JAKARTA (Independensi.com) – Lembaga Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyoroti peran Bulog sebagai importir tunggal atau satu-satunya pihak yang memiliki wewenang dalam mengimpor beras.
Kepala Penelitian CIPS Hizkia Respatiadi dalam rilisnya, Rabu (17/1/2018), menyatakan, sebagai BUMN, posisi Bulog sebagai pengimpor beras sangat tergantung pada keputusan pemerintah. Hal ini menyebabkan Bulog tidak memiliki kemampuan untuk membaca kebutuhan pasar.
“Akibatnya peran Bulog menjadi tidak efektif,” kata Hizkia dan menambahkan, konsep pengimpor tunggal berarti menutup pasar bebas di Indonesia.
Selama ini pihak swasta memang diizinkan untuk mengimpor beras tapi hanya untuk beras khusus dan beras untuk keperluan industri (Permendag nomor 103 tahun 2015).
Padahal, lanjutnya, seharusnya pihak swasta juga diberikan kewenangan yang sama dengan Bulog agar ada persaingan sehat dan menutup kemungkinan adanya kartel beras.
“Pihak swasta ini harus bisa membuktikan kemampuannya dalam membaca situasi pasar beras di Indonesia dan juga di pasar internasional. Hal ini sangat memengaruhi keputusan yang mereka ambil dalam menentukan importasi beras,” papar Hizkia.
Menurut dia, pemerintah sebaiknya berperan sebagai regulator, seperti menentukan kriteria dan memverifikasi informasi yang diberikan oleh pihak swasta tersebut terkait kualifikasi mereka.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI Agus Hermanto menginginkan peran Bulog dapat lebih dimaksimalkan bila terjadi kondisi defisit produksi beras nasional agar ke depannya pemerintah tidak perlu lagi bergantung pada impor.
“Peran Bulog menjadi keniscayaan untuk dimaksimalkan dalam mengatasi defisit beras,” kata Agus Hermanto di Jakarta, Senin (15/1/2018).
Agus mengingatkan bahwa kepentingan petani harus diutamakan sehingga berbagai kebijakan yang dikeluarkan juga harus menunjukkan kepedulian dan keberpihakan terhadap kalangan petani. (ant)
One comment
Comments are closed.