JAKARTA (Independensi.com) – Pakar hukum pidana Kaspudin Nor menegaskan revisi terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP sudah sangat mendesak terutama yang berkaitan delik kesusilaan guna dapat menjerat pelakunya yaitu pekerja seks komersial serta pengguna jasanya sebagai tersangka dan bukan lagi hanya saksi.
“Kasus prostitusi online yang kini kembali terbongkar dan diduga melibatkan artis bisa dijadikan sebagai momentum untuk dilakukannya revisi KUHP terkait delik kesusilaan tersebut,” tegas Kaspudin di Jakarta, Rabu (9/1/2019) saat menanggapi kasus prostitusi online yang kembali terbongkar.
Dia mengakui dalam KUHP yang sekarang sulit untuk menjerat si PSK maupun pria hidung belang yang menjadi pengguna jasanya dengan pidana. “Karena itu kan dilakukannya suka sama suka dan dilakukannya di tempat yang tertutup,” ujarnya.
Terkecuali, kata dia, jika ada yang dirugikan misalnya salah satu terikat dengan perkawinan dan kemudian mengadu kepada institusi penegak hukum, maka itu baru merupakan delik aduan yang harus ada pihak pengadu atau pelapornya.
Oleh karena itu, kata Kaspudin, di dalam rancangan Undang-Undang KUHP yang baru dari pihak Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah memberi masukan yaitu terkait dengan delik-delik susila semestinya si pelakunya harus juga diancam pidana.
“Jadi bukan hanya mucikarinya saja yang bisa dipidana seperti sekarang ini. Tapi juga sanksi pidana juga dikenakan kepada pelaku langsung yaitu terhadap PSK dan si pengguna jasanya,” tegas mantan Komisioner Komisi Kejaksaan ini.
Dia tidak menampik tidak adanya sanksi pidana kepada pelaku menyuburkan prostitusi “Memang membuka ruang suburnya praktik prostitusi. Tapi munculnya prostitusi kan ada beberapa faktor yang melatar-belakanginya,” kata dia.
Antara lain, tuturnya, terkait dengan masalah kemiskinan, keimanan dan masalah sosial serta kebijakan hukum dan lain-lainnya yang dari zaman dahulu sudah ada.
“Cuma niat baik negara untuk mengatur masyarakat atau rakyatnya untuk tidak melanggar aturan-aturan hukum, baik terkait norma sosial dan masyarakat serta norma agama. Jadi ini harus diatur,” kata pakar hukum pidana dari Universitas Satyagama Jakarta ini.
Kaspudin mengatakan dengan adanya media sosial selain media cetak dan online kini sulit membendung informasi soal keterlibatan pelaku dari kalangan manapun termasuk diduga artis dalam praktik prostitusi online.
“Sekarang susah untuk ditutup-tutupi, dan media akhirnya tidak bisa disalahkan jika sampai menulis nama lengkap tanpa inisial mereka yang diduga terlibat prostitusi online. Apalagi kasus ini sangat menarik perhatian publik,” katanya.
Oleh karena itu, tutur Kaspudin, memang dilematis juga bagi awak media karena publik justru sudah lebih dahulu tahu siapa pelaku prostitusi online dari medsos. “Apalagi mereka yang diduga terlibat prostitusi online sudah membuat pernyataan minta maaf kepada publik secara terbuka.” (MJ Riyadi)