JAKARTA (IndependensI.com) – Indonesia dan Amerika Serikat terus berupaya secara bersama-sama menangani masalah terorisme.
Hal tersebut terlihat saat Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Pol. Drs. Suhardi Alius, MH, melakukan pertemuan bilateral dengan Thomas P Bossert selaku Asisten Presiden AS Bidang Keamanan Dalam Negeri dan Penanggulangan Terorisme. Pertemuan dilakukan di Gedung Putih, Washington DC, Selasa (11/7/2017) waktu setempat.
Suhardi menjelaskan pertemuan tersebut merupakan tindak lanjut dari pertemuan sebelumnya antara Menteri Luar Negeri (Menlu) RI, Retno Lestari Priansari Marsudi, dengan Bossert pada Juni lalu. Ketika itu Bossert menyatakan keinginannya bertemu Kepala BNPT dalam rangka untuk menggali informasi mengenai upaya serta pengalaman Indonesia dalam menanggulangi terorisme.
“Bossert ingin tahu mengenai bagaimana pengalaman Indonesia selama ini dalam menanggulangi terorisme termasuk mengenai tantangan dari ‘FTF returnees’ (kombatan asing yang kembali ke negara asal) baik terhadap Indonesia maupun kawasan lain, serta upaya meningkatkan kerja sama penanggulangan terrorisme antara kedua negara,” kata Suhardi Alius dalam pesan singkatnya Rabu (12/7/2017) WIB usai melakukan pertemuan tersebut.
Kepada Bossert, mantan Kabareskrim Polri ini menyampaikan bahwa pentingnya upaya untuk menyeimbangkan antara penggunaan pola hard approach (pendekatan keras) dan soft approach (pendekatan lunak) dalam penanggulangan terrorisme tersebut.
“Terlebih dalam soft approach Indonesia relatif berhasil dalam program deradikalisasi. Teroris yang telah menjalani masa hukuman, dari sebanyak 560 orang, hanya tiga orang yang kembali melakukan tindakan terorisme,” ujar alumni Akpol 1985 ini menjelaskan
Dikatakan mantan Kapolda Jawa Barat ini, program kontra-radikalisasi yang dilakukan BNPT yakni dengan menggandeng unsur masyarakat termasuk pemuda, ‘netizen’ dan juga mantan aktivis teroris untuk melakukan counter narative telah menjadi program unggulan nasional. “Dan ini juga berjalan efektif,” kata mantan Kadiv Humas Polri ini.
Selanjutnya Kepala BNPT menyampaikan bahwa BNPT yang terbentuk berdasarkan Peraturan Presiden No. 46 tahun 2010, memiliki peran strategis dalam mengkoordinasikan penyusunan kebijakan, strategi, dan program penanggulangan terorisme.
“Dan ini diperkuat dengan Instruksi Presiden untuk berkolaborasi dan bersinergitas dengan melibatkan sebanyak 32 Kementerian/Lembaga dalam program penanggulangan terorisme. Selain itu, BNPT juga memiliki tugas operasional melalui pemberdayaan Satgas (Satuan Tugas),” ujar mantan Wakapolda Metro Jaya ini.
Bossert menyatakan ketertarikannya dalam program deradikalisasi yang sudah dijalankan Indonesia. Keinginan pemerintahan Presiden Donald Trump untuk membuat Strategi Penanggulangan Terorisme AS yang baru akan memperhatikan empat unsur utama dalam program deradikalisasi di Indonesia yakni melalui identifikasi, rehabilitasi, re-edukasi, dan re-integrasi.
Khusus untuk peningkatan kerja sama bilateral dalam penanggulangan terorisme, Suhardi juga menyampaikan bahwa perlu adanya payung hukum antara kedua negara dalam menanggulangi terorisme.
“Tentunya perlu adanya pendekatan whole-government approach antara kedua negara untuk saling memberikan penilaian serta arahan kebijakan kedua negara dalam kerja sama penanggulangan terorisme. Hal ini dapat didukung oleh Thomas P. Bossert,” kata pria kelahiran Jakarta, 10 Mei 1962 ini.
Suhardi juga menyampaikan undangan kepada Bossert untuk dapat melakukan kunjungan balasan ke Indonesia.
Di hari yang sama pada kunjungan kerjanya ke Negeri Paman Sam, Kepala BNPT juga melakukan pertemuan bilateral dengan Menteri Keamanan Dalam Negeri AS, John F Kelly. Pertemuan tersebut dilakukan di Departemen Keamanan Nasional, Amerika Serikat.
“Pada intinya Menteri Kelly menyampaikan bahwa masalah terorisme ditambah dengan adanya FTF menjadi suatu paradigma baru bagi negara-negara di dunia dalam penanggulangan radikalisme dan violent extremism,” ujar Suhardi.
Dalam pertemuan dengan Kelly tersebut, mantan Sekretaris Utama (Sestama) Lemhanas RI ini mengatakan bahwa banyak negara seperti Uni Eropa yang saat ini mengalami panic mode akibat dari radikalisme dan violent extremisme. Dan yang menjadi salah satu perhatian utama Departemen Keamanan Dalam Negeri AS adalah pertukaran informasi mengenai data penumpang udara.
“Hal ini berdasarkan informasi intelijen bahwa ISIS berkeinginan untuk melakukan serangan utamanya melalui maskapai penerbangan serta sebagai mode transportasi dari FTF,” mantan Dir Reskrimum Polda Metro Jaya ini
Lebih lanjut dalam pertemuan tersebut Kepala BNPT juga menyampaikan bahwa penanganan terhadap tindak pidana terorisme juga perlu mengedepankan pola soft approach. “Salah satunya melalui program deradikalisasi yang dinilai cukup berhasil untuk menurunkan angka tindakan kekerasan oleh mantan teroris,” katanya.
Namun demikian kepada Kelly, Kepala BNPT menyampaikan bahwa pola soft approach ini bisa berbeda antara negara yang satu dengan negara yang lainnya. “Ini dikarenakan bahwa root causes (akar permasalahan) masalah terorisme antar satu negara dengan negara lain itu berbeda,” tuturnya.
Disampaikan pula oleh Kepala BNPT bahwa agar penanggulangan terorisme bisa lebih efektif, di Indonesia sendiri saat ini sedang berupaya untuk merubah Undang Undang (UU) Anti-Terorisme. Hal tersebut karena pentingnya beberapa upaya kriminalisasi agar memberikan kepastian hukum bagi aparat penegak hukum untuk menjalankan tugas dam fungsinya, seperti perbuatan persiapan.
“Selain itu penting adanya revisi dalam RUU mengenai tindak pidana melakukan kejahatan terorisme sebagai FTF. Tidak hanya itu, forum seperti APEC juga dapat dimanfaatkan oleh kedua negara terkait dengan passenger list melalui Working Group on Travel, selain forum Counter-Terrorism Working Group dari APEC,” tutur pria yang pernah menjadi Sespri Kapolri ini.
Untuk itu Kepala BNPT juga menyampaikan pentingnya agar kedua negara bisa memiliki suatu payung hukum perjanjian dalam penanggulangan terorisme.