JAKARTA (Independensi.com) – Balitbangtan Kementerian Pertanian menegaskan dan mengingatkan kembali benih komoditas pertanian yang beredar di lapangan harus diproduksi sesuai SOP (standard operating procedure) sehingga dapat disertifikasi dan dilabel sesuai Kepmentan No. 1316 tahun 2016.
Untuk dapat sertifikasi dilakukan pemeriksaan 4 item yaitu pemeriksaan kebenaran benih sumber, pemeriksaan lapangan dan pertanaman, pemeriksaan isolasi tanaman, dan pemeriksaan alat panen. Setelah lolos sertifikasi baru dilakukan pelabelan.
“Semua diatur detil dalam Kepmentan tersebut. Jadi bagaimana mungkin pemerintah memberi bantuan benih kelas konsumsi?,” ungkap Peneliti Madya Balitbangtan, Akhmad Musyafak, dalam keterangan tertulisnya kepada Independensi.com, Senin (12/2/2018).
Hal itu merespon pernyataan Setiarma dari AB2TI (Asosiasi Bank Benih dan Teknologi tani Indonesia) seperti dilansir laman Merdeka.com pada tanggal 9 Februari 2018, yang menyatakan bahwa pengadaan benih oleh pemerintah justru merugikan petani karena bantuan tersebut bukan kualitas benih tapi kualitas konsumsi.
Menurut Setiarma pemerintah tidak perlu membantu benih tapi cukup membantu fasilitas perbenihan. AB2TI mengklaim dirinya mampu menghasilkan benih yang berkualitas tinggi untuk berbagai varietas.
Musyafak menambahkan setelah benih diproduksi, peredarannya harus diawasi sesuai Kepmentan No. 356 tahun 2015. Pengawasan peredaran benih meliputi monitoring, pengecekan mutu, pelabelan ulang jika diperlukan, pananganan kasus, pengawasan terhadap produsen yang bermasalah.
Dalam Kepmentan tersebut diatur dengan jelas tata cara peredarannya dan sanksi bagi yang melanggar. Tidak boleh benih yang tidak bersertifikat/berlabel atau benih kualitas konsumsi beredar diwilayan NKRI. “Jika AB2TI menemukan benih kualitas konsumsi beredar di lapangan, seharusnya segera melapor agar segera ditindak, bukan membangun citra buruk pemerintah,” imbuhnya.
Tuduhan bahwa bantuan benih oleh pemerintah merugikan petani, Musyafak meminta agar AB2TI memberi bukti-bukti yang valid dan jangan hanya beropini. Lakukan kajian terhadap hal tersebut dengan metodologi yang kredibel. Tidak asal tuduh dan bikin gaduh, karena bangsa ini tidak membutuhkan institusi semacam itu.
Dalam masalah perbenihan nasional, pemerintah telah memberi bantuan tidak hanya berupa benih tetapi juga fasilitas perbenihan seperti dryer, seed cleaner, siller, lantai jemur, gudang prosesing, gudang penyimpanan, dan lain-lain.
Fasilitas perbenihan baik berupa alat mesin maupun bangunan sudah banyak di berikan ke BBI (Balai Benih Induk) maupun ke penangkar. Menurut Musyafak, jelas tidak mungkin petani biasa (bukan penangkar) diberi bantuan fasilitas perbenihan, ini gagasan yang ngawur.
Kedepan, bantuan benih unggul untuk petani tetap masih diperlukan karena benih berperan signifikan dalam proses produksi yaitu 10-15 persen.
Selama ini stakeholders yang terlibat dalam perbenihan di Indonesia terdiri dari penangkar (perorangan, kelompok, swasta berbadan hukum, dan BUMN), BBI, dan lembaga sertifikasi. Pernyataan bahwa bantuan benih pemerintah merugikan petani karena benih yang diberikan kualitas konsumsi, mengindikasikan bahwa seolah-olah kinerja lembaga-lembaga perbenihan tersebut bermasalah.
Dalam sistem perbenihan nasional, Pemerintah mensyaratkan bahwa lembaga-lembaga perbenihan tersebut harus mempunyai kualifikasi yang handal. Penangkar harus teregister, dan lembaga produsen benih harus mendapat sertifikat sistem manajemen mutu dari Lembaga Sertifikasi Sitem Mutu (LSSM) yang terakreditasi.
Secara teknis mereka mempunyai skill mumpuni, sarana prasarana yang memadai dan pengalaman panjang dalam memproduksi benih. Musyafak menyarankan, tidak ada salahnya AB2TI perlu belajar banyak dari mereka. (eff)