IndependensI.com – Kejaksaan Agung Kamis, (5/4/2018) lalu mengumumkan mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Karen Galaila Agustiawan, sebagai tersangka dugaan korupsi Blok Basker Manta Gummy (BMG) Australia tahun 2009 yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 568 miliar.
Karen bersama tiga orang lainnya diduga pada 2009, ketika itu PT Pertamina melakukan akuisisi (Investasi Non-Rutin) berupa pembelian sebagian asset (Interest Participating/ IP) milik ROC Oil Company Ltd di lapangan Basker Manta Gummy (BMG) Australia berdasarkan perjanjian tanggal 27 Mei 2009.
Dalam pelaksanaannya diduga terjadi penyimpangan dalam pengusulan Investasi katanya, tidak sesuai dengan Pedoman Investasi; dalam pengambilan keputusan investasi tanpa adanya kajian kelayakan berupa kajian secara lengkap (akhir) atau “Final Due Dilligence” ;dan tanpa adanya persetujuan dari Dewan Komisaris. Tindakan tersebut mengakibatkan penggunaan dana sejumlah US$31.492.851 serta biaya-biaya yang timbul lainnya (cash call) sejumlah US$26.808.244 dolar AS tidak memberikan manfaat ataupun keuntungan kepada PT. Pertamina.
Berita penetapan Karen Agustiawan tersebut menjadi tersangka dugaan korupsi mengingatkan orang pada kasus mantan Diirut PT Merpati Nusantara Hotasi Nababan, dihukum 4 tahun karena gagal menyewa dua pesawat terbang dari AS.
Apakah nasib Karen Agustiawan akan seperti itu dan siapa akan menyusul? Pertanyaan itu beralasan sesuai keterangan pihak Kapuspenkum Kejagung yang menyatakan bahwa terjadi penyimpangan dalam pengusulan Investasi tidak sesuai dengan Pedoman Investasi, pengambilan keputusan investasi tanpa adanya kajian Kelayakan berupa kajian secara lengkap (akhir) atau “Final Due Dilligence” dan tanpa adanya persetujuan dari Dewan Komisaris.
Pertanyannya, apakah sekelas Karen Agustiawan bisa gegabah seperti itu? Mengakuisisi sebagian saham perusahaan asing tanpa kajian dan apakah mungkin perusahaan seperti PT Pertamina mengakuisisi perusahaan asing tanpa kajian secara lengkap? Apakah benar tanpa adanya persetujuan Dewan Komisaris?
Alangkah sialnya kita sebagai bangsa apabila putra-putri terbaik bangsa ini di eranya berbuat banyak, tetapi akan menghabiskan sisa pengabdiannya di balik jeruji besi. Karen Agustiawan adalah wanita pertama Dirut PT Pertamina dan mungkin di era reformasi Dirut paling lama (6 tahun).
Untuk itu kita perlu merubah pola pikir pemberantasan korupsi yang sering terfokus pada kesalahan atau kerugian apalagi dengan para meter kini, 7-8 tahun kemudian.
Pemerintah dan DPR juga harus menuntaskan perdebatan, apakah dana-dana milik BUMN itu masih milik negara atau sudah disisihkan, sehinga jelas kerugian negara atau kerugian perusahaan dan kerugian usaha bukanlah kejahatan.
PT Pertamina adalah badan usaha, yang namanya usaha tidak selamanya berhasil dan menguntungkan, karenanya ada perusahaan yang bangkut atau tutup karena rugi. Dan apabila setiap kerugian akan menjadi kejahatan, tujuan penegakan hukum seperti itu tidak akan mencapai keadilan. Mengapa kita kemukakan itu, karena dalam keterangan Kapuspen Kejagung itu, tidak disebutkan merugikan keuangan negara, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, sebagai unsure tindak pidana korupsi, di mana korupsinya?
Kita percaya proses hukum dan dalam kaitan itulah kita berharap pihak-pihak yang terkait dalam proses akuisisi tersebut hendaknya berani mengemukakan kesaksiannya sebelum proses hukum berlanjut.
Kesaksian-kesaksian itu penting sebagai pengimbang bagi Penyidik agar tidak terfokus hanya pada kejahatan Tersangka.
Walau berbeda, kita apressiasi apa yang diupayakan Aburizal Bakri, Dahlan Iskan serta Mahfud MD dalam mengemukakan apa mengapa dan bagaimana Dr. dr. Terawan dalam masalah pengobatan yang dilakukan namun menyeret dia terkena Kode Etik profesi. Terserah kepada IDI bagaimana menyelesaikan permasalahan internal dunia kedokteran, namun ada yang merasa melihat, mendengar dan mengalami berani bersaksi.
Menurut kita ada baiknya para Dewan Komisaris dan Dewan Direksi “bersuara” tentang apa, mengapa dan bagaimana saat aquisisi Blok BMG, terutama Meneri BUMN saat itu. Dengan keterangan para pihak, hendaknya Kejaksaan Agung secara terbuka dan professional menanganinya, sehingga rasa keadilan publik tidak terabaikan. Harus disadari kesadaran dan penafsiran hukum ekonomi dengan tindak pidana korupsi sungguh beda.Tidak untung atau rugi dalam dunia usaha, bukanlah kejahatan?
Mungkin para pengambil kebijakan perlu berpikir ulang bahwa tujuan penegakan hukum itu adalah untuk untuk keadilan menyeluruh, bukan sepotong-sepotong, apalagi hanya milik kelompok aparat. (Bch)