JAKARTA (IndependensI.com) – Anggota DPRD DKI Jakarta, Pantas Nainggolan mengatakan cara kerja Badan Pajak dan Retribusi Daerah (BPRD) DKI Jakarta menetapkan nilai jual obyek pajak (NJOP) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) lahan reklamasi di Kepulauan Seribu dinilai sangat tidak wajar. “Penetapan NJOP itu seharusnya sesuai harga pasar,” kata Pantas Nainggolan ketika dihubungi IndependensI.com di Jakarta, Selasa (5/9).
Sebagaimana diberitakan di sejumlah media, BPRD DKI Jakarta menetapkan NJOP sebesar Rp 3,5 juta per meter untuk PBB di Pulau C dan D. NJOP tersebut dinilai terlalu rendah dan asal-asalan atau sembrono. Padahal, NJOP tanah di proyek reklamasi lainnya yakni di Pulau H mencapai Rp 25 juta per meter per segi.
Menurut Pantas, penetapan NJOP proyek reklamasi itu sangat “njomplang” sehingga menimbulkan kecurigaan. Ada apa dibalik permainan penetapan NJOP tersebut?. “Bagaimana mungkin bisa terjadi perbedaan antara pulau satu dengan pulau lainnya bisa lima kali lipat. Padahal, dari sisi cost untuk reklamasi tidak jauh berbeda,” tuturnya.
Sumber IndependensI.com menyebutkan oknum pejabat BPRD masih banyak yang sering bermain-main dalam menentukan NJOP terkait dengan mafia tanah. Karena itu, banyak terjadi sengketa tanah yang merugikan berbagai pihak. “Mafia tanah itu mendikte atau bekerja sama dengan oknum BPRD,”katanya.
Penetapan NJOP yang jauh berbeda di kawasan yang sama ini menimbulkan pertanyaan. Komisi C DPRD DKI akan meminta keterangan dari Kepala BPRD, Edi Sumantri, setelah yang bersangkutan kembali dari ibadah haji.
Kesewenang-wenangan BPRD dalam menentukan PBB bukan baru kali ini terjadi. Yayasan Perguruan Tinggi 17 Agustus 1945 menjadi salah satu korban dengan terjadinya penyusutan luas lahan di tagihan PBB 2017.
Lahan yayasan yang berada di kawasan Sunter, Jakarta Utara, menyusut dari 47.275 meter persegi pada 2010-2015 menjadi 16.171 meter persegi pada 2017. Pihak yayasan kemudian menggugat Unit Pelayanan Pajak dan Retribusi Daerah (UPPRD) Tanjung Priok, Jakarta Utara dengan nomor perkara 68/G/2017 / PTUN.JKT.
“Mereka sering menggunakan kewenangan untuk membuat Keputusan secara Sepihak dan sewenang-wenang. Patut diduga ada gratifikasi di sana,” kata Ketua Dewan Pembina UTA’45, Rudyono Darsono, Senin (4/9/2017).
“Kalau tidak ada keluhan dari warga, mereka akan diam saja dan menganggap keputusannya sudah bagus. Jika ada warga yang mengeluh, baru mereka sibuk mencari pembenaran,” ujarnya.
Fokus kita semua semestinya untuk kemajuan yang baik dan benar yang akan kita nikmati bersama di DKI tercinta ini. Kita bersama memikirkan dan memperjuangkan secara seimbang antara SDM yang hebat, Fasilitas yang menunjang kehebatan SDM dan Kebijakan2 yang hebat yang akan menunjang setiap proses untuk peningkatan atau kemajuan kehebatan DKI bahkan Negara Indonesia tercinta ini. Amiiiin!
semestinya para pejabat bs bertindak cermat dan hati2 dlm memutuskan. jgn sampai ada mafia tanah lg. cukup sudah bangsa indonesia dibuat mnderita akibat mafia tanah dan korupsi