Oleh : Yo Sugianto
IndependensI.com – Ancaman budaya barat terhadap budaya lokal sudah lama dibicarakan. Tak hanya soal budaya sebenarnya, karena bidang lain seperti ekonomi pun sudah terasa lebih liberal dibanding di negara barat sana. Itu pun tetap berjalan, di tengah terseoknya budaya lokal menghadapi serbuan semua yang serba barat (juga India, Korea Selatan dan Jepang lewat musik dan film).
Kini upaya membendung yang ngeropa (kebarat-baratan) itu coba diinisiasi oleh para wakil rakyat Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah lewat Rancangan Peraturan Daerah (raperda) Pelestarian Budaya Lokal. Nantinya melalui peraturan itu, warga Karanganyar dilarang memberi nama kebarat-baratan untuk anaknya, harus mengacu pada nama lokal (Jawa).
Tentang alasan raperda itu, Ketua DPRD Karanganyar, Sumanto menjelaskan bahwa usulan itu bisa jadi lantaran banyak anggota dewan jarang menemukan nama Jawa pada anak sekarang. Raperda inisiatif DPRD itu maka nantinya pemerintah wajib melestarikan perda agar budaya lokal tidak hilang nantinya.
Meski begitu ia mengakui raperda itu perlu kajian dan kajian dari berbagai pihak sebelum disahkan. “Kajian itu apakah memunculkan pengaturan nama itu bertentangan atau tidak dengan hak asasi manusia dan undang-undang lebih atas,” ungkap Sumanto.
Jika raperda itu disetujui nama-nama keren yang kebarat-baran tak bisa lagi diberikan untuk anak-anak warga Karanganyar. Tergantikan dengan nama lokal seperti Anjar, Bonang, Sekar, Ratih dan lainnya. Apakah ini menjadi hal yang baik atau buruk, diprotes warganya karena merasa hak asasinya dikebiri, butuh waktu untuk menilainya jika benar-benar peraturan itu disahkan.
Semestinya DPRD Karanganyar, juga para wakil rakyat di daerah lain, tak semata melihat soal nama kebarat-baratan itu saja sebagai ancaman budaya lokal. Sajian televisi yang banyak menampilkan wajah-wajah blasteran, tentu dengan nama ngeropa juga, harus dicermati. Bisakah itu disentuh oleh para wakil rakyat dengan mengatur arus budaya bule itu?. Tayangan visual itu lebih efektif mempengaruhi orang untuk menirunya.
Bahkan film-film layar lebar pun tak mau ketinggalan untuk sok kebarat-baratan dengan memberikan judul bahasa Inggris, padahal pemainnya wong Indonesia semuanya. Kepala Badan Bahasa Kemendikbud, Dadang Sunendar dalam suatu seminar di Padang, Agustus 2017 mengatakan, dalam tahun itu sebanyak 41 persen film Indonesia berjudul Inggris, dialognya memakai bahasa Indonesia. “Ini adalah persoalan serius,”ujarnya.
Beberapa film yang judulnya berbahasa Inggris yang telah beredar antara lain Warkop DKI Reborn, The Real Parakang Warisan Berdarah, The Underdogs, Mars Met Venus, Banda The Dark Forgetten Trail, The Doll 2.
Ada juga judul Sweet 20, Critical Eleven, Satria Heroes: Revenge of The Dark, The Guys, Night Bus, Dear Nathan, Mooncake Story, Trinity The Nekad Traveler, London Love Story 2, Remember The Flavor, The Chocolate Chance, The Promise, The Last Barongsai, dan From London to Bali.
Jika, sekali lagi jika, raperda itu disetujui, apakah itu tidak melanggar hak asasi rakyat, karena soal nama anak harus bermuatan budaya lokal tidak diatur dalam undang-undang manapun di negara kita.
Pengaturan nama di Indonesia untuk nama-nama yang dilarang seperti di luar negeri juga tidak ditemui di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam Buku Kesatu Bab II Bagian ke-2 tentang Nama-nama, perubahan nama-nama dan perubahan nama-nama depan, di pasal 5a hanya mengatur tentang hak anak sah serta anak tidak sah yang diakui bapaknya untuk menggunakan nama keturunan bapaknya.
Di Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dalam pasal 53 ayat 2 hanya menyebutkan “Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.” Sedangkan di pasal 5 UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak berbunyi : “Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan”
Selain soal perundang-undangan, tentu juga harus diperhitungkan dengan matang soal nama baptis bagi mereka yang memeluk agama Kristen, yang diambil dari seorang Santo atau Santa yang menjadi teladan. Nama baptis itu dipakai saat bayi dipermandikan di depan nama pemberian orang tuanya. Apakah akan dilarang karena kebarat-baratan? Ini hal yang sensitif.
Pada sisi lain, menjadi pertanyaan pula kenapa hanya nama kebarat-baratan yang disoroti dan dianggap menjegal budaya lokal? Bukankah budaya Arab juga menyeruak luas dalam penggunaan nama dan busana di Jawa, yang terus tumbuh karena dianggap sudah sesuai dengan nilai-nilai agama.
Jangan sampai raperda di Karanganyar, juga serupa di daerah lainnya, akan menjadi penguat tumbuhkembangnya Arabisasi di masyarakat kita, yang bangga dengan identitas kearab-araban itu. Nantinya tak hanya nama Jawa yang tergusur, tapi juga busana warisan leluhur yakni pakaian kebaya bisa terpinggirkan.
Ahli filologi Jawa, Supardjo punya pandangan yang bijak soal rencana pelarangan pemberian nama itu. Dikutip dari kompas.com ia mengatakan bahwa budaya itu sifatnya dinamis. Istilah Jawanya ‘nut jaman kelakone’ artinya ikuti seperti air mengalir.
Sepanjang perjalanan sejarah, upaya pelestarian, penyelamatan dan pengembangan budaya di situasi alam yang damai dan tidak bertentangan dengan norma masyarakat, tidak pernah dilakukan dengan cara pelarangan.
Kita tunggu sejauh mana kelanjutan raperda itu sambil menikmati kopi. Monggo ***
Yo Sugianto, suka menulis puisi sambil mencermati sepakbola dan sosial budaya