JAKARTA (Independensi.com) – Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional – Ketua Bappenas, Bambang Sumantri Brodjonegoro mengatakan, ketimpangan adalah tantangan terberat yang kini dihadapi Indonesia, sekaligus ancaman terbesar bagi stabilitas sosial dan pertumbuhan ekonomi yang sudah dicapai.
“Mengatasi tantangan berat tersebut, bukan hanya tanggung jawab pemerintah semata. Pemerintah juga tidak bisa menyelesaikan semua persoalan ketimpangan di berbagai daerah dengan satu kebijakan saja,” kata Menteri PPN/Ketua Bappenas, Bambang Sumantri Brodjonegoro di Jakarta, baru-baru ini.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah menyatakan bahwa mempersempit kesenjangan kesejahteraan di masyarakat adalah prioritas utama dalam pemerintahannya. Sebenarnya, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir ada penurunan koefisien Gini Ratio yang selama beberapa tahun lalu berada di kisaran 0,420 menjadi 0,387 pada Maret tahun 2017 ini.
Presiden Jokowi mengatakan, penurunan Gini Ratio yang sudah dicapai adalah berita bagus, tapi angka 0,387 masih terlalu tinggi, masih harus diturunkan lagi. Presiden menambahkan, pemerintah juga telah berkomitmen untuk menurunkan angka kemiskinan dari 10,86% (dari jumlah penduduk) pada bulan Juli 2016 menjadi 10,5% pada akhir tahun 2017.
“Saya melihat masih banyak persoalan yang harus diselesaikan. Kita harus bekerja lebih keras lagi untuk mengurangi ketimpangan tersebut, baik itu ketimpangan antara masyarakat yang kaya dengan yang miskin, maupun ketimpangan antara satu daerah dengan daerah lainnya,” tegas Presiden.
Sebagai upaya memerangi ketimpangan tersebut, Bappenas bekerja-sama dengan Knowledge Sector Initiative, sebuah lembaga kerja sama antara Pemerintah Indonesia dan Australia, akan menyelenggarakan Indonesia Development Forum pertama pada tanggal 9 dan 10 Agustus 2017 dengan tema ‘Memerangi Ketimpangan untuk Pertumbuhan yang Lebih Baik’.
Untuk melibatkan semua stakeholder pembangunan, Bappenas sejak dua bulan lalu membuka Call for Papers. Hasilnya, Bappenas menerima tidak kurang dari 555 makalah, di mana 44 terbaik yang menawarkan pemikiran-pemikiran inovatif dalam menangani persoalan ketimpangan di Indonesia akan dipresentasikan dalam Indonesia Development Forum pertama 2017 yang akan datang.
Makalah yang akan dipresentasikan tersebut membahas 11 sub-tema terkait ketimpangan. “Misi dari forum ini adalah membangun perekonomian Indonesia yang tumbuh lebih kuat, lebih berkelanjutan, dan lebih inklusif melalui tiga pilar: Inspire, Imagine, Innovate. Tanpa kebijakan inklusif yang kuat, ketimpangan akan semakin parah, risikonya adalah akan makin banyak penduduk Indonesia yang hidup dalam zona kemiskinan.”
Bambang mengingatkan, memerangi ketimpangan dan kemiskinan menjadi sangat strategis, karena pada periode 2025-2030 Indonesia akan mendapat bonus demografi, yaitu peluang yang dinikmati suatu negara karena besarnya proporsi penduduk produktif (rentang usia 15-64 tahun).
Dengan komposisi penduduk berdasarkan usia, gambarannya seperti itu, apabila kapasitas ekonomi negara itu sudah dipersiapkan, maka bonus demografi akan menjadi bonus untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, jika tidak diantisipasi, akan menjadi beban ekonomi, dan akan menimbulkan banyak masalah sosial.
Sementara mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Ahmad Syafi’i Maarif saat bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara 17 Juli 2017 lalu, membahas bahwa paham radikalisme dan terorisme yang muncul di masyarakat Indonesia saat ini adalah produk sosial akibat ketimpangan ekonomi yang terjadi sangat parah dan sudah berlangsung lama di masyarakat.
“Topik utama pembicaraan saya dengan Presiden Jokowi adalah terkait ketimpangan ekonomi yang saat ini terjadi. Banyak hal yang harus dilakukan agar ketimpangan segera dihapus. Jika ketimpangan itu bisa dihapus, maka dengan sendirinya akan memberantas radikalisme dan terorisme. Ketimpangan itu seperti jalan rumput kering yang rentan sekali terbakar, dan bisa memicu macam-macam,” kata Buya. (kbn)