Anggaran Turun 12 T , Produksi Dan Ekspor Pertanian Melonjak

Loading

Seiring dengan kebijakan penghematan APBN,  anggaran Kementan pada 2015 sebesar Rp 34 triliun, dan dipangkas Rp 12 triliun sejak 2016 sampai 2018 ini. Namun, dibalik itu pujian datang dari Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Roem Kono.  Anggota DPR Dapil Gorontalo itu  menilai kebijakan pengelolaan anggaran di Kementerian Pertanian (Kementan) selama 4 tahun belakangan ini sangat baik dan telah berpihak  kepada petani

“Anggaran Kementan ada penurunan hingga Rp 12 triliun lebih, sehingga menjadi sekitar Rp 21 sampai 22 triliun per tahunnya. Tapi melalui kebijakan yang tepat dan pemanfaatkan anggaran yang fokus untuk petani, dengan anggaran terbatas ini mampu menggenjot produksi dan juga ekspor,” kata Roem Kono, kemarin, Minggu (9/11).

Dia menjelaskan kondisi ini tidak lepas dari berbagai terobosan Kementan mulai dari pembangunan infrastruktur pertanian besar-besaran seperti jaringan irigasi, mekanisasi pertanian, mencabut ratusan regulasi yang menghambat pertanian. Di antaranya menghapus tender dengan e-katalog, membangun kawasan berdasarkan keunggulan komparatif secara komprehensif dari hulu-hilir, memangkas distribusi pangan, mengendalikan impor dan mendorong ekspor.

“Saya kira kebijakan Kementan sudah tepat dan memang semuanya diprioritaskan untuk petani. Jadi pengurangan  anggaran ini sama sekali tidak mengurangi semangat dalam tata kelola sektor pertanian,” jelas Roem.

Untuk diketahui, alokasi anggaran Kementan tahun 2014, yang ditujukan untuk sarana dan prasarana petani semula 35 persen, selanjutnya 2015 ditingkatkan menjadi 64 persen. Kemudian di 2018 dengan APBN Rp 22,8 triliun, porsi untuk sarana dan prasarana petani ditingkatkan lagi menjadi 85 persen. Kebijakan ini mengorbankan anggaran perjalanan dinas para pejabat di Kementan sebesar Rp 800 miliar, rehabilitasi kantor tahun 2015-2018 sebesar Rp 16 triliun seluruhnya dialihkan untuk infrastruktur serta pemberdayaan petani.

Data Kementan menyebutkan 4 tahun ini kebijakan pertanian diarahkan pada prasarana dan sarana pertanian. Hasilnya program rehabilitasi irigasi yang semula ditarget 3,58 juta hektar naik 331 persen dari 2013. Kebijakan peningkatan infrastruktur pengairan pertanian ini juga juga didukung melalui pembngunan 10.340 embung, damparit, longstorage dan 49 bendungan baru.  Adapun dalam proses sedang dibangun 19.660 embung dan 16 bendungan baru.

Kemudian mekanisasi pertanian melalui distribusi alat mesin pertanian sebesar 423.197 unit. Jumlah ini naik puluhan kali lipat dibandingkan 2013. Kemudian untuk memastikan petani dilindungi, Kementan juga membagikan asuransi usahatani sebanyak 2,73 juta hektar padi dan 232.176 sapi. Perijinan online juga dipermudah, cepat dan gratis. Tak hanya itu, untuk meningkatkan kinerja aparatur di pertanian, Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman melakukan reformasi mental dengan melakukan mutasi, demosi hingga pemecatan kepada aparatur negara total sebanyal 1.428 pejabat. Tidak hanya itu, Kementan juga bekerjasama dengan Satgas Pangan bentukan Mabes Polri dimana sudah ada 782 kasus mafia pangan yang ditindak dimana 409 kasus diantaranya sudah tersangka.

Buah dari kebijakan ini, Badan Pusat Statistik mengumumkan bahwa produksi pertanian mengalami surplus dan ekspor mengalami tren peningkatan. Indikasi ini bisa dilihat dari pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) pertanian pada 2017 sebesar Rp. 1.344 triliun naik Rp. 350 triliun dari tahun 2013 sebesar Rp. 995 triliun.

Akan hal ini pun, Roem mengaku tidak kaget dengan sederetan prestasi Menteri Pertanian dan jajarannya. Bahkan prestasi yang baru-baru ini pun diraih Menteri Amran yakni diganjar oleh KPK sebagai Kementerian dengan pengendalian gratifikasi terbaik. “Kebijakan pertanian yang sudah bagus ini perlu tetap ditingkatkan terus-menerus, mencegah adanya penyimpangan dan monopoli di pertanian melalui pengawasan yang ketat dan dukungan dari para stakeholders,” tutur dia.

Setali dengan Roem, Anggota Komisi IV DPR RI Ono Surono pun mengungkap hal yang sama. Ono menilai kebijakan Kementan menjaga pasokan produksi juga terbukti mampu menstabilkan harga pangan dan inflasi di masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari survei BPS yang mencatat inflasi bahan pangan di tahun 2017 hanya 1,26 persen, turun drastis hingga 9,31 poin dari tahun 2014 sebesar 10,57 persen.

“Kalau kita cek harga bahan pangan saat ini memang relative stabil karena pemerintah saat ini selain menggenjot produksi, juga fokus bagaimana menjaga stabilitas harga di pasaran. Hasilnya bisa bisa dilihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) tadi yang menyebutkan bahwa inflasi bisa dikendalikan,” kata Ono.

Ono mengutip data BPS inflasi bahan makanan 2017 sebesar 1,26 persen, turun 88.9 persen dibandingkan 2013 sebesar 11,35 persen. Yang menggembirakan dua tahun berturut turut harga pangan stabil saat Ramadhan, Idul Fitri, Idul Adha, Natal dan Tahun Baru.

Hal ini, menurutnya, tidak lepas dari kerja keras Kementerian Pertanian (Kementan) untuk pastikan pasokan pangan dari petani bisa sampai ke pasaran dengan harga terjangkau. Ini tentunya bermanfaat bagi konsumen dan petani sebab disparitas harga tidak lagi terlalu mencolok. Konsumen menikmati harga lebih murah. Begitu juga petani memperoleh harga jual yang lebih tinggi.

Makanya dia bersyukur, di era Pemerintan Joko Widodo ini tingkat kesejahteraan petani makin membaik. Hal ini terlihat dari terus membaiknya sebagaimana data BPS yang menunjukkan Nilai Tukar Usaha pertanian (NTUP) pada 2017 sebesar 111,77, naik 5,39 persen dibandingkan 2014 sebesar 106,05. Nilai Tukar Petani (NTP) 2017 sebesar 102,25, naikK 0,97 persen dibanding 2014 sebesar 102,03.

Data BPS juga menunjukkan sektor pertanian mampu berkontribusi mengentaskan kemiskinan perdesaan, dimana jumlah penduduk miskin di desa pada Maret 2018 sebesar 15,81 juta jiwa, turun 10,88 persen dibanding pada Maret 2013 sebesar 17,74 juta jiwa.

“Inikan harga dulu dinikmati mafia dan kartel pangan. Sekarang bicara harga jual di tingkat petani dan beli masyarakat di pasar itu kini makin dekat. Tidak jauh seperti dulu. Ini bisa dibuktikan dengan NTP naik. NTP naik berarti harga yang diteima petani naik juga. Ini kan salah satu bukti juga. Tapi intinya bicara apa yang jadi program pemerintah saat ini bagaimana kemandirian pangan bisa terwujud yang ujung dan hasilnya adalah petani lebih sejahtera dan masyarakat dapat harga yang wajar,” katanya.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementan Syukur Iwantoro menegaskan PDB sektor pertanian terus membaik. Pada tahun 2013, PDB sektor pertanian hanya sebesar 994,8 triliun, dan meningkat di 2017 menjadi 1334,7 triliun. Selama 2013-2017, akumulasi peningkatan PDB sektor pertanian mencapai Rp 906,1 triliun. Meningkatnya nilai PDB sektor pertanian ini tidak terlepas dari meningkatnya produksi pertanian yangg dihasilkan selama ini.

“Pada tahun 2018 nilai PDB sektor pertanian diperkirakan juga akan meningkat menjadi 1463,9 triliun. Tren baik pertumbuhan sektor pertanian ini terlihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS), pada triwulan II-2018. Pertanian menjadi sektor terbesar kedua setelah industri yang memberikan pada pertumbuhan ekonomi nasional”, ujar Syukur.

BPS merilis Ekonomi Indonesia triwulan II-2018 terhadap triwulan tahun sebelumnya meningkat sebesar 4,21 persen quarter-to-quarter (q-to-q). Lapangan Usaha Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan mencatat pertumbuhan tertinggi, yakni sebesar 9,93 persen.

Syukur menjelaskan, keyakinan terhadap kemampuan sektor pertanian dalam perekonomian negara, tertuang dalam “Nawacita” yang menjadi landasan pemerintah era Jokowi–JK saat ini. Kebijakan pangan pemerintah bermuara pada tujuan utama yaitu peningkatan kesejahteraan petani maupun masyarakat umum.

Tujuan itu, menurut Syukur perlahan telah menunjukkan hasil dengan baiknya Nilai Tukar Petani (NTP) yang menjadi tolok ukur daya beli petani. NTP tahun 2018  (Januari s.d. September) mencapai 102,25 atau naik 0,27 persen dibandingkan NTP pada periode bulan yang sama pada tahun 2014 yang sebesar 101,98 persen.

Kesejahteraan petani juga terlihat dari membaiknya Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP) dalam beberapa tahun terakhir. Data BPS menyebutkan tahun 2014 nilai NTUP (Pertanian Sempit tanpa Perikanan) hanya sebesar 106,05, namun dan 2015 dan 2016 berturut-turut meningkat menjadi 107,44 dan 109,83. Nilai NTUP pada tahun 2017 juga kembali membaik menjadi 110,03.

Disamping peningkatan NTP dan NTUP, angka penduduk miskin di pedesaan, yang merupakan basis pertanian, juga menurun. Pada Maret 2015 penduduk miskin di perdesaan masih sekitar 14,21% (17,94 juta jiwa) dan pada bulan yang sama tahun 2016 dan 2017 turun berturut-turut menjadi 14,11% (17,67 juta jiwa) dan 13,93% (17,09 juta jiwa).

“Pada Maret 2018, jumlah penduduk miskin di perdesaan kembali turun menjadi 13,47% (15,81 juta jiwa). Kemiskinan keseluruhan secara nasional bahkan ditekan menjadi satu digit menjadi 9,82%, terendah dalam sejarah”, jelasnya.

One comment

Comments are closed.