Kuasa hukum UTA’45, Gelora Tarigan SH, MH (kanan), didampingi Kaprodi Fakultas Hukum UTA’45, Afrianto Sagita, Senin (24/7/2017), memperlihatkan surat panggilan sidang PTUN Jakarta yang diduga direkayasa. (Henri Loedji/Independensi.com)

Mahasiswa UTA’45 Kembali Datangi PTUN Jakarta

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Puluhan mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta (UTA’45) kembali mendatangi kantor Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Senin (24/7/2017). Para mahasiswa, yang datang bersama sejumlah dosen dan dekan, datang untuk menuntut keadilan terkait kasus penyusutan lahan di kampus mereka.

Kuasa hukum UTA’45, Gelora Tarigan SH, MH, mengatakan civitas academica Kampus Merah Putih ini merasakan adanya ketidakadilan dalam proses persidangan di PTUN Jakarta. Pihak UTA’45 minta bertemu dengan Kepala PTUN Jakarta untuk menuntut penggantian majelis hakim yang dinilai tidak profesional.

“Kami kembali datang untuk meminta PTUN mengganti majelis hakim yang menyidangkan kasus ini. Ada sejumlah rekayasa yang merugikan kami sebagai penggugat,” kata Gelora di pelataran gedung PTUN.

“Sayangnya, kami kepala PTUN Jakarta tidak bisa ditemui karena sedang menjalani fit and proper test di pengadilan tinggi,” ujarnya.

Pekan lalu, para mahasiswa dan dosen UTA’45 juga sudah mendatangi kantor PTUN Jakarta. Waktu itu, mereka juga gagal bertemu dengan kepala PTUN Jakarta, Ujang Abdullah SH, Msi, karena yang bersangkutan sedang berhalangan hadir.

Kasus ini berawal dari terjadinya penyusutan lahan UTA’45 di kawasan Sunter, Jakarta Utara, yang menyusut 47.275 meter persegi pada 2010-2015 menjadi 16.171 meter persegi pada 2017. Penyusutan itu terlihat dalam surat tagihan Pajak Bumi dan Bangunan.

Baca juga:

LKBH UTA’45 Minta Majelis Hakim Kasus Penyerobotan Tanah Diganti

UTA’45 kemudian menggugat Unit Pelayanan Pajak dan Retribusi Daerah (UPPRD) Tanjung Priok, Jakarta Utara dengan nomor perkara 68/G/2017 / PTUN.JKT.

Penggugat menduga adanya rekayasa surat panggilan sidang dengan ditemukannya dua salinan surat bernomor sama, tapi isinya berbeda. Surat Panggllan Sidang dengan Nomor W2.TUN1-2160/HK.06/Vl/2017″ tertanggal 20 Juni 2017, berisi pemberitahuan pelaksanaan sidang untuk di hari yang sama. Surat tersebut baru diterima Penggugat pada 3 Juli 2017. Akibatnya, Penggugat tidak hadir di sidang.

Pihak Penggugat kemudian menemukan salinan surat dengan nomor yang sama yaitu W2.TUN1-2160/HK.06Nl/2017 dan tanggal penerbitan surat yang sama yaitu 20 Juni 2017. Tapi terdapat perbedaan pada isi suratnya. Pihak Penggugat menerima Surat Panggilan Sidang untuk agenda sidang 20 Juni 2017, sedangkan Arsip yang dimiliki Panitera Pengganti untuk agenda sidang 4 Juli 2017.

Untuk agenda sidang selanjutnya pada 4 Juli 201 7, pihak Penggugat sama sekali tidak menerima surat panggilan sidang.

“Hal ini jelas pelanggaran. Sesuai peraturan, seharusnya Penggugat dan Tergugat menerima surat panggilan sidang paling lambat tiga hari sebelum sidang,” kata Gelora yang juga menjadi pembina Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) UTA’45 Jakarta.

One comment

Comments are closed.