JAKARTA (Independensi.com) – Pasal 33 UUD 1945 mengatakan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Untuk itu merupakan sebuah keniscayaan bagi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam hal ini Direktorat Jenderal Budidaya Perikanan untuk melindungi kepentingan nasional dan bangsa Indonesia di masa yang akan datang.
Salah satunya adalah sumberdaya ikan kerapu, dimana ekspor kerapu berpotensi memicu praktik-praktik ilegal di wilayah perairan Indonesia. Hal itu tentunya menjadi tantangan bagi Direktorat Jenderal Budidaya KKP, sekaligus pembuktian kesaktian Permen KP No.32 Tahun 2016 dalam menangkal bahkan menghilangkan berbagai praktek illegal tersebut, sehingga ekspor kerapu menjadi stabil.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP, Slamet Soebjakto, mengatakan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 32 tahun 2016 tentang Perubahan atas Permen KP Nomor 15 tahun 2016 tentang Kapal Pengangkut Ikan Hidup merupakan upaya KKP untuk melakukan perbaikan tata kelola perdagangan ekspor kerapu Indonesia yang sebelumnya cenderung ‘out of control’.
Selain itu, permen tersebut juga ditujukan untuk mencegah potensi praktek-praktek illegal (un-reported) di wilayah perairan Indonesia. Setidaknya ada 3 (tiga) aspek utama yang melandasi pemberlakuan Permen KP tersebut yaitu aspek yuridis, sumberdaya dan lingkungan, serta aspek ekonomi.
Apabila ditinjau dari aspek yuridis, pemberlakuan Permen KP no 32 tahun 2016 merupakan pengejawantahan atas amanat UU no 17 tahun 2008 tentang Pelayaran yakni terkait komitmen pemerintah dalam menerapkan azas cabotage.
Pasal 8 ayat (2) menyatakan bahwa “Kapal asing dilarang mengangkut penumpang dan/atau barang antar pulau atau antar pelabuhan di wilayah perairan Indonesia”. Pertimbangannya jelas, bahwa negara wajib melindungi kedaulatan perairan Indonesia dari kemungkinan potensi ancaman terhadap wilayah NKRI. Apalagi Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki nilai geostrategis penting, sehingga penguatan aspek geopolitik mutlak dilakukan.
Azas cabotage juga penting untuk menumbuh-kembangkan industri kapal nasional, khususnya penyediaan kapal feeder untuk angkut muat antar pulau. Memang butuh waktu, namun demikian Pemerintah terus berupaya melakukan yang terbaik dalam percepatan realisasinya.
Berdasarkan aspek sumber daya dan lingkungan, berbagai kasus membuktikan bahwa kapal asing tersebut ternyata tidak hanya membawa ikan kerapu yang diperdagangkan secara legal, namun membawa serta jenis ikan berekonomis tinggi yang ketersediaan stok di alam terbatas dan atau jenis ikan dilindungi dan nota bene didapatkan melalui destructive fishing.
Kamuflase perdagangan semacam ini marak terjadi, misalnya perdagangan ilegal ikan napoleon. Berbagai tindakan seperti ini jika dibiarkan terus menerus, tentu akan sangat mengancam keanekaragaman hayati dan plasma nutfah Indonesia. Imbasnya Indonesia akan kehilangan nilai ekonomi sumberdaya untuk kepentingan jangka panjang.
Praktek semacam itu juga tidak sejalan dengan komitmen Indonesia dalam mengimplementasikan prinsip sustainable fisheries. Pemberlakuan Permen KP tersebut merupakan bentuk tanggungjawab Pemerintah dalam melindungi sumberdaya ikan dan lingkungan untuk kepentingan ekonomi jangka panjang. Kesimpulannya, dalam konteks ini KKP telah menerapkan prinsip kehati-hatian (pre- cauntionary principle) yang merupakan bagian dari prinsip sustainable development.
Berdasarkan aspek ekonomi, perdagangan ekspor kerapu sebelumnya cenderung ‘out of control’, sehingga memicu terjadinya lost value akibat dari perdagangan ilegal (un-reported export). Disisi lain, sebelum pemberlakuan Permen KP ini, nilai tambah dan posisi tawar nelayan/pembudidaya rendah, karena pembeli (Hongkong) yang mengendalikan jalur pasokan dan harga. Sedangkan nilai tambah justru banyak dirasakan oleh trader/agen kapal angkut sendiri.
Penataan perdagangan ekspor kerapu melalui instrumen Permen KP no 32 tahun 2016 menjadi penting dalam rangka menjamin tata kelola perdagangan yang lebih transparan, bertanggungjawab dan terjamin traceability-nya yakni melalui sistem pengawasan dan ‘record keeping’ data yang efektif di pelabuhan pelabuhan muat singgah yang telah ditetapkan.
Ekspor kerapu yang stabil
Ekspor kerapu tetap stabil pasca diberlakukannya Permen KP Nomor 32 Tahun 2016. Tercatat, PT Putri Ayu Jaya di Kepulauan Riau (Bintan) melakukan ekspor kerapu sebanyak 16.720 ton dengan nilai mencapai Rp1,45 Miliar, PT. SBM di Bali sebanyak 15 ton senilai lebih kurang Rp1,35 Miliar, serta CV Sinar Mandiri di Belitung sebanyak 10 ton dengan nilai mencapai Rp1 Miliar
Selain itu, berdasarkan catatan BPS selama periode 5 tahun terakhir (2012 – 2017) kinerja ekspor kerapu Indonesia positif yakni tumbuh rata-rata per tahun sebesar 3,64%. Memang dalam rentang tahun 2016 – 2017 terjadi penurunan nilai ekspor, namun tidak terlalu signifikan dan masih cenderung cukup stabil.
Tercatat nilai ekspor kerapu Indonesia tahun 2017 sebesar 28,37 juta USD atau turun 11,58% dari tahun 2016 yang mencapai 32,09 juta USD.
Jika dilihat dari data Internasional Trade Center (ITC), penurunan ekspor pada periode yang sama juga tidak hanya terjadi di Indonesia namun pada negara eksportir lainnya. Sebut saja Philipina turun sebesar 4,67%; Malaysia turun 4,82%; dan Brunei turun sebesar 21,67%.
Berpijak dari data dan fakta empirik di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa memang ada pengaruh atas pemberlakuan Permen KP no 32 tahun 2016 terhadap aspek ekonomi dalam hak ini kinerja perdagangan ekspor kerapu Indonesia terutama pada rentang waktu masa transisi atas pemberlakuan aturan tersebut.
Namun demikian, mesti ada penurunan, nilainya relatif kecil dan mulai mengarah pada kinerja yang stabil, bahkan optimis positif di tahun tahun mendatang.
Produksi kerapu nasional tumbuh positif
Di sentral-sentral produksi utama aktivitas budidaya kerapu masih berjalan seperti di Kepulauan Riau, Sumatera Utara, Bangka Belitung, Bali dan Jawa Timur. Masih berjalannya usaha budidaya ini, tidak terlepas dari permintaan yang masih relatif stabil.
Sementara itu, jika dilihat data produksi kerapu nasional memperlihatkan tren yang positif dalam 6 (enam) tahun terakhir (2012-2017) volume produksi kerapu nasional mengalami kenaikan rata-rata pertahun sebesar 48,7%.
Langkah optimalisasi pasca permen
KKP akan bekerjasama dengan pihak terkait khususnya bagaimana menyediakan kapal feeder yang mampu melayani akses muat kerapu hidup dari on farm ke pelabuhan muat singgah, sehingga biaya logistic lebih efisien.
Langkah lain sebagai upaya mengoptimalisasi nilai manfaat ekonomi sumberdaya marikultur (budidaya laut), KKP juga mendorong diversifikasi komoditas unggulan lainnya non kerapu yang berbasis pada market oriented yang lebih luas. Misalnya untuk pengembangan budidaya ikan kakap putih, bawal bintang dan bubara.
Sejak tahun 2016 utamanya paska pemberlakuan Permen KP no 32 tahun 2016, dukungan terus didorong agar memberikan efek langsung bagi peningkatan produksi dan pendapatan masyarakat.
Di beberapa daerah seperti NTB, Bali, Kepulauan Riau dan sentral produksi lainnya budidaya komoditas tersebut mulai berkembang dengan baik untuk memasok pangsa pasar domestik dan ekspor. (Advertorial)
penegasan pemerintah tentang peraturan dan undang undangnya sangat bangus, di karenakan merosotnya produksi ikan kerapu, dan banyak praktek ilegal yang sudah terjadi di dalam budidaya maupun perdagangan kerapu.. dari itu pemerintah cukup tepat mengeluarkan peraturan tersebut. sehingga dapat meningkatkan kualitas kerapu dan meningkat jual beli.
Look my site is good
___
http://davesdevotional.org
Nice posts! 🙂
___
Sanny