Oleh Derek Manangka
JAKARTA – SBY, di mata saya, perlu tercatat sebagai seorang jenderal demokrat yang fenomenal. Dia berhasil mengubah stigma yang sudah melekat di wajah militer Indonesia.
Saat menjabat sebagai Presiden RI pada tahun 2004-2014, SBY berhasil memutarbalikkan apa yang dilakukan jenderal besar Soeharto selama 32 tahun, 1966-1998.
SBY membuat citra baru bahwa militer itu tidak selalu otoriter-militeristik.
Secara faktual, SBY memperlihatkan, seorang jenderal bintang empat, dapat hidup seruang dan sekamar dengan seorang advokat dan pegiat demokrasi.
Penilaian tentang SBY seperti di atas muncul, sebab semua gestur yang diperlihatkannya kepada rakyat Indonesia, selama dia menjadi Presiden, selalu mengesankan bahwa dia seorang militer yang lebih berjiwa demokrat. Dia lebih berdarah sipil ketimbang politisi sipil.
Dan hal ini bukan ‘kata orang’ atau ‘katanya’. Melainkan secara jelas ditunjukkan oleh caranya merekrut orang-orang pintar yang membantunya ketika SBY menyandang status Orang Nomor Satu di Indonesia atau RI-1.
Tak ada yang bisa memungkiri, hanya ada satu jenderal pensiunan yang bernama Sudi Silalahi yang selalu lengket dengannya. Selebihnya, orang-orang yang dia percayai, berasal dari kalangan sipil.
Lihat saja jurubicara yang pertama kali dia angkat, begitu berkantor di Istana Kepresidenan, dua doktor politik sipil yang masih berusia muda: Dino Pati Djalal dan Andi Mallarangeng.
Selama 10 tahun menjadi Presiden RI, SBY tidak pernah memperlihatkan kepemimpinan yang mengedepankan pendekatan cara-cara militer.
Dengan pemberontak GAM (Gerakan Aceh Merdeka), SBY menginisiasi perdamaian, menghindari penggunaan kekuatan militer. Bahkan demi tercapainya perdamaian di provinsi Aceh, SBY lebih banyak memberi konsesi kepada GAM sebagai pemberontak ketimbang meminta.
Terhadap OPM (Organisasi Papua Merdeka), gerakan separatis di tanah Papua yang perjuangan mereka mirip GAM di Aceh, SBY nyaris tidak pernah menggunakan tentara untuk menghalau OPM.
Sebaliknya OPM terus offensif dan tak segan-segan membunuh anggota TNI, yang berhasil mereka tangkap di pedalaman Papua. Menghadapi situasi seperti itu, SBY tetap tidak terpancing menjawab tantangan OPM dengan mengerahkan kekuatan militer.
Menghadapi Malaysia, negara asing yang sudah merampas dua pulau – Sipadan dan Ligitan, SBY tak mau memerintahkan kekuatan militer untuk menghalau negara tetangga tersebut dari wilayah pulau rampasan.
Indonesia selama tahun 2004 hingga 2014, secara de facto dan praktis merupakan sebuah negara demokratis yang pernafasannya menggunakan oksigen sipil. Penentunya SBY.
Indonesia, selama dua periode tersebut sekalipun dipimpin Presidennya yang seorang jenderal tidak menyebarkan aroma militer.
Kebebasan berekspresi dan bersuara masyarakat, dijamin aman. Menyatakan pendapat yang berseberangan dengan pemerintah, diberi ruang yang begitu besar olehnya.
SBY merupakan salah seorang pemimpin di dunia yang menjadikan media sosial sebagai forum tempat beradu argumentasi secara instan dan spontan.
Mungkin tidak berlebihan, jika dikatakan, di era SBY-lah media sosial berubah menjadi kekuatan tersendiri dalam pembentukan dan penggiringan opini. Jago-jago propaganda dan ahli-ahli provokasi banyak yang lahir di era ini bersamaan dengan kelahiran media-mesia sosial.
Agak kontras dengan Prabowo Subianto. Teman lamanya di dunia militer yang pada Kamis 27 Juli 2017 lalu, dia ajak atau yang nengajaknya berkoalisi di dunia politik.
Kontras atau lebih lembut bila dikatakan berbeda gaya. Sebab pola Prabowo tentang disiplin lebih banyak dipengaruhi oleh darah militer.
Kalau dengan Prabowo, pendekatan dalam bersahabat di arena politik, cenderung menggunakan semboyan: “terserah apa yang loe mau kate, yang pasti kalau loe jual gue beli”. Ini yang tak terlihat pada aura SBY.
Sekali lagi, SBY merupakan seorang jenderal fenomenal dan sekaligus ‘seasonal’ . Sebab begitu dia tak lagi menjabat sebagai Presiden, dia juga buat dan perubahan.
SBY menginisiasi sebuah UU agar perlindungan keamanan kepadanya atau bekas Presiden lainnya, perlu dilakukan oleh negara secara militeristik.
Pengamanan kepada SBY harus berstandar setara dengan seorang Presiden yang masih aktif. Mulai dari personalia dan infrastruktur pendukungnya, harus sama.
Inisiasi mana kemudian mengundang persepsi bahwa ternyata SBY, tidak mau diperlakukan seperti rakyat biasa. SBY tidak mau seperti bekas Presiden BJ Habibie.
Bagi SBY, pendekatan, cara dan gaya memimpin itu, bergantung pada kebutuhan. Zaman boleh berubah, tapi kebutuhan oleh seorang bekas pemimpin, tidak boleh berubah.
Secara tiba-tiba UU tentang Perlindungan Keamanan terhadap Presiden, diperkenalkan, menjelang berakhirnya masa jabatan SBY sebagai Presiden.
SBY tetap minta agar mobil anti-peluru yang digunakannya sewaktu menjabat selaku Presiden RI, tetap dilanjutkan penggunaannya. Walaupun menurut Dirjen Protokol, fasilitas melekat untuk kendaraan seorang bekas Presiden, tidak harus dengan mobil anti-peluru seperti itu. Jadi hak seorang bekas Presiden dalam urusan mobil, dibatasi pada mobil biasa, bukan mobil anti-peluru.
Substansinya, bahwa fasilitas itu berkaitan dengan nafas kekuasaan.
Pointnya, sampai kapan pun, kekuasaan itu tetap penting. Kekuasaan itu bukan sebuah pemberian. Tapi sesuatu yang harus diperjuangkan.
Sampai di sini baru saya “ngeh” bahwa yang menjadi inti dari jamuan makan malam oleh SBY kepada Prabowo Subianto adalah kekuasaan dan kekuasaan serta kekuasaan.
Makan malam dengan menu ‘nasi goreng’ antara Prabowo Subianto dan SBY pada Kamis malam 27 Juli 2017 lalu, hanya simbol.
Sebagai politisi militer yang berpolitik praktis, simbol itu perlu dihadirkan demi menghadapi percaturan politik dan pertarungan kekuasaan, memamasuki Pemilu Presiden 2019.
Simbol dengan makan ‘nasi goreng’, bagi SBY, sangat penting.
Begitu pula kritikan terhadap Presidential Treshold 20%, dalam UU Pemilu yang baru disahkan pekan lalu, hanya lah sebuah alasan pemanis. Sebab PT 20% itu sendiri bukan hal baru.
Di Pilpres 2014, persyaratan itu, sudah ada. Dan ketika itu SBY dan Prabowo atau Partai Demokrat dan Partai Gerindra, tidak pernah keberatan atas hal itu.
Atau PT 20% lahir dalam UU Pemilu, saat Partai Demokrat keluar sebagai peraih suara terbanyak di Pemilu Legislatif sebelumnya. So?
Namun itu tadi, pesan penting dari simbol dan alasan digelarnya makan malam bersama antara Jawara Hambalang dan Jagoan Cikeas, sejatinya terletak pada cerita lain.
Terletak pada hasil kesepakatan yang sudah diambil sebelumnya. Bahwa dua jenderal pensiunan tersebut bertekad menjadi penguasa baru di Indonesia per 2019.
Dua jenderal produk Orde Baru itu ingin mengembalikan kejayaan militer yang belakangan ini berhasil direbut oleh politisi sipil.
Untuk itu, sudah bisa dipastikan, Partai Gerindra yang didirikan oleh Prabowo Subianto dan Partai Demokrat yang menjadikan SBY sebagai Presiden dua periode (2004 – 2014) akan mengusung Prabowo Subianto sebagai calon presiden dan Agus Yudhoyono, putera sulung SBY, selaku calon wakil presiden.
Jadi penegasan tentang terbentuknya koalisi yang melahirkan pasangan Prayudho (Prabowo Yudhoyono), sesungguhnya itulah yang menjadi agenda utama dalam acara makan malam dengan menu nasi goreng.
Selain itu poin penting lainnya dari pertemuan dua jenderal pensiunan itu adalah untuk memberitahu rakyat dan bangsa Indonesia, bahwa akhirya tercapai pula sebuah rekonsiliasi pribadi dan pengakhiran permusuhan politik antara Prabowo dan SBY.
Kini, waktunya kita bicara dan bertanya. Apakah rekonsiliasi SBY-Prabowo tersebut genuine atau karena dipaksa oleh keadaan dan kepentingan ?
Apakah keharmonisan pasangan dua bekas tantara menjadi Capres dan Cawapres untuk Pilpres 2019, bisa djamin?
Prabowo Subianto dan Agus Yudhoyono, kenyataannya sama-sama bekas tentara. Hanya saja perbedaan mereka dalam beberapa hal, sangat mencolok.
Prabowo seorsang Letnan Jenderal yang dipecat oleh Panglima TNI Wiranto. Pemecatan ini masih terus menimbulkan perdebatan di kalangan terbatas.
Pemecatan ini masih menyisahkan eksisnya permusuhan antara Prabowo dan Wiranto. Sampai-sampai memunculkan cerita, entah benar atau sekedar buat lucu-lucuan. Bahwa selama Prabowo masih berambisi menjadi Presiden, selama itu pula Wiranto dengan caranya – akan berusaha menggagalkan ambisi itu.
Yudhoyono junior, seorang mayor yang mengundurkan diri secara dini, dari dinas ketentaraan. Pegunduran diri dilakukan Agus Yudhoyono karena sang Ayah, Pak SBY, menghendakinya memenangkan Pilkada DKI 2017 lalu. Agus, ternyata gagal.
Silang pendapat yang muncul, kalau untuk kursi DKI Jakarta saja, Agus tidak atau belum dilihat oleh warga Jakarta sebagai sosok yang patut dipercaya memimpin, lantas apalagi dengan posisi Wakil Presiden ?
Perlu dicatat, Jakarta merupakan barometer politik nasional. Sehingga barometer inilah yang digunakan untuk mengukur pantas tidaknya Agus Yudhoyono menjadi Wakil Presiden.
Lantas bagaimana dengan peluang Prabowo?
Yang jadi barometer adalah sejak tahun 2004, Prabowo sudah mencoba meraih kursi Presiden. Dimulai ketika Prabowo ikut Konvensi Partai Golkar. Prabowo hanya menempati urutan paling akhir, setelah Surya Paloh, Aburizal Bakrie, Akbar Tanjung dan Wiranto.
Tidak puas dengan kegagalan 2004, Prabowo mendirikan Partai Gerindra dan dalam Pilpres 2009, Prabowo menjadi Cawapresnya Megawati Sukarnoputri dari PDI-P. Dua-duanya gagal.
Kegagalan kedua ini, juga tak memupuskan semangat Prabowo. Lantas di Pilpres 2014, Prabowo berpasangan dengan Hatta Rajasa. Kembali gagal.
Boleh jadi Pilpres 2019, akan sangat berbeda dengan Pilpres-Pilpres sebelumnya. Sehingga rekor kegagalan atau kekalahan yang dialami baik oleh Prabowo maupun Agus Yudhoyono, tak bepengaruh.
Namun pertanyaan yang tak boleh dianggap remeh, apakah rakyat dan bangsa Indonesia, sudah siap menerima kepemimpinan dari mereka yang berlatar belakang militer?
Sudah siapakah rakyat Indonesia memilih pasangan letnan jenderal pensiunan dan mayor pensiunan?
Atau siapa yang pula yang bisa menjamin bahwa duet Prayudho, bebas intervensi dari SBY?
Dan apa ada jaminan, Prabowo tidak akan merasa terganggu, kalau rezim yang dia pimpin, setiap saat diintervensi SBY melalui puteranya ?
Sebab kritikan para kritikus yang sering terdengan berbunyi : “…… SBY masih merasa seperti Presiden, entah karena gara-gara dia masih dikawal oleh satu regu Paspampres……..”.
Kritikan itu bukan sebuah kritikan semata. Melainkan sebuah “reminder” yang mengandung makna bahwa ada hal yang tidak patut, ada sisi yang tidak disukai dari cara SY berpolitik.
Yaitu merasa lebih hebat di antara semua orang yang hebat. Hal mana yang kemudian berbuntut panjang. Di antarannya, kleim bahwa seolah-olah selama 10 tahun menjadi Presiden, SBY telah berbuat yang terbaik bagi bangsa dan negara. Terutama dalam soal pengelolalan hutang.
Fakta dan opini yang beredar di lapangan, justru SBY menjadi Presiden yang menciptakan beban hutang terbesar bagi rakyat dan bangsa Indonesia.
Nah apa kata dunia, jika di tahun 2019, kendala kekuasaan kembali berada pada tangan keluarga, anak atau kroni SBY?
Sorry to say frankly. Bro and sista, I am speechless…!