PONTIANAK (Independensi.com) – Siswa/siswi dari Sekolah berbagai tingkatan diliburkan menyusul aksi demonstrasi Suku Dayak dalam sidang putusan terhadap 6 peladang Dayak dari Majelis Hakim Pengadilan Sintang, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia, Senin, 9 Maret 2020.
Sekolah diliburkan untuk mengantisipasi segala sesuatu yang tidak diinginkan, sebagaimana Surat Edaran Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sintang, Lindra Azmar, 6 Maret 2020.
Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Kabupaten Sintang, Jepray Edward, mengatakan, sudah mengirim surat pemberitahuan kepada Polisi Resor Sintang, sehubungan aksi damai segenap komunitas Suku Dayak menghadapi vonis Majelis Hakim terhadap 6 peladang Dayak di Pengadilan Sintang, Senin, 9 Maret 2020.
Ketua Bidang Peradilan Adat dan Hukum Adat Dayak Dewan Pimpinan Pusat Majelis Hakim Adat Dayak Nasional (DPP MHADN), Tobias Ranggie, mengingatkan, aparat keamanan tidak reaktif menghadapi aksi unjuk rasa segenap komponen masyarakat.
“Kalau sampai reaktif pasti akan ada perlawanan dari masyarakat, karena persoalan berladang sudah terkait aspek religi. Kalau aspek religi terusik, seperti praktik kriminalisasi peladang Dayak karena membuka ladang dengan sistem bakar, tentu orang Dayak akan marah,” ujar Tobias Ranggie.
Diungkapkan Tobias, pangkal masalah kegaduhan dari masyarakat Dayak terhadap aparat penegak hukum, karena sangat buruknya pemahaman anthropologi budaya aparat penegak hukum.
Padahal, sebelum negara ini lahir, orang Dayak sudah ribuan tahun membuka ladang dengan sistem bakar.
Sementara hukum negara selalu mengadopsi aspek anthropologi budaya masyarakat, sehingga dalam penegakan hukum aparat penegak hukum mestinya tidak boleh semata-mata nengedepankan kebenaran formal (tex book), tapi wajib pula mempertimbangkan aspek kebenaran materiil (adat istiadat dan tradisi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat).
Ketika aparat penegak hukum menerapkan aturan terlalu kaku, hanya dilihat dari kebenaran formal, saat sebagian hutan di Kalimantan beralih fungsi menjadi kegiatan ekonomi non-konservasi, seperti perkebunan kelapa sawit berskala besar, selalu terjadi kebakaran yang tidak terkendali, dan seperti biasa, akhirnya masyarakat Dayak dipersalahkan, sebagaimana nasib para peladang yang menjadi terdakwa dan terpidana.
Di Sejumlah Pengadilan Negeri di Provinsi Kalimantan Tengah, petani peladang Dayak sudah divonis antara 5 – 18 bulan penjara. Selain di Sintang, di Provinsi Kalimantan Barat, para peladang Dayak, tengah dalam proses hukum.
Di tempat terpisah, Persatuan Peladang Tradisional Kalimantan Barat meyakini majelis hakim yang menangani proses hukum enam Peladang di Sintang dalam kasus kebakaran hutan dan lahan berpihak memenangkan dan membebaskan Peladang.
“Kami percaya para hakim yang menangani kasus enam saudara kita Peladang lebih bijaksana, memiliki hati nurani dan menghormati kearifan lokal dalam memutus perkara dengan memenangkan dan membebaskan Peladang” tegas Yohanes Mijar Usman, Ketua Persatuan Peladang Tradisional Kalimantan Barat.
Lebih lanjut, Mijar menilai sebagai sesama manusia yang hidup dari hasil usaha petani maupun Peladang dengan menyantap nasi maupun hasil pertanian lainnya setiap hari, maka selayaknya apresiasi, terima kasih juga penghormatan diberikan pada Peladang. Demikian pula dengan sejumlah data dan fakta yang terungkap selama persidangan, tidak ada alasan untuk mereka dipersalahkan.
“Karenanya, keberpihakan para hakim dengan membebaskan enam Peladang menjadi penantian bersama pada Sidang, Senin, 9 Maret 2020, dengan agenda pembacaan Putusan,” tambah Mijar.
Hal senada disampaikan pengurus Persatuan Peladang Kalimantan Barat lainnya, Hendrikus Adam. Menurut sosok yang juga aktivis WALHI Kalimantan Barat ini, agenda pembacaan putusan atas nasib enam Peladang di Pengadilan Negeri Sintang tanggal 9 Maret 2020 bukan tidak mungkin sekaligus menjadi momentum Hari Kebangkitan Peladang.
“Karena tanggal 9 Maret 2020, nasib enam Peladang yang menjalani proses hukum diputuskan, maka hal ini sekaligus akan menjadi tonggak penting mengenai keberadaan Peladang sebagai bagian penopang kehidupan di republik ini. Kesempatan ini sangat mungkin kita dorong sekaligus sebagai hari kebangkitan Peladang,” ungkap Adam.
Menurut Adam, momentum kebangkitan Peladang dimaksud baik untuk mengingatkan tanggungjawab negara dan segenap elemen bangsa yang mestinya menyampaikan apresiasi, rasa hormat dan terima kasih tulus kepada petani, secara khusus kepada Peladang atas setiap ‘kerja pengabdian’ yang diberikan.
“Semangat solidaritas senasib sepenanggungan para Peladang, anak cucu Peladang, pemuda – mahasiswa, maupun segenap elemen yang menaruh empati juga simpati pada nasib 6 Peladang secara langsung akan menjadi saksi sejarah peristiwa ini. Karenanya, kehadiran dan lawatan segenap warga dengan itikad baik ke Pengadilan Negeri Sintang pada sidang yang terbuka untuk umum merupakan bagian dari hak sebagai warga negara dan jelas dijamin konstitusi,” tegas Adam.
Sebagaimana diketahui, enam Peladang asal kabupaten Sintang yakni Magan, Agustinus, Antonius Sujito, Dugles, Boanergis dan Dedi Kurniawan diproses hukum karena berladang melalui cara bakar.
Keenam Peladang didakwa melanggar Pasal 108 Jo Pasal 69 ayat (1) huruf h Undang Undang No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 108 Jo Pasal 56 ayat (1) Undang Undang No. 39 tahun 2014 tentang Perkebunan dan Pasal 187 KUHP ATAU Pasal 188 KUHP. (Aju)