soekarno digulingkan, karena tidak sejalan dengan TNI-AD, tentang konsep kemandirian bangsa, pada saat TNI AD bekerjasama dengan CIA AS membangun Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad) tahun 1951.
TNI AD, mulai menunjukkan ketidaksukaan terhadap Prsiden Soeharto, lantaran memilih figur seorang sipil, yakni Baharudin Jusuf Habibie sebagai Wakil Presiden tahun 1997.
Penetapan BJ Habibie sebagai Wakil Presiden, memunculkan turbulensi politik terus meninggi melalui pembiaran berbagai aksi demonstrasi, sehingga Presiden Soeharto memilih mundur terhitung 21 Mei 1998.
Turunnya Presiden Soeharto, kemudian diganti BJ Habibie, ternyata hanya bertahan tidak lebih dari dua tahun, 1998 – 1999. Hasil Pemilu 1999, K.H. Abdurahman Wahid dipilih menjadi Presiden, terus mendapat goncangan, karena ingin secepatnya menghapus peran TNI AD di bidang politik.
Saat Megawati Soekarnoputri menggantikan K.H. Abdurahman Wahid sebagai Presiden Indonesia tahun 2001, turbulensi politik mencuat dengan muncul fatwa tidak wajar Majelis Ulama Indonesia (MUI), tentang haram hukumnya memilih kembali Presiden Indonesia berjenis kelamin perempuan.
Dampak fatwa tidak wajar, membuat mantan Menteri Kordinator Politik dan Keamanan, Jenderal (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono dari latarbelakang TNI-AD, melenggang mulus menjadi Presiden Indonesia tahun 2004 selama dua periode hingga tahun 2014.
Ketika Jokowi dipilih menjadi Presiden Indonesia tahun 2014, goncangan politik terus meningkat dan kelompok Islam garis keras, yaitu HTI dan FPI, terus menggeliat, bersamaan dengan tudingan putera asal Solo, itu, sebagai keturunan keluarga Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tidaklah mudah mencari mencari siapa sebetulnya aktor intelektual di balik penyebaran berita bohong terhadap Keluarga Besar Presiden Joko Widodo, dibarengi aksi rusuh Jakarta, 21 – 22 Mei 1998, apabila kita mencermati situasi yang terjadi menjelang, tengah dan sesudah insiden G30S 1965, kemudian belajar dari pengalaman kejatuhan Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998.
Itu, lebih didasarkan, faktor ketidakrelaan Keluarga Besar TNI AD, terhadap supremasi sipil sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pemerintahan di Indonesia. Bisa dilihat dari menciptakan stabilitas politik nasioanal pemerintahan Presiden Jenderal (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono, 2004 – 2014.
Binatang Politik
Ketidakrelaan Keluarga Besar TNI AD terhadap Joko Widodo dan K.H. Ma’aruf, dari kalangan sipil menjadi Presiden Indonesia, 2019 – 2024, bisa dicermati dari istilah filsuf berkebangsaan Yunani, yaitu Aristoteles.
Menurut Aristoteles, manusia secara alamiah adalah binatang politik (political animal). Oleh karena itu, kita harus memahaminya dari sudut itu.
Tendensi untuk bertahan sebagai binatang juga, kata kolumnis Ninoy N Karundeng, kita harus hargai. Salah satunya adalah hak untuk mencari makan. Politik adalah kekuasaan, politik adalah uang. Uang adalah alat tukar untuk dapat duit beli makan dan atau tunjukkan status sosial seorang politisi dan atau status kejantan atau kebetinaan para politisi.
Maka menurut ilmu kebinatangan politik (animal political science), segala perilaku politik itu sah dan benar. Di dalam berpolitik, persepsi politik jauh lebih penting ketimbang fakta politik. Kebohongan yang diungkap berkali-kali melalui penyebaran berita bohong dari komplotan Praboso Subianto, akan menjadi sebuah keberan mutlak, sejauh tidak ada upaya pihak lain melakukan klarifikasi.
Di sinilah kehebatan Jokowi menghadapi gaya menyerang membabi-buta komplotan mantan Danjen Kopassus, Letjen (Purn) Prabowo Subianto.
Komplotan Prabowo, merasa sangat yakin, bisa menjungkalkan Jokowi – Ma’aruf Amin, dengan melakukan aksi people power sebagaimana terjadi tahun 1998, tanpa memperhitungkan keberadaan institusi BIN, BAIS TNI, TNI dan Polri, sepenuhnya di belakang pemerintahan yang sah.
Operasi kontra intelijen dilakukan Jokowi, membuat komplotan Prabowo Subianto menjadi tidak berdaya, sehingga sedianya tidak akan membawa sengketa perolehan suara ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK-RI), dengan mengandalkan aksi people power, kini malah mendaftarkan gugatan di lembaga penilai sengketa perolehan suara Pemilihan Umum, itu.
Kendati demikian, Presiden Jokowi harus terus meningkatkan kewaspadaan tinggi terhadap eksistensi kelompok radikal yang masih bermesraan dengan Keluarga Besar TNI-AD, untuk sewaktu-waktu melakukan aksinya, jika pemerintahan lengah.
Tugas terberat Pemerintahan Jokowi di dalam lima tahun mendatang, adalah membersihkan kelompok radikal yang berkolaborasi dengan Keluarga Besar TNI AD, agar tidak terus-terusan menjadi duri di dalam daging di negara yang berideologi Pancasila ini. (Aju)