Tudingan Kafir dan Babi, Picu Kemarahan Suku Dayak di Kalimantan

Loading

PONTIANAK (IndependensI.com) – Jurubicara Suku Dayak Kalimantan, Cornelius Kimha, menegaskan, tudingan Suku Dayak sebagai kelompok kafir dan babi dari kaum intolerans di media sosial, bisa memicu konflik terbuka di Kalimantan, baik di Indonesia maupun di Malaysia (Sabah dan Sarawak).

“Semua pihak harus menahan diri pasca pemilihan Gubernur Kalimantan Barat, Rabu, 27 Juni 2018. Secara aqidah, tidak ada dasarnya menuding kelompok lain sebagai kafir. Karena tidak jaminan pula, pihak yang menuding Suku Dayak sebagai kelompok kafir dan babi, otomatis masuk surga, apabila sudah meninggal dunia,” kata Cornelius Kimha, Rabu (4/7/2018).

Cornelis Kimha mengingatkan, semua pihak, implikasi yang harus diperhitungkan, apabila Suku Dayak sudah tersinggung dan marah, sebagaimana kerusuhan rasial di Sampit, Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2001, dan kerusuhan di Kalimantan Barat, tahun 1967, 1997, 1998 dan 1999.

Menurut Cornelius, berbagai upaya telah dilakukan untuk meredam aksi kemarahan Suku Daya, pasca pencoblosan dalam pemilihan Kepala Daerah, Rabu, 27 Juni 2018, dimana di antaranya dilakukan pemilihan Gubernur Kalimantan Barat.

Kendati langkah maksimal sudah dilakukan, ujar Cornelius Kimha, tetap saja terjadi letupan kecil di sejumlah wilayah di Kalimantan Barat, sehingga semua pihak harus mampu menahan diri.

“Kesan saya, aparat keamanan sudah maksimal di dalam melakukan pendekatan kepada tokoh Suku Dayak untuk menahan diri. Tapi langkah serupa diharapkan pula dilakukan terhadap kelompok lain di Provinsi Kalimantan Barat,” ujar Cornelis.

Untuk meredam aksi kekerasan Suku Dayak, menurut Cornelius Kimha, masyarakat Suku Dayak di Provinsi Kalimantan Barat menggelar ritual adat basaru sumangat pasca pencoblosan Pemilihan Gubernur Kalimantan Barat (Pilgub Kalbar), Rabu, 27 Juni 2018. Ritual basaru sumangat digelar di salah satu tempat di Pontianak, dalam limir waktu yang tidak terlalu lama.

Ritual basaru sumangat bertujuan menghilangkan singkaro. Singkaro, adalah bagian dari ritual basaru sumangat. Singkaro adalah bentuk ancaman mendekati berupa  fisik dan atau non fisik yang mendekati kenyataan.

Atau, percobaan dan atau ancaman pembunuhan fisik dan non fisik yang gagal dilakukan. Akan tetapi upaya tersebut   dilakukan terus-menerus, sehingga tetap diwaspadai karena kekuatan pelaku berpotensi masih berkeliaran. Mereka, para pihak yang berpotensi melakukan aksi kekerasan nyata dan atau tidak nyata.

Menurut Cornelius Kimha, pemahaman sederhana dari sudut teologi dan atau aqidah dari basaru sumangat, ibaratkan pengorbanan seperti yang pernah terjadi dalam Alkitab Perjanjian Lama, berupa kisah pengorbanan Nabi Abraham, terhadap anaknya bernama Isak. Dimana Allah memerintahkan Abraham, mengorbankan anaknya bernama Isak.

Akan tetapi dengan kekuatan iman dan ketaatan Nabi Abraham akan perintah-perintah Allah, maka Allah membatalkan untuk mengorbankan Isak, untuk kemudian diganti dengan mengorbankan satu ekor domba.

Filosofi itu secara teologi Kristiani, sejalan dengan agama asli Suku Dayak, karena berdasarkan pemahaman akar filsafat teologi naturalis alamiah dan teologi adikodrati Thomas Aquinas (1225 – 1274), seseorang bisa mengenal Tuhan dengan akal dan budinya. Jadi sebelum agama dari luar masuk ke Pulau Borneo (Kalimantan), Suku Dayak sudah memiliki agama asli. Basaru sumangat bagian tidak terpisahkan dari ritual agama asli Suku Dayak.

Cornelius Kimha mengatakan, dalam perkembangan terakhir Presiden Majelis Adat Dayak Nasional (MADN), Drs Cornelis MH, dalam banyak hal, selalu menjadi sasaran ujaran kebencian dan atau ancaman nyata dan atau tidak nyata dari kelompok kaum intolerans, terutama melewati media sosial.

Berkaitan dengan itu, maka digelar ritual basaru sumangat, karena Drs Cornelis MH, sebagai tokoh adat Suku Dayak Borneo (Kalimantan). Basaru sumangat bertujuan agar sebagai tokoh Dayak Kalimantan, Drs. Cornelis MH, bisa menjadi lebih kuat dan lebih bersemangat dalam melaksanakan tugas kepemimpinan dan pengayomannya  bagi masyarakat adat Dayak di Kalimantan. (Aju)