JAKARTA (IndependensI.com) – Di bulan Ramadan ini umat islam diwajibkan untuk mengeluarkan zakat fitrah sebagai salah satu rukun Islam yang harus dilaksanakan. Selain zakat fitrah, masih ada beberapa zakat lainnya seperti infaq, mal, sedekah, sodaqoh, hibah, dan lain-lain yang bisa dilakukan umat Islam untuk membantu perekonomian warga yang tidak beruntung.
Tidak hanya itu, zakat juga bisa menjadi solusi untuk mewujudkan keadilan sosial, terutama untuk membendung ‘virus’ radikalisme dan terorisme. Pasalnya, radikalisme dan terorisme tidak hanya dipicu faktor ideologi saja, tetapi juga faktor ekonomi, sosial, dan politik.
“Zakat memang bisa menjadi solusi meski tidak terlalu besar, mengingat jumlah penduduk miskin dibandingkan nilai zakat umat islam di Indonesia sangat kecil. Tapi itu tetap sangat penting dalam mengurangi kesenjangan sosial yang menjadi incaran penyebaran radikalisme dan terorisme,” ujar Imam Besar Masjid Istiqlal Prof Dr KH Nasaruddin Umar, MA di Jakarta, Jumat (8/6/2018).
Sayang, lanjut Nasaruddin, sejauh ini belum dirancang pengeluaran zakat untuk berkontribusi dalam pencegahan terorisme, terutama untuk mendukung program deradikalisasi. Mestinya, lembaga atau badan penyalur zakat seperti Baznas dan Dompet Dhuafa bisa duduk bersama dengan pemerintah, dalam hal ini Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), untuk mengarahkan bagaimana zakat bisa memperkecil ketimpangan antara si kaya dan si miskin, juga buat para bekas kombatan dan napi terorisme yang telah insyaf dan butuh pekerjaan untuk melanjutkan hidupnya. Hal itu penting agar mereka tidak berpikir lagi untuk kembali menjadi teroris.
Namun, ungkap Rektor Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran (PTIQ) Jakarta, terlalu kecilnya nilai zakat umat Islam di Indonesia membuat ia agak pesimistis untuk memaksimalkan manfaat zakat ini. Apalagi di Indonesia, mustahik-nya (penerima zakat) terlalu besar.
Sebenarnya hal ini bisa diatasi dengan kebijakan pemerintah. Namun itu juga berat karena pajak yang diterima pemerintah saat ini saja, peruntukkannya masih tidak memihak ke rakyat kecil. Tapi dalam hal ini, pemerintah tidak bisa disalahkan karena pendapatan pajak itu digunakan untuk membangun visi jangka panjang, membangun infrastruktur yang jumlahnya triliunan.
Menurutnya, zakat adalah bagian paling kecil kontribusi umat islam terhadap agamanya. Dengan hanya 2,5 persen, itu sangat jauh dengan pajak progresif yang bisa sampai 10-20 persen dari nilai kekayaan. Apalagi umat Islam kadang-kadang masih malas, bahkan terkesan pelit untuk mengeluarkan zakat yang 2,5 persen itu, apalagi sedekah, hibah, jariyah, wasiyah, dan infaq. Mestinya itu harus dikeluarkan satu paket dengan 27 pundi ekonomi islam.
“Dari pengalaman Rasulullah SAW dan para sahabat, yang kita aktualkan hanya satu yaitu zakat saja. Terlalu pelit kita sebagai umat islam manakala pengeluarannya hanya zakat. Hanya 2,5 persen, padahal keuntungan kita dari mana-mana saja. Ada orang yang hanya memberikan sarung. Padahal sarung seperberapanya dari 2,5 persen dengan hartanya yang miliaran di bank. Cuma berapa kodi sarung dibagikan kepada fakir miskin. Itupun keluarga dekatnya masih dikasih, yang seharusnya bukan mustahik-nya. Saya kira pengelolaan zakat ini juga satu problem,” papar Nasaruddin.
Zakat Fitrah untuk Bersihkan Diri dan Tingatkan Kepedulian Sosial
Secara umum, mantan Wakil Menteri Agama RI, penanggulangan terorisme di Indonesia masih butuh perjuangan keras seluruh bangsa Indonesia. Ia melihat deradikalisasi adalahsebuah sistem yang harus diterapkan, tapi tidak bisa ditarget dalam mangka pendek. Menurutnya, membebani pemerintah dengan beban jangka pendek urusan deradikalisasi, itu tidak mungkin.
Ia meminta masyarakat agar tidak berpikir bahwa dengan terbentuknya BNPT, sim salabim selesai masalah terorisme selesai. Dalam deradikalisasi itu, kehadiran BNPT hanya untuk meredam, memproteksi, membatasi, mereduksi, melokalisir kegiatan terorisme. Jangan membebani segala-galanya BNPT itu tidak mungkin. Sehebat apapun power yang diberikan, terorisme tetap sulit dikikis sampai ke akar-akarnya.
“Persoalan sekarang adalah harus ada penyelesaian non BNPT. Artinya, kesenjangan, urusan untuk merajut sang kaya makin kaya, si miskin makin miskin. Itu bukan wilayah BNPT, tapi wilayah Menko Perekonomian, wilayahnya Menteri Sosial atau Bappenas. Dan di atas segalanya, harus ada kebijakan Presiden,” ungkapnya.
Dengan penerimaan dana yang dinilai sangat kecil, BNPT tidak mungkin untuk menggarap hal itu Kecuali bila anggaran yang diberikan lebih besar sehingga BNPT bisa bermanuver ke berbagai lini. Belum lagi, regulasinya yang sangat dibatasi seperti HAM dan segala macam. Ia berharap dengan telah disahkannya Undang-Undang Antiterorisme, bisa memberikan penguatan terhadap BNPT.
Nasaruddin menyarankan agar implementasi UU Antiterorisme itu harus sesegera mungkin dan harus segera dibuat Peraturan Pemerintah (PP). Soalnya UU terorisme tanpa PP pasti tidak akan jalan.
“Kita berharap PP segera dibuat, karena ada beberapa pasal yang mengharuskan segera ada PP. Semoga BNPT bisa lebih berdaya dengan adanya UU terorisme,” tutur Nasaruddin.
Sejauh ini, Nasaruddin menilai eradikalisasi yang dilakukan BNPT selama ini on the right track. Merangkul kembali mantan napiter, bahkan mereka dijadikan kepanjangan tangan untuk menyadarkan teman-teman yang masih di lapangan agar kembali. Ia bahkan menilai BNPT bisa jadi teladan, dan faktanya banyak mendapat apresiasi dari BNPT sedunia.
“Itu harus diapresiasi. Jangan menjadikan BNPT seperti keranjang sampah. Begitu ada teroris, langsung keluar penilaian bahwa BNPT tidak berfungsi. Begitu ada radikalisme BNPT, apa kerjaan BNPT? Padahal membebani sesuatu yang bukan kapasitas itu sama saja dengan mendzolimi BNPT. Itu bukan wilayahnya,” tukas Profesor Nasaruddin.
Karena itu, Nasaruddin mengajak seluruh pihak untuk mengerti anatomi terorisme di Indonesia. Menurutnya, terorisme di Indonesia tidak separah terorisme di Palestina yang sudah mendarah daging karena dendam kepada Israel. Juga tidak sama dengan terorisme di Irak yang memang rumahnya hancur-hancuran oleh kelompok penguasa pemerintah. Di Indonesia, rumah teroris tidak diapa-apakan, orang tuanya juga tetap hidup. Bahkan mereka juga dirangkul.
Jadi, lanjutnya, tingkat terorisme di Indonesia tidak separah di Timur Tengah, meski juga tidak kecil. Tapi ia berharap berharap, sebelum membesar eskalasinya, deradikalisasasi harus dilakukan baik di lingkungan perguruan tinggi, lingkungan pengelolaan masjid, ormas Islam, deradikalisasi di lingkungan partai politik islam. Kalau tidak dilakukan semacam pendekatan, pada suatu saat nanti, justru negara yang harus dilakukan deradikalisasi juga.
“Ketika segalanya menjadi radikal, mau tidak mau harus dilakukan deradikalisasi terhadap itu. Caranya menghampiri dan mendekati mereka,” pungkasnya.