Jual Beli Jabatan Antara Ada dan Tiada

Loading

Independensi.com – Masalah jual beli jabatan sudah sejak lama dikeluhkan banyak orang terutama mereka yang berstatus Pegawai Negeri Sipil, sebab setiap orang pasti mendambakan kenaikan pangkat dan jabatan, tetapi terkendala oleh jual beli jabatan dan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN).

Namun keluhan itu hampir tidak menggema walau sudah menjadi rahasia umum, tidak pernah dipersoalkan karena sulit dibuktikan walaupun “semua merasakan”. Menjadi persoalan besar baru setelah terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) H Ir. Romahurmuzy (Romy), yang diduga terkait dengan jual beli jabatan.

Terlepas dari kasus yang diduga-kan kepada Romahurmuzy, jual beli jabatan di negeri ini sebenarnya sudah lama menyeruak. Pertama kali ditengarai terjadi setelah orde reformasi ketika pemekaran wilayah berkembang serta berlakunya system pemilihan langsung para kepala daerah seperti Bupati dan Walikota oleh masyarakat, mungkin juga di tingkat provinsi.

Ketika berdirinya suatu pemerintahan daerah pemekaran, pasti kepada daerah yang baru diangkat membutuhkan aparat melengkapi posisi yang tersedia dari berbagai bidang, kolusi, korupsi dan nepotisme tidak bisa dihindari, siapa kuat dia dapat. Pengaruh uang dan kekuasaan menjadi alat rekayasa yang “diakui” sangat menentukan dan dianggap tidak salah dan sah.

Demikian juga halnya seorang kepala daerah yang terpilih, dengan segala pengorbanan dana dan daya yang sudah dikeluarkan mencari partai perahu pengusung, termasuk suara fraksi yang mendukung di DPRD serta money politics lainnya di samping cost politics yang tidak sedikit, mau tidak mau dana-dana itu harus dikembalikan berikut “bunganya”.

Diduga, tahun pertama dan kedua para kepala daerah berupaya menepati janji kampanyenya dengan membenahi aparat yang menjadi otoritasnya memilih dan mengangkat pejabat di bawahnya, kesempatan tersebut mulai digunakan mengisi pundi-pundi.

Tahun-tahun berikutnya menjelang akhir masa jabatan lima tahunan, secara tak langsung diadakan evaluasi terhadap para pejabat dan kesempatan itu sering terjadi rotasi, mutasi, promosi dan pergantian sekaligus mengisi pundi-pundi dengan lelang atau jual beli jabatan, sekaligus persiapan diri untuk periode berikutnya.

Pengaruh KKN dan jual beli jabatan, konon terjadi di satu daerah, saat mana sang Bupati terkena kasus korupsi lantas digantikan oleh Wakil Bupati yang berlatar belakang guru. Saat “sang guru” dilantik jadi Bupati, kontan sang guru mengisi jabatan-jabatan sebagian besar diisi oleh anggota se-profesinya. Itu hanya sebagai contoh bahwa pengisian jabatan di negara kita masih merupakan masalah besar, diakui atau tidak masih berlaku siapa kuat dia dapat. Yang seharusnya siapa mampu dialah yang harus menjabat.

Yang ingin kita kemukakan di sini, bahwa masalah jual beli jabatan itu bukan hanya di Kementerian Agama dan bukan hanya Romahurmuzy yang diduga melakukan, yang lain juga bisa saja terjadi tetapi tidak tertangkap, karenanya tidak perlu kita sinis atau menunjuk pihak lain, marilah semua mengoreksi dan saling membenahi diri.

Pengisian lowongan jabatan banyak faktor yang harus dipertimbangkan, tetapi yang dipermasalahkan adalah yang menyangkut prosedur serta kemampuan professional. Selama pengisian jabatan itu untuk kepentingan masyarakat bangsa dan negara di pusat maupun di daerah adalah suatu keharusan, akan tetapi kalau pengisian jabatan itu karena KKN, itulah yang harus diberantas.

Sistem kepegawaian kita baik di ASN, TNI maupun Polri kita kenal adanya kenaikan pangkat istimewa tetapi itu tidak sembarangan, akan tetapi adalah penghormatan dan penghargaan atas suatu prestasi yang ditunjukkan di atas rata-rata sesuai fungsi dan tanggungjawabnya. Adalah suatu kemunduran apabila kenaikan pangkat dan pengisian jabatan masih dilakukan karena KKN dan aji mumpung seperti di masa lalu.

Hal yang sama juga barangkali perlu diterapkan di partai politik, yaitu memberikan peluang kepada para kader-kader berprestasi dan tidak harus mengutamakan anak biologis tetapi sudah waktunya diberikan kesempatan kepada anak ideologis.

Dengan demikian, pondasi dari setiap pejabat kita akan kokoh-kuat dengan dasar profesionalitas dedikasi serta prestasi. Ketaatan semua pemangku kepentingan pada sistem dan aturan yang berlaku, akan menjamin keberlangsungan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. (Bch)