IndependensI.com – Febri Diansyah sebagai juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai ujung tombak dalam membela komisi anti korupsi itu di berbagai lini dan persoalan termasuk memoles agar KPK tetap tegak dan mulus di mata masyarakat.
Kadang-kadang Febri harus “jungkir balik” memberikan jawaban dan penjelasan kepada publik, terutama mereka yang sering “nyinyir” atau memojokkan KPK dalam pelaksanaan tugasnya seperti halnya ketika Panitia Khusus Hak Angket DPR tentang KPK, bagaimana Febri Diansyah dengan gayanya bicaranya yang santun datar tetapi kukuh serta tegas memberikan penjelasan dengan kepribadian yang low profle.
KPK dengan segala keterbatasannya sebagai institusi yang di satu pihak didukung dan disanjung sebagian besar warga negra Indonesia tetapi tidak sedikit juga yang menentangnya, sehingga sedikit saja keterlambatan bertindak, apalagi bila dianggap salah, maka “hantaman gelombang” akan menerpanya.
Di saat itulah Febri Diansah menjadi “korban” dari segala “kekurangan” KPK, berbeda di jaman Johan SP Budi sebagai juru bicara KPK, yang permasalahan tidak segenting era Febri Dyansah.
KPK memang sering kurang cermat, dan tidak cepat bertindak. Salah satu contoh, Eddy Sindoro yang ditetapkan sebagai Tersangka pada 23 Desember 2016 dalam kaitan penerimaan suap oleh Panitera PN Jakarta Pusat Edy Nasution yang diduga berkaitan dengan pengurusan perkara di PN Jakarta Pusat dan Peninjauan Kembali {PK} di MA. Dalam persidangan terungkap bahwa suap itu atas persetujuan Eddy Sundoro. Eddy Sundoro hendak diperiksa sejak 10 Maret 2917, tetapi yang bersangkutan sedang berada di luar negeri.
Yang ingin kita kemukakan, mengapa sampai dua tahun kasus ini tidak “tertangani” dan belakangan menyeret-nyeret nama advokat kondang Lucas SH yang menurut Febri Jumat (28/9/2018) akan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka petinggi Lippo Group Eddy Sindoro.
Sehari sebelumnya Febri Diansyah mengatakan bahwa dalam kaitan dengan kasus Edy Sindoro tersebut, KPK telah melakukan pencegahan dua orang untuk bepergian ke luar negeri yaitu Lucas SH dan Dina Soraya (swasta). Kita melihat begitu berat beban KPK mengelola penyelesaian kasus-kasus korupsi, tetapi menurut kita tidaklah efektif dan bahkan mubazir tenaga dan dana menetapkan Tersangka kalau tidak diproses tuntas dalam waktu cepat dan bahkan akan “melumer” ke mana-mana.
Lucas SH adalah tokoh advokat dan merupakan advokat handal di Republik ini, sebagai Dewan Penasehat di Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) kemungkinan akan berpengaruh juga dalam gelombang pembelaan rekannya para advokat dan organisasinya.
Membela ekonom kondang Dr. Rizal Ramli saja dalam tempo 4-7 jam, sudah 720 advokat yang siap menghadapi perkara laporan Partai Nasdem ke Polri dengan ucapan Dr. Rizal Ramli tentang peran Surya Paloh atas pelemahan rupiah terhadap dollar AS.
Kalau bela Rizal Ramli saja begitu besar, bagaimana terhadap anggota sebagaimana Kode Etik Advokat Indonesia Pasal 3 uruf e: “Advokat wajib memberikan bantuan dan pembelaan hukum kepada teman sejawat yang diduga atau didakwa dalam suatu perkara pidana atas permintaannya atau karena penunjukan organisai profesi”. Organisasi Advokat wajib dan lebih pantas membela anggotanya dari siapapun, kecuali ada alasan lain.
Menghindari hal-hal seperti di atas ada baiknya KPK langsung memproses perkara tertentu dengan mengadili semua yang terlibat sesuai bukti yang ada, tidak meniti hari baik, sehingga menimbulkan kecurigaan.
Dugaan kepergian Eddy Sindoro ke luar negeri dengan pemanggilan dan pencekalan Lukas dan Dina Soraya mengapa sampai dua tahun baru diungkap? Mengapa Eddy Sindoro tidak dijemput saja? Pertanyaan yang wajar saja.
Di sisi lain diharapkan juga agar KPK me-release yang sudah dilakukan atau yang sudah terjadi saja, jangan yang masih dugaan-dugaan, sebagaimana kasus Lucas menurut Febri: ”Terkait pencekalan tersebut KPK juga memperingatkan pada semua pihak agar tidak melakukan perbuatan menyembunyikan atau membantu proses pelarian Tersangka”. Eddy Sindoro saja sejak 23 Desember 2016 telah berada di Luar Negeri, sekarang diusut sebagai orang yang diduga membantu Tersangka ke luar negeri. Dengan demikian Febri Diansyah tidak perlu menjadi tiang penyangga atau menjadi tukang ramal. (Bch)