JAKARTA (Independensi.com) – Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) menentang Bailout utang BPJS Kesehatan pada rumah-rumah sakit, jika tidak diikuti perbaikan yang mendasar terhadap jamianan kesehatan rakyat.
Untuk itu DKR mendesak agar pemerintah segera mengambil alih pembiayaan pelayanan di kelas tiga diseluruh rumah sakit di Indonesia.
Hal ini ditegaskan oleh Roy Pangharapan dari Pengurus Nasional DKR di Jakarta, Senin (17/9/2018) menjelang Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPR-RI Jakarta, yang akan menghadirkan Menteri Kesehatan, Menteri Keuangan dan BPJS Kesehatan. RDP kali ini untuk membahas dan mencari jalan keluar atas krisis kesehatan yang diakibatkan oleh pelayanan BPJS Kesehatan yang semakin merosot.
“Pemerintah perlu segera mengambil alih dari BPJS Kesehatan, jaminan pelayanan kesehatan di Kelas 3 disemua rumah sakit seluruh Indonesia. Negara memastikan pelayanan kesehatan seluruh rakyat secara gratis di kelas 3, seperti yang diperintahkan UUD’45 yaitu melindungi seluruh rakyat Indonesia,” tegasnya.
Sehingga menurutnya, menjadi tegas bahwa yang diurus dan ditanggung oleh BPJS adalah kelas 2, kelas 1 dan VIP. Sementara kelas 3 langsung dibawah tanggung jawab negara. Sementara negara lewat Pemerintah RI memastikan pelayanan kesehatan seluruh rakyat Indonesia di kelas 3 seluruh rumah sakit.
“Kalau sudah seperti ini, maka jumlah bailout yang dibayarkan oleh Pemerintah menjadi lebih jelas. Dari rawat jalan, inap, tindakan, konsultasi obat, peralatan, pelayanan dokter dan petugas kesehatan di kelas 3 dibayar negara,” jelasnya.
Ia memaparkan dengan adanya kepastian tanggung jawab negara pada kelas 3 maka persoalan yang selama ini dikeluh pada BPJS Kesehatan bisa teratasi.
“Semua pasien miskin dan tak mampu dengan KTP pasti terlayani. Dokter dan petugas kesehatan tidak lagi mengeluh karena ada kepastian dalam bekerja. Manajemen rumah sakit pasti terbayar. Obat-obatan pasti tersedia dan farmasi tidak ketiban hutang tak terbayar,” jelasnya.
Roy Pangharapan menggambarkan, saat ini ada 92,2 juta orang tak mampu dan miskin penerima bantuan iuran (PBI) BPJS yang dibayar oleh pemerintah. Total keseluruhan peserta BPJS Kesehatan adalah 196,4 juta jiwa.
“Kalau negara menangggung PBI untuk seluruh rakyat sebanyak 240 juta jiwa, maka batasan pengeluaran tetap menjadi jelas adalah untuk kelas 3. Diluar kelas 3 ditanggung peserta BPJS Kesehatan. Gak seperti sekarang, defisit gak jelas untuk bayar pelayanan yang mana dan kemana saja dana APBN itu digunakan. Tidak ada kejelasan pertanggung jawaban,” katanya.
Bagi masyakat mampu dan ingin mendapatkan fasilitas kelas 2, kelas 1 dan VIP menurutnya ditanggung oleh BPJS Kesehatan sesuai dengan besaran iuran yang ditetapkan BPJS Kesehatan.
“Tapi kalau dia tiba-tiba miskin, dia berhak mendapatkan pelayanan di kelas 3 yang dibayar negara,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa dengan demikian sudah jelas yang menjadi ranah tanggung jawab negara adalah kelas 3, sehingga besaran dana setiap tahun untuk dibayar negara sudah jelas besaran dan peruntukannya.
Menurut Roy Pangharapan tanggung jawab penuh pemerintah pada pelayanan kesehatna seluruh rakyat sudah pernah berlaku dimasa Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat). Biaya kesehatan yang dibayar oleh pemerintah pada pelayanan Jamkesmas pada tahun 2013 untuk 86,4 juta jiwa rakyat Indonesia saat itu sebesar Rp 8,29 riliun.
“Kalau untuk menanggung biaya kesehatan 240 juta jiwa rakyat Indonesia, kalikan tiga saja angkanya sudah tetap yaitu sekitar Rp 25 Triliun pertahun. Katakanlah Rp 35 triliun pertahun dialokasikan untuk menjamin kelas 3. Itupun dalam pengalaman selama Jamkesmas, setiap tahun hanya terpakai kurang dari 10 persen,” katanya.
Ia mengingatkan jangan sampai bailout terhadap hutang BPJS Kesehatan di rumah-rumah sakit menjadi beban dan masalah bagi pemerintah saat ini dan yang akan datang dikemudian hari.
“Bailout Bank Century saja sudah bermasalah. Ditambah Bailout BPJS Kesehatan. Masalah datang bukan dari rakyat tapi dari pemerintah sendiri,” ujarnya.
Bailout Kemenkeu
Sebelumnya Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan segera mencairkan dana talangan (bailout) untuk menyelamatkan defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Meski demikian, saat ini bendahara negara masih menunggu usulan seberapa besar dana yang dibutuhkan untuk menutup keseluruhan defisit kas keuangan BPJS Kesehatan.
Dalam rangka pencairan dana JKN, Direktur Utama BPJS Kesehatan – yang dalam hal ini Fahmi Idris – harus mengajukan surat tagihan kepada pejabat pembuat komitmen (PPK).
Surat tagihan tersebut, pun harus dilampiri dengan kuitansi tagihan penyaluran dana JKN, daftar penggunaan dana JKN, dan surat pernyataan tanggung jawab mutlak.
Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 113/PMK.02/2018 tentang tata cara penyediaan, pencairan dan pertanggungjawaban dana cadangan program jaminan kesehatan nasional.
Terlepas dari hal itu, bendahara negara masih menutup rapat berapa besar dana yang disiapkan untuk menyelamatkan BPJS Kesehatan. Namun, pemerintah mengaku sudah memiliki dana yang siap dicairkan.
“Kami ada dana cadangan, ada bantuan. Tapi kita sedang minta BPJS mengajukan yang dibutuhkan berapa,” kata Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo.