PONTIANAK (IndependensI.com) – Sekilas tidak ada hubungan antara Presiden Republik Indonesia, Soekarno (17 Agustus 1945 – 22 Juni 1966), Suku Dayak di Pulau Kalimantan (Borneo), Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD) dan Central Inteligence Agency United State of Amercia (CIA USA).
Dampaknya dalam enam dasawarsa terakhir (1966 – 2018) terjadi praktik kriminalisasi dan diskriminasi terhadap Suku Dayak di Pulau Borneo, akibat praktik hegemoni Agama Islam, Suku Jawa dan Suku Melayu, pasca Perang Dingin sejak 17 Agustus 1945 yang berakhir melalui kejatuhan The Union of Soviet Socialis Republics (USSR) pada 25 Desember 1991.
Untuk itulah, dalam kisah perebutan pengaruh penganut ideologi global, yaitu penganut ideologi liberalis (Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Selandia Baru, Australia, Perancis, Belanda) melawan penganut ideologi sosialis (Uni Soviet, Republik Rakyat Cina) di Asia Tenggara, mamang ada hubungannya.
Kaum liberalis, terus berupa mendongkel Presiden Indonesia, Soekarno. Untuk melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno, karena menggiring Indonesia familiar dengan ideologi sosialis yang sudah disesuaikan dengan alam dan budaya Bangsa Indonesia, yaitu Pancasila, maka CIA USA membiayai pendirian Sekolah Staf dan Komandan Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung tahun 1951.
Alumni Seskoad kemudian melakukan gerakan anti Soekarno, karena sebagai penganut sosialis, Presiden Soekarno, dinilai tidak mampu menjaga jarak dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), dan akhirnya meledak Gerakan 30 September (G30S) 1965 di Jakarta, melalui penculikan dan pembunuhan tujuh jenderal senior TNI AD.
G30S 1965 di-setting CIA USA, dengan menciptakan konflik internal di lingkungan TNI-AD, antara Menteri/Panglima TNI-AD, Letnan Jenderal TNI Ahmad Yani dengan Panglima Komando Tempur (Pangkopur) IV/Bengkayang, Kalimantan Barat, Brigadir Jenderal TNI Soepardjo.
Bahkan dalam mendukung pergerakan merontokkan kepemimpinan Presiden Indonesia, Soekarno, Amerika Serikat mengganti Duta Besar Howard Jones dengan Marshall Green bertugas di Jakarta, terhitung 26 Juli 1965.
Marshall Green dikenal di Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat sebagai diplomat ahli kudeta. Marshaal Green merupakan Duta Besar Amerika Serikat di Seoul yang paling berperan menumbangkan rezim diktator Presiden Korea Selatan Syngman Rhee, tanggal 18 April 1960.
Marshaal Green terlibat penghasutan 30 ribu demonstrans anti Presiden Synghman Rhee. Selama demonstrasi berlangsung, 130 orang mahasiswa terbunuh dan 1.000 orang terluka.
Akibat insiden antar demonstrans dan militer, Pemerintah Korea Selatan menetapkan negara dalam keadaan darurat. Kemudian, pada 25 April 1960, sebanyak 300 orang dosen melakukan demonstrasi yang mendukung aksi mahasiswa.
Ditekan Amerika Serikat lewat Marshall Green, membuat Presiden Syngman Rhee mundur dan kabur ke Honolulu, Hawaii, Mei 1960. Pada Juli 1960, Yun Yo Son terpilih oleh parlemen sebagai Presiden Korea Selatan kedua.
Kudeta Soeharto
Sejarawan John Roosa, dari Department of History at the University of British Columbia, dalam bukunya berjudul: “Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto”, 1998, menyebutkan, G30S 1965, tidak dirancang dengan baik.
Akibatnya, menurut John Roosa, kemudian disusul kudeta balasan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Letnan Jenderal TNI Soeharto, alumni Seskoad dibiayai CIA USA, melakukan pembunuhan jutaan manusia tidak berdosa, 1965 – 1974.
Kesuksesan CIA USA men-setting G30S 1965 di Jakarta, membuat pidato Nawaksara Presiden Soekarno ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), sehingga Soekarno diberhentikan jadi jabatan Presiden pada 22 Juni 1966. Pangkostrad Letnan Jenderal TNI Soeharto, kemudian menjadi Presiden Indonesia selama 32 tahun secara otoriter, 1 Juli 1966 – 21 Mei 1998.
Kaitan dengan Suku Dayak, karena penduduk asli di Pulau Borneo itu, pernah diperalat Pemerintah Indonesia dan TNI AD, untuk melakukan pengusiran dan pembunuhan ratusan ribu etnis Tionghoa dari pedalaman dan perbatasan Provinsi Kalimantan Barat dengan Negara Bagian Sarawak, selama operasi penumpasan Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak/Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (PGRS/Paraku), 1966 – 1974.
PGRS/Paraku adalah pasukan paramiliter dibentuk Presiden Soekarno, untuk membantu militer Indonesia, berperang melawan kepentingan Inggris di Sabah dan Sarawak. Saat Indonesia – Malaysia berdamai (rujuk) di Jakarta, 11 Agustus 1966, PGRS/Paraku ditumpas secara militer oleh Indonesia, karena tidak mau menyerahkan diri.
Sabah dan Sarawak
G30S 1965 terjadi saat Presiden Soekarno, memutuskan, perang terhadap kepentingan Inggris di Negara Bagian Sarawak dan Negara Bagian Sabah, Federasi Malaysia. Presiden Soekarno, marah besar kemudian memutuskan perang melawan kepentingan Inggris di Negara Bagian Sarawak dan Negara Bagian Sabah, Federasi Indonesia, 1964 – 1965.
Dua pertimbangan, Presiden Soekarno memutuskan perang melawan kepentingan Inggris di Sabah dan Sarawak. Pertama, Sabah dan Sarawak, selalu dijadikan base camp CIA AS, dalam mensuplai logistik bagi pemberontakan Perdjoeangan Rakjat Semesta (Permesta) dan Pemerintahan Revolusioner Rakjat Indonesia (PRRI) di Sumatera dan Sulawesi, untuk merongrong kepemimpian Presiden Soekarno.
Kedua, Presiden Soekarno memang pernah menginginkan Sabah dan Sarawak, harus menjadi dua negara berdiri sendiri, terpisah dari Kuala Lumpur. Karena itulah, pada 13 Agustus 1945, para pemimpin nasionalis Malaya bertemu dengan Presiden Indonesia Soekarno dan Wakil Presiden Indonesia Mohammad Hatta di Gunseikanbu, Taiping, Perak.
Encik Ibrahim Yaakob, Burhanuddin, dan pemuka rakyat Malaya ingin menggabungkan Malaya dengan Indonesia Raya. Namun Dwitunggal Indonesia (Soekarno – Hatta) tidak dapat membuat keputusan begitu saja.
Karena merupakan sesuatu yang belum pernah dibicarakan sebelumnya. Rakyat Malaya kemudian mengambil keputusan sendiri. Tiga hari berturut-turut (15, 16 dan 17 Agustus 1945) mereka menyelenggarakan Kongres Rakyat Malaya di Kuala Lumpur.
Hasilnya, keputusan berjuang demi kemerdekaan dan bersatu dengan Indonesia. Keputusan dipelopori Burhanuddin, kemudian didukung Onn bin Jafar. Kemudian, Encik Ibrahim Yaakob berangkat ke Singapura untuk menarik Giyungun menjadi tentara kebangsaan.
Juga akan dikirim utusan ke Jawa untuk mengatur penggabungan Semenanjung Malaya dengan Republik Indonesia.
Namun rakyat Malaya yang penuh harap itu akhirnya maklum dan terharu berhadapan dengan kenyataan bahwa Republik Indonesia yang terdiri dari Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945, ternyata hanya meliputi wilayah Hindia Timur Belanda saja.
Jadi, adanya tuduhan seakan-akan Indonesia ingin mencaplok Malaysia dan Kalimantan Utara, tidak benar sama sekali. Hal yang saat itu ditentang secara habis-habisan oleh Presiden Soekarno adalah neokolonialisme, yaitu ketika Federasi Malaysia sudah mau didikte Inggris.
Inggris ketika itu berdalih, untuk sekedar menggunakan haknya sebagai pemegang kedaulatan formal atas Malaysia, dan Inggris tidak mau diganggu hal itu. Inggris mempunyai konsep sendiri, di satu pihak harus mengikuti arus dekolonisasi dunia, dan di pihak lain ingin terus mempertahankan hegemoni ekonominya di kawasan bekas jajahannya.
Gagasan membentuk Federasi Malaya menjadi Malaysia, dicetuskan Lord Bruscy, Direktur North Borneo Company. Bruscy mengusulkan kepada Pemerintah Inggris untuk mempersatukan tanah dan Straits Settlement (Malaka, Singapura dan Penang) dalam suatu gabungan yang luas.
Ide Lord Bruscy kemudian dikembangkan oleh Malcolm McDonald, The British Hight Commisioner untuk jajahan Inggris di Asia Tenggara. Inggris akhirnya terpaksa memberikan kemerdekaan kepada Malaysia (31 Agustus 1957) dengan Singapura di dalamnya.
Sedangkan Sarawak, Sabah dan Brunei diatur dalam suatu federasi lain. Tapi akhirnya lahirlah suatu negara federasi baru yang bernama Malaysia, 16 September 1963.
Sejumlah tokoh Partai Rakyat Semenanjung Malaya pernah mencetuskan gagasan Federasi Indonesia – Malaya berdasarkan etnologis ras Melayu.
Tetapi pada 27 Mei 1961, Perdana Menteri Tengku Abdul Rahman ketika berhadapan dengan The Foreign Correspondent’s Associations of South East Asia di Singapura, menyatakan, “Dewasa ini Malaya sebagai suatu bangsa menyadari bahwa dia tidak dapat berdiri sendiri. Cepat atau lambat Malaya harus punya saling pengertian dengan Inggris dan rakyat-rakyat Singapura, Kalimantan Utara, Brunei dan Sarawak.”
Penggabungan Malaya dengan daerah bekas jajahan Inggris lainnya menjadi penting terutama bagi etnis Melayu, karena jumlah penduduk etnik Melayu dan China berada dalam jumlah yang saling bersaing.
Dengan adanya penyatuan maka posisi etnis Melayu akan lebih aman, sekaligus dapat mencegah masuknya komunisme yang diimungkinkan masuk melalui sebagian etnis China.
Alasan itu tampaknya dibangun di atas pemikiran rasistis. Karena pada kenyataannya tidak semua etnis China di kawasan itu pro komunis. Apalagi kemudian terbukti, pergolakan di Kalimantan Utara sama sekali tidak didukung secara fisik oleh Republik Rakyat China.
Alasan rasis seperti itu sebenarnya merupakan keinginan politik pribadi Tengku Abdul Rahman yang berusaha memasukkan Sabah, Sarawak dan Brunei ke dalam Federasi Malaya. Apalagi penduduk di daerah itu masih terkebelakang dan mudah dipengaruhi.
Alasan bagi Inggris, gagasan Federasi Malaysia perlu didukung, karena didasarkan pada pertimbangan ekonomi maupun pertahanan. Dengan menguasai Malaysia, maka Inggris tetap dapat menguasai tambang timah dan perkebunan karet.
Sedangkan di Singapura, Inggris berharap tetap bisa menguasai sejumlah perusahaan dagang, dan di Brunei dapat tetap menguasai tambang minyak. Ini dari aspek ekonomi.
Dari aspek pertahanan, Malaya merupakan mata rantai penting dari garis pertahanan yang membentang dari Inggris melalui Gilbraltar dan Aden terus ke Singapura. Apalagi, Tengku Abdul Rahman dikenal sebagai sosok yang pro Barat, sehingga sebuah Federasi Malaysia yang dilahirkan akan menjadi tetap pro Barat.
Pada Juni 1961 diadakan konferensi The Commonwealth Parliementary Association yang berlangsung di Singapura. Pada forum itu untuk pertama kalinya diberi kesempatan kepada semua wakil rakyat dari kelima daerah (Malaysia, Singapura, Sabah Sarawak dan Brunei) untuk membicarakan gagasan Federasi Malaysia secara bersama-sama.
Pada Oktober 1961, Perdana Menteri Inggris McMillan mengundang Perdana Menteri Tengku Abdul Rahman ke London. Kala itu Parlemen Malaya yang cenderung memberi persetujuan, meski keberangkatan Tengku Abdul Rahman ditentang oleh Pan Malayan Islamic Party, The Socialist Front, dan The Progressive Party.
Kedua Perdana Menteri itu sepakat bahwa kedua belah pihak menyetujui penggabungan antara Singapura dengan Malaya. Juga menyetujui pertahanan Inggris – Malaya diperluas hingga meliputi daerah-daerah lain yang akan masuk ke dalam Federasi Malaysia.
Kesepakatan dilanjutkan dengan kehadiran The Cobblad Comission of Enquiry for Borneo Territories di Sarawak pada Februari 1962. Komisi ini kemudian membuat laporan yang menjadi dasar Perdana Menteri Inggris untuk mendirikan Federasi Malaysia, 16 September 1963.
Sekitar dua bulan sebelumnya, 9 Juli 1963, perwakilan dari Malaya, Singapura dan Sabah – kecuali Brunei – menandatangani dokumen persetujuan. Brunei yang saat itu diwakili oleh Sultan Brunei Omar Ali Syaifuddin mengajukan syarat agar penggabungan dalam federasi itu dilakukan dengan sukarela.
Dewan legislatif yang seluruhnya terdiri dari anggota Rakyat Brunei yang dipimpin A.M. Azahari menolak konsep Federasi Malaysia, sehingga Inggris menjadualkan pembicaraan dengan mereka pada tanggal 5 Desember 1962.
Namun dibatalkan sepihak. Para patriot Brunei kemudian mengambil langkah tegas untuk memproklamirkan kemerdekaan nasional Negara Kesatuan Kalimantan Utara (NKKU), 8 Desember 1962. Tapi kemudian dengan mudah ditumpas Inggris.
Kondisi Suku Dayak
Pasca sebagian besar wilayah di Asia Tenggara ditaklukkan penganut ideologi liberalis pimpinan Amerika Serikat, kondisi Suku Dayak sebagai penduduk asli di Pulau Borneo yang sekarang menjadi wilayah Republik Indonesia, Kerajaan Brunei Darussalam dan Federasi Malaysia, justru menjadi korban kriminalisasi dan diskriminasi.
Penduduk Suku Dayak di Indonesia, Kerajaan Brunei Darussalam dan Federasi Malaysia, menjadi korban hegemoni Agama Islam. Terutama di Kerajaan Brunei Darussalam dan Federasi Malaysia, dimana Suku Dayak yang bukan pemeluk agama Islam, sangat dilarang menyebut kata Allah dalam tatanan peribadatan, dan Kitab Suci Injil edisi Bahasa Malaysia, tidak diperbolehkan menyebutkan kata Allah.
Tanah adat masyarakat Suku Dayak dirampas negara, tanpa diberi ganti rugi. Di Indonesia, hutan adat Dayak dirampas pengusaha perkebunan dan pertambangan yang berkolaborasi dengan elit kekuasaan, baik di tingkat lokal maupun nasional.
Di Distrik Miri, Negara Bagian Sarawak, ratusan warga Suku Dayak diusir, tanpa diganti rugi, karena tanahnya dijadikan pembangunan Bendungan Sungai Bakum atau Bakum Dam, dan sekarang jaringan listriknya diekspor hingga ke Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia.
Di Malaysia, etnis Melayu mendapat perlakuan istimewa dari Pemerintah. Di Indonesia, terjadi praktik Jawanisasi, melalui Program Transmigrasi, berupa pemindahan penduduk Jawa ke wilayah Pulau Borneo. Masyarakat Suku Dayak yang terbukti mencari sumber penghidupan di dalam hutan adat, ditangkap, dengan tuduhan pencurian.
Di Provinsi Kalimantan Tengah, Agama Kaharingan sebagai agama asli Suku Dayak dipaksa bergabung dengan Agama Hindu melalui Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Tampung Penyang, Palangka Raya.
Di Negara Bagian Sabah, imigran Muslim dari Suku Moro, Mindanao, bebas berkeliaran dan sewaktu-waktu memiliki hak untuk mengikuti Pemilihan Umum, sebagai upaya menekan kalangan Suku Dayak yang bukan beragama Islam.
Geopolitik Asean
Praktis, Suku Dayak tidak berdaya menghadapi praktik kriminalisasi dan hegemoni yang terstruktur dan masif.
Karena itulah, suka atau tidak suka, dari aspek geopolitik, Suku Dayak sebagai penduduk asli atau penduduk pribumi di Pulau Borneo, bisa menjadi ancaman serius bagi keutuhan negara-negara di kawasan Association of South East Asian Nation (Asean).
Ini lantaran Suku Dayak yang berdomisili di wilayah Republik Indonesia, Federasi Malaysia dan Kerajaan Brunei Darussalam, dalam takaran terentu bisa saja nantinya, merasa senasib dan sepenanggungan, sebagai korban diskriminasi dan kriminalisasi di negara masing-masing. Untuk itu mereka merasa membutuhkan sebuah gerakan kolektif, terpadu dan mengikat di lingkungan internal.
Karena di dalam Deklarasi Hak Penduduk Pribumi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 61/295, tanggal 13 September 2007, disebutkan, warga pribumi berhak mempertahankan identitas, hak kepemilikan terhadap tanah adat, serta hak untuk menentukan haluan politiknya.
Ada tiga parameter utama Suku Dayak penghuni Pulau Borneo masuk kategori penduduk asli sesuai kriteria Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yaitu memiliki agama asli bernama Kaharingan, dengan kitab Suci Panaturan dan tempat ibadat Basarah, dan kebudayaan leluhur masih tetap lestari.
Kemudian, pada tahun 1998, Balai Arkelologi Banjarmasin, menemukan puing-puing Kerajaan Nan Sarunai, milik Suku Dayak Maanyan di Kalimantan Selatan yang berdiri tahun 242 – 226 Sebelum Masehi.
Ini mematahkan klaim sebelumnya, bahwa Kerajaan Kutai Martadipura, milik Dayak Kutai di Provinsi Kalimantan Timur, berdiri tahun 4 Masehi sebagai kerajaan tertua di Indonesia.
Baik Kerajaan Nan Sarunai sebagai kerajaan prasejarah, 242 – 226 Sebelum Masehi, maupun Kerajaan Kutai yang berdiri tahun 4 Masehi, sama-sama milik Suku Dayak. Ini membuktikan Suku Dayak di Pulau Borneo sebagai rujukan peradaban Bangsa Indonesia.
Apabila masalah ini tidak segara diperhatikan Pemerintah Republik Indonesia, Kerajaan Brunei Darussalam dan Federasi Malaysia, bukan mustahil suatu saat nanti ada gerakan kolektif Suku Dayak sebagai penduduk asli Pulau Borneo, sehingga secara geopolitik berpotensi menjadi ancaman serius di kawasan ASEAN.
Mesti disadari, setiap negara yang terbukti melakukan kriminalisasi dan diskriminasi terhadap penduduk asli sebagai Deklarasi Hak-hak Penduduk Pribumi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 61/295, tanggal 13 September 2007, maka suka atau tidak suka, akan berhadapan dengan tekanan luar biasa dari kalangan dunia internasional.
Bisa saja nanti, Suku Dayak di Indonesia, Malaysia dan Kerajaan Brunei Darussalam, mengadukan nasibnya ke Perserikatan Bangsa-Bangsa, karena terbukti ada pelanggaran serius terhadap Deklarasi Hak-hak Penduduk Pribumi Nomor 61/295, tanggal 13 September 2007. (Aju)
Permasalahan sabah dan serawak brau petroleum maskapij sydah inkraght adanya cultural violecen uyg filakukan oleh malay, br7nei, indinesia ,usa, 8nggris