BALI (IndependensI.com) – Ramadhan kali ini, sebagian waktunya Saya berada di Bali. Kalau biasanya ada momen berbuka puasa bersama keluarga. Maka, di Bali diantara keluarga terdekat jalur kekerabatannya adalah Raja/Penglingsir Puri Negara, Jembrana, Anak Agung Gde Agung Bagus Sutedja. Jadilah kami makan bersama, Saya berbuka puasa, sementara bagi Gung Aji dan Bu Gung itu dinner biasa. Di sebuah restoran, salah satu menu yang kami pesan bernama paket “Magibung”.
Bali, yang kerap Saya sebut sebagai “Museum Hidup” harmoni antar umat, memang punya sisi menarik dalam tradisi mengisi Ramadhan.
Ketika Ramadhan tiba, umat Hindu menghormati Muslim yang berpuasa dengan ragam cara. Di Kampung Gelgel, Klunkung ada tradisi ‘Ngejot’ yaitu mengirimi ketupat. Umat Hindu juga turut bersuka cita, karena bisa ikut menikmati aneka makanan khas Ramadhan yang murah meriah di pasar kaget sekitar Masjid. Saat lebaran tiba, umat Hindu mengantar buah-buahan kepada saudaranya yang Muslim. Sementara saat Galungan, umat Muslim memberikan ketupat, minimal anyaman-nya, kepada umat Hindu.
Potret ini tidak hanya di Klungkung, tapi sebagai warisan Kraton Gelgel (induk semua Kraton Bali) tradisi itu telah menyebar ke komunitas Muslim lama di kota/kabupaten lain.
Kampung-kampung Islam di Klungkung (Gelgel, Lebah, Kusamba, Jawa) juga memiliki Masjid yang cukup besar, sebagai bukti toleransi komunitas Hindu yang mayoritas. Ada masjid tertua di Bali, Masjid Nurul Huda. Di Kusamba, sejak 1950an telah memiliki pesantren di rumah-rumah dengan sistem kelompok. Di Lebah, 1967 berdiri Pesantren Tarbiyatul Athfal (PTA) yang disusul Kampung Jawa 1975. Kusamba juga berkontribusi secara ekonomi bagi Bali dengan menjadi pusat pembuatan garam tradisional terbesar.
Di Badung, Masjid Al Muhajirin, Kepaon dalam keseharian, terlebih Ramadhan, menjadi sentra ragam aktivitas, salah satunya berpuka puasa dengan cara Magibung yaitu makan senampan bersama-sama dengan beralaskan daun pisang. Istilah Magibung ini yang di beberapa restoran dijadikan nama paket. Istilah ini adalah tradisi dari adat Hindu yang kemudian digunakan juga oleh umat Islam, karena tidak bertentangan dengan nilai-nilai prinsip Islam, bahkan umat Islam turut serta melestarikannya hingga kini.
Tradisi Ngejot misalnya, sejak lampau telah menjadi tonggak menciptakan kebersamaan dan persaudaraan Hindu-Muslim. Ini tradisi yang hadir sejak zaman kejayaan, misalnya di Pegayaman Buleleng, Budakeling Karangasem, Serangan Denpasar, Loloan Jembrana, dan tentu saja Kepaon Badung.
Umat Muslim ngejot dengan mengirim makanan jelang lebaran, Idul Fithri ke tetangga-tetangga Hindu-nya. Begitupun sebaliknya, umat Hindu ketika jelang Nyepi- Galungan-Kuningan. Atas dasar pengertian juga, umat Hindu biasanya tidak mengirimkan makanan hasil masakan, tapi buah-buahan.
Agar membuat nyaman umat Muslim yang sensitif dengan kehalalan. Kepekaan ini terwaris hingga kini, kemarin (20/5/2018) Saya memenuhi undangan narsum di Talkshow Ikatan Guru Indonesia (IGI) Bali, ada seorang Guru, Bapak I Ketut Mertayasa tiba-tiba keesokannya membawakan sekantung besar Salak asli dari kampungnya, KarangAsem (Duh enyak-enyak-enyak, manis semua nggak ada yang asem 🤤)
Di Denpasar, realitas harmoni -terlebih di Ramadhan, tak lepas dari rembesan histori kedekatan komunitas Muslim dengan Puri. Seperti komunitas Muslim di Kepaon, Muslim Bugis di Serangan, Suwung, Tuban, dan Angantiga yang erat dengan Pamecutan.
Tiap Ramadhan di Bali, setidaknya Kita mengingat Tradisi tersebut. Segala tradisi yang mengakrabkan dan memantapkan kerukunan hidup antar umat beragama yang perlu dijaga agar panggilan _Nyama Slam_ kembali populer dan hadir dalam keseharian. Ramadhan Mubarak!. (arya sandhiyudha/hdy)