JAKARTA (IndependensI.com) – Awalnya #SOS #SaveOurSoccer memberikan apresiasi tinggi kepada ketegasan PT Liga Indonesia Baru (LIB) terkait verifikasi infrastruktur (baca: stadion). Pada awal Februari 2018, LIB mengumumkan ada tiga stadion yang tak memenuhi standar dan dinyatakan TIDAK LOLOS VERIFIKASI.
Pertama, Stadion Marora, markas Perseru Serui. Kedua, Stadion Teladan, Medan, homebase PSMS. Ketiga, Stadion Moch Soebroto, Magelang yang akan dijadikan markas sementara PSIS Semarang selama Stadion Jatidiri belum selesai direnovasi.
Ketiga klub tersebut pun dituntut untuk mencari markas lain. PSMS misalnya sempat mengajukan Stadion Harapan Bangsa, Aceh dan Stadion Utama Riau, Pekanbaru. PSIS mengajukan Stadion Maguwoharjo, Sleman dan Stadion Sultan Agung, Bantul. Bahkan, LIB juga menolak Bhayangkara FC menggunakan Stadion PTIK sebagai kandang mereka.
Tapi, nyatanya ketegasan di awal semu belaka. Verifikasi stadion hanya formalitas. Standarisasi yang dibuat berpuluh-puluh halaman sebatas dijadikan “kitab suci” yang diletakkan di lemari.
“Sejak 2008 verifikasi stadion tak pernah tegas dan jelas. Banyak negosiasi yang dilakukan dan operator kompetisi membuka pintu untuk itu. Inilah salah satu penyebab utama tak maju-majunya kompetisi profesional sepak bola Indonesia. Tidak tegas dan cenderung standar ganda,” kata Dika Surjanto, Kepala Departemen Penelitian dan Pengembangan (Litbang) #SOS.
Menurut Litbang #SOS verifikasi stadion #GojekLiga1 musim ini tak lebih baik dari musim lalu. Banyak standar yang diabaikan. Tak sebatas lampu penerangan. Banyak aspek lain yang terabaikan mulai dari fasilitas match organization, fasilitas media sampai fasilitas publik/penonton. (Lihat lampiran aspek verifikasi stadion).
Lemahnya LIB dalam menegakkan regulasi juga membuat #GojekLiga1 musim lalu cacat.
Musim lalu misalnya, LIB bisa memaksa Persiba Balikpapan hijrah dari Stadion Parikesit, Pertamina, ke Stadion Gajayana karena tak lolos verifikasi. Tapi, karena Perseru mendapatkan “fasilitas khusus” bisa main di Stadion Marora, Persiba akhirnya bisa kembali ke Stadion Parikesit sebelum akhirnya main di markas baru mereka: Stadion Batakan.
Lemahnya LIB dalam menegakkan regulasi juga membuat #GojekLiga1 musim lalu cacat. Pasalnya, di bulan Ramadan, Perseru diberikan izin memainkan tiga laga kandang justeru di kandang lawan karena Stadion Marora tak memiliki penerangan. Perseru menjamu Bali United di Stadion Kapten I Wayan Dipta yang notabene markas “Serdadu Tridatu”. Lalu, memainkan laga melawan Persija di Stadion Patriot yang notabene home base “Tim Macan Kemayoran” serta menjamu PS TNI di Stadion Pakansari, kandang “The Army”.
Hal itu menabrak regulasi kompetisi pasal 20 yang hukumannya berdasarkan ayat 8 dinyatakan mengundurkan diri: “Dalam hal Klub tidak mampu menyampaikan nominasi Stadion alternatif sesuai dengan tenggat waktu yang ditetapkan LIB atau menolak untuk bertanding di Stadion alternatif yang ditetapkan oleh LIB, maka Klub yang bersangkutan dianggap mengundurkan diri dari Liga 1 sebagaimana diatur dalam pasal 13.
“Jangan sampai kasus ini terulang lagi. Artinya, PSSI dan LIB tak belajar dari kesalahan musim lalu,” kata Dika. “Musim ini LIB juga harus menyiapkan stadion evakuasi bila terjadi force majeur tak bisa menggelar pertandingan di venue yang sudah ditentukan. Apalagi, 2018 adalah tahun Pilkada. Ada 171 Pemilihan Kepala Daerah yang digelar serentak pada 27 Juni 2018 yang bisa saja izin pertandingan tak keluar di daerah bersangkutan,” Dika menambahkan.
Sudah tegaskan LIB dalam melakukan verifikasi atau hanya formalitas? Jawabannya akan terlihat di pekan kedua #GojekLiga1. Kebetulan ketiga tim yang markasnya sempat tak lolos verifikasi akan menjadi tuan rumah. PSMS menjamu Bhayangkara FC di Stadion Teladan dan Perseru menjamu PSM Makassar, di Stadion Marora, Sabtu, 31 Maret 2018. Sementara PSIS akan menantang PSIS di Stadion Moch. Sarengat, Minggu, 1 April 2018. Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) sebagai kepanjangan Pemerintah dalam hal ini Kemenpora sebagai pengawas dan pengendali olahraga professional harusnya tanggap terhadap situasi ini.
“Jangan sampai reformasi tata kelola yang didengungkan sebagai upaya percepatan pembangunan sepakbola nasional hanya pencitraan semata alias lips service. Padahal, kita sudah membayar mahal dengan sanksi FIFA selama setahun,” Dika menegaskan.
“Sepakbola kita bisa maju dan prestasi bila aturan dan regulasi dijalankan dengan benar. Dari segi administrasi dan ketegasan dalam pengelolaan kompetisi professional kita sudah tertinggal dari negara-negara ASEAN lainnya. Perlu segera bangun dari tidur panjang.”