IndependensI.com – Surat Pimpinan DPR yang ditandatangani Wakil Ketua Kordinator bidang Politik dan Kemanan Fadli Zon ke Komisi Pemberanaan Korupsi (KPK) meminta agar pemeriksaan Setya Novanto dihentikan sementara menunggu proses Praperadilan dinilai sebagai bentuk intervensi serta menghalang-halangai proses hukum.
Walaupun surat tersebut menurut Agus Hermanto, Wakil Ketua DPR yang lain, tidak ketahuinya. Surat itu disampaikan Kepala Biro Pimpinan Sekretariat Jenderal DPR ke KPK, Selasa (12/9) yang isinya meminta agar KPK menunda proses penyidikan terhadap Ketua DPR Setya Novanto terkait kasus e-KTP, alasan yang bersangkutan sedang menunggu putusan proses Praperadilan.
Sementara ITU, Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J Mahesa, menilai Fadli Zon tidak benar, karena surat tersebut sebagai intervensi DPR terhadap KPK. Desmond mengatakan, “Tentunya dengan pertimbangan-pertimbangan yang sangat rasional, kalau menghentikan itu mengintervensi pengadilan, DPR enggak benar, Pak Padli Zon nggak benar”, katmbahnya (Kompas.com 13/9).
Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar menyebutkan bahwa kepada Wakil Ketua DPR yang menandatangani surat permohonan penghentian pemeriksaan Setnov itu dilarang Pasal 21 UU Tipikor, yakni menghalang-halangi proses penyidikan dan persidangan (obstruction of justice).
Setya Novanto (Setno) ditetapkan sebagai tersangka dalam pengadaan e-KTP Juli lalu karena diduga turut aktif dan berperan dalam proyek tersebut yang merugikan negara mencapai Rp. 2,3 triliun.
Setnov sebagai tersangka sudah dipanggil KPK untuk diperiksa dua kali, tetapi mangkir dan terakhir Senin lalu juga mangkir karena yang bersangkutan sakit dan saat ini dirawat di RS Siloam. Gugatan Praperailan Setnov sebagai tersangka sedang disidangkan di PN Jakarta Selatan, sidang pertama Selasa lalu, namun ditunda karena KPK belum siap dan sedang mengumulkan bukti-bukti dan dijadwalkan tanggal 20 mendatang.
Proses Praperadilan itulah alasan Pimpinan DPR mengirim surat ke KPK yang ditandatangani Fadli Zon yang dianggap sebagai bentuk intervensi DPR terhadap proses hukum dalam mengusut tuntas kasus korupsi e-KTP.
Sebagai negara hukum yang salah satu cirinya adalah proses hukum dan peradilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, serta adanya pembagian kewenangan antara cabang-cabang kekuasaan negara, maka surat DPR tersebut harus diselesaikan secara tuntas, sebab bisa berbahaya dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman apabila diintervensi kekuasaan lainnya.
Karena kewenangan lembaga tinggi negara DPR disalah gunakan untuk kepentingan pribadi, sebagaimana dikemukakan Dr. Luhut Pangaribuan menanggapi hal tersebut dalam suatu perbincangan.
Untuk menghindari penyalahgunaan kewenangan di kemudian hari dari cabang-cabang kekuasaan negara, ada baiknya masalah surat pimpinan DPR tersebut diselesaikan secara tuntas, sehingga jelas permasalahan apakah DPR dapat mengirim surat kepada penegak hukum agar suatu perkara yang sedang disidik dihentikan sementara karena sedang dalam proses Praperadilan? Apakah itu berlaku untuk setiap perkara nantinya dan setiap orang, atau hanya menyangkut pribadi Setya Novanto saja karena ia Ketua DPR?
Apakah surat itu sah dan resmi, walaupun tidak dibicarakan pimpinan DPR dan hanya ditandatangani satu orang saja? Sah dan resminya surat tersebut di mana diatur dan kalau tidak sah dan resmi apakah itu melanggar Kode Etik Dewan, dan siapa yang berwenang mengajukan ke Badan Kehormatan Dewan kalau itu melanggar Kode Etik?
Kalau surat tersebut suatu intrvensi sebagaimana dikemukakan Desmond Mahesa, bagaimana menghentikan agar hal-hal seperti itu tidak terjadi di kemudian hari, sebab kalau dibiarkan maka masalah yang sempat menghebohkan “Papa minta saham” akan berseliwerang dan sangat berbahaya dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan.
Mengenai pendapat Abdul Fickar Hajar bahwa penandatangan surat tersebut dapat dianggap sebagai menghalang-halangi penyidikan dan persidangan, terserah pada ketentuan hukum siapa yang berwenang dan kita tidak berpretensi negatif untuk itu.
Hanya saja karena menyangkut lembaga tinggi negara serta cabang kekuasaan negara, maka perlu ada penyelesaian yang komprehensip, transparan dan jujur, tidak bersandiwara seperti yang sudah-sudah. Diadakan sidang kode etik semangat berkobar-kobar, sehari kemudian layu sebelum berkembang.
Sebab kalau tidak dijernihkan persoalannya sekarang, kita akan menghadapi ketidak pastian di segala bidang kekuasaan cabang-cabang kekuasaan negara, bila masalah surat Pimpinan DPR itu tidak diluruskan. (Bch)