PONTIANAK (Independensi.com) – Presiden Republik Indonesia, Soekarno, 17 Agustus 1945 – 22 Juni 1966, melahirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berurat berakar ideologi sosialis yang sudah disesuaikan dengan alam dan budaya Nusantara, yaitu Pancasila.
Indonesia berurat berakar ideologi sosialis, pada kenyataan banyak berbenturan dengan kepentingan Ideologi Liberalis dimotori Amerika Serikat (AS), dengan negara sekutunya seperti Inggris, Australia, Selandia Baru, Belanda dan lain-lain.
Benturan kepentingan, dimulai semenjak Kerajaan Belanda dalam bentuk pemerintahan sipil, yaitu Nederlandsch Indië Civiele Administratie atau Netherlands-Indies Civiele Administration (NICA), akan membentuk sistem pemerintahan di Indonesia, berdasarkan sudut pandang politik rasionalitas barat, yaitu sistem federal bernama Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan Perjanjian Denhaag, Belanda, 27 Desember 1949.
Usai Perang Dunia ke-II, 1945, ditandai Jepang menyerah kepada penganut ideologi liberalis dimotori AS, atas desakan dunia internasional, Belanda kembali datang untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, berbentuk federal, selama 10 -15 tahun, berdasarkan Konferensi Malino di Kabupaten Goa, Provinsi Sulawesi Selatan, 15 – 25 Juli 1946.
Soekarno Tolak RIS
Akan tetapi keputusan politik Belanda, ditolak mentah-mentah Presiden Soekarno, dengan meminta bantuan Jepang, membiayai operasi intelijen dan mensuplai senjata.
Dampaknya, aksi demonstrasi meledak di mana-mana, dan perlawanan bersenjata dari masyarakat meledak, sehingga Belanda angkat kaki dari Indonesia.
Simbol Republik Indonesia Serikat (RIS) runtuh, pasca penangkapan Menteri Zonder Fortopolio Sultan Hamid II di Jakarta, 5 April 1950, dan Presiden Soekarno kemudian secara sepihak mengumumkan perubahan bentuk negara dari RIS menjadi NKRI, 17 Agustus 1950.
Dalam perkembangan selanjutnya, Soekarno sudah tidak kuat lagi, menghadapi gempuran kaum liberalis, di dalam merongrong kewibawaan dan keutuhan NKRI.
Pemberontakan bersenjata, dengan menjadikan Negara Bagian Sabah dan Negara Bagian Sarawak, Federasi Malaysia, sebagai base camp suplai senjata dan logistik bagi kelompok pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Perdjuangan Semesta atau Perdjuangan Rakjat Semesta (Permesta), Negara Indonesia Indonesia (NII), Darul Islam Indonesia (DII).
Pemberontakan Soeharto
Presiden Soekarno kemudian tumbang, setelah terjadi praktik pembusukan di tubuh Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD) melalui operasi Central Intiligence Agency (CIA), dengan meledakkan Gerakan 30 September (G30S) 1965.
TNI-AD kemudian membangun sebuah persepsi politik yang dipaksakan menjadi fakta sejarah dan wajib jadi mata ajar di sekolah, bahwa G30S 1965 sebagai bukti pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Ini tertuang di dalam disertasi John Roosa dari The Department of History at the University of British Columbia, dan sudah diterbitkan dalan bentuk buku berjudul: Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in Indonesia (Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September & Kudeta Suharto); Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia (2008).
Paahal, di negara manapun, belum pernah terjadi pemberontakan terhadap sebuah pemerintahan yang sah dilakukan kelembagaan sipil. G30S 1965, adalah pemberontakan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Letjen TNI Soeharto, terhadap Presiden Soekarno yang dibiayai CIA AS.
G30S 1965, membuat Presiden Soekarno diberhentikan, setelah Pidato Nawaksara ditolak Sidang Majelis Permusyawaraatan Rakyat Sementara (MPRS), 22 Juni 1966.
Soeharto ditunjuk menjadi Penjabat Presiden terhitung 1 Juli 1966, kemudian terus-menerus jabatannya diperpanjang selama 32 tahun hingga 21 Mei 1998.
Lawan Barat
Banyak pihak mempertanyakan sikap anti rasionalitas barat diperlihatkan selama pemerintahan Presiden Soekarno. Padahal saat bersamaan, Presiden Soekarno, sangat membutuhkan teknologi dan bantuan finansial barat di dalam menopang perekonomian nasional.
Apalagi dalam konteks NKRI, sebelumnya Presiden Soekarno, menyetujui sistem pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) per 19 Agustus 1945, sehingga menimbulkan kesan DIY tidak lebih dari negara di dalam negara, sebuah bentuk inkonsistensi terhadap bentuk NKRI.
Namun di balik kesemuanya itu, Presiden Soekarno, berkomitmen membangun NKRI, sesuai alam dan budaya Bangsa Indonesia, yaitu Pancasila.
Soekarno berpendapat, Indonesia tidak bisa dibangun berdasarkan sistem politik dan sistem ekonomi liberal semata-mata menghambakan rasionalitas barat, tanpa ada filter.
Membangun Indonesia, menurut Presiden Soekarto, harus berpatokan kepada trilogi kehidupan peradaban politik Bangsa Asia, yaitu: hormat dan patuh kepada leluhur, hormat dan patuh kepada orangtua, serta hormat dan patuh kepada negara.
Membangun Indonesia, harus sesuai karakter berbagai suku bangsa di Indonesia, dengan filosofi bersumber kepada legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat berbagai suku bangsa di Indonesia.
Soekarno memutuskan Yogyakarta menjadi Daerah Istimewa, karena menyadari Yogyakarta sebagai pusat peradaban kebudayaan Suku Jawa di Indonesia, yang melahirkan agama asli Suku Jawa yang berurat berakar dari legenda suci Suku Jawa, mitos suci Suku Jawa, adat istiadat Suku Jawa dan hukum adat Suku Jawa.
Sebagai pusat peradaban Suku Jawa yang kemudian melahirkan agama asli Suku Jawa, menurut Presiden Soekarno, maka sistem pemerintahan di Yogyakarta harus bersifat istimewa, melalui pemberlakukan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Soekarno memandang, doktrin agama asli Suku Jawa, sebagai filosofi dan ideologi orang Suku Jawa di dalam beretika berperilaku. Demi menjaga keutuhan doktrin agama asli agama asli Suku Jawa, maka Yogyakarta harus berstatus Daerah Istimewa. DIY sebagai pusat peradaban Suku Jawa di Indonesia.
Soekarno berpendapat, NKRI hanya bisa bertahan menjadi sebuah bangsa yang berdaulat, jika dibangun sesuai dengan alam dan budaya Bangsa Indonesia, yang kemudian melahirkan agama asli berbagai suku bangsa di Indonesia, bertujuan menciptakan karakter manusia Indonesia beradat: berdamai dan serasi dengan leluhur, alam sekitar dan sesama.
Tanpa dilandasi pemahaman terhadap doktrin agama asli sebagai suku bangsa di di Indonesia, menurut Soekarno, hanya akan masyarakat di Indonesia, kehilangan identitas dan jati diri.
Pemahaman Soekarno, kemudian diperkuat Architects of Deception – Secret History Of Freemasonry by Juri Lina, menyebutkan, tiga cara paling efektif melemahkan dan menghancurkan sebuah suku Bangsa dan negara.
Tiga langkah efektif penghancuran, sebagai berikut: Pertama, kaburkan sejarahnya. Kedua, hancurkan bukti-bukti sejarah bangsa itu, hingga tidak bisa lagi diteliti kebenarannya. Ketiga, putuskan hubungan mereka dengan leluhur, dengan mengatakan leluhur itu bodoh dan primitif.
Kedungu-abadian Dayak
Pendapat Juri Lina, kini sudah dan tengah berlangsung di Indonesia. Masyarakat di Indonesia, sekarang sudah tercerabut dari akar budaya dan identitas diri, dengan tanpa filter memaksakan doktrin agama impor menjadi filosofi dan ideologi di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ini bisa terlihat dari semakin menguatnya praktik etika berperilaku yang selalu mengedepankan kesalehan individu, dimana menganggap hanya diri dan kelompoknya saja paling benar, serta pihak lain sebagai musuh yang harus dibasmi.
Kehidupan berbangsa dan bernegara dengan semangat Pancasila, mengedepankan kesantunan, kesopanan, semakin ditinggalkan. Faktanya, kelompok yang kuat selalu dengan mudah menghegemoni kelompok yang lemah jaringan infrastruktur kebudayaannya, dengan dalih pemerataan pembangunan dan stabilitas keamanan.
Masyarakat Suku Dayak yang mengklaim dirinya sebagai penduduk asli di Pulau Borneo, turut tergerus dalam pembangunan global berbasiskan rasionalitas pemikiran dan sistem politik barat.
Suku Dayak, pun, sekarang, sudah tercerabut dari akar budayanya sendiri. Orang Dayak sekarang sudah meninggalkan filosofi dari sistem religi agama asli dengan menjadikan hutan sebagai pusat peradaban untuk bertahan hidup selama berabad-abad, demi kemodernan dan rasionalitas bertindak dan berpikir.
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK-RI) Nomor 35/PUU-X/2012, tanggal 16 Juni 2013, tentang pengakuan hutan adat dan putusan Nomor 97/PUU-IV/2016, tanggal 7 Nopember 2017, tentang pengakuan terhadap keberadaan Aliran Kepercayaan di Indonesia, dimana dimaknai pula sebagai pengakuan terhadap keberadaan agama asli, sudah semakin tidak bermakna di kalangan sebagian oknum Suku Dayak, termasuk di sebagian oknum intelektual Suku Dayak.
Malah di dalam salah satu postingan di media sosial, salah satu oknum ilmuawan Suku Dayak dari salah satu perguruan tinggi negeri di Pontianak, malah secara terbuka menuding, praktik religi agama asli Suku Dayak berurat berakar dari legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat Dayak sebagai bentuk kedungu-abadian orang Dayak itu sendiri.
Tapi saat bersamaan, oknum dosen tersebut, justru cukup getol berdiskusi di media sosial, menunjukkan kedungu-abadiannya, karena secara lantang bertindak sebagai provokator menuntut perlakuan sistem pemerintahan khusus di Pulau Borneo, dengan menuntut pemberian Otonomi Khusus bagi Suku Dayak.
Mesti dipahami, pemberlakukan sebuah otonomi khusus di NKRI, tidak akan efektif dan kehilangan kekhususannya, kalau hanya didasarkan pemahaman pragmatis, yaitu hanya didasari bentuk ketidakpuasan terhadap Pemerintahan Pusat di Jakarta.
Suku Dayak di Pulau Borneo, mesti belajar dari pengalaman masyarakat di Papua memperjuangkan pemberlakukan khusus terhadap orang Papua, melalui kehadiran Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, tanggal 21 Nopember 2001, tantang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, bukan semata-mata karena perebutan sumberdaya alam emas dan tembaga di Papua, tetapi lebih didukung oleh sistem jaringan infrastruktur kebudayaan berbagai suku bangsa di Papua yang sudah semakih kuat.
Begitu kuatnya jaringan infrastruktur kebudayaan berbagai suku bangsa di Papua, bisa dilihat dari keputusan hakim adat salah satu suku di Papua yang menghukum adat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) senilai Rp10 triliun di halaman Kantor Gubernur Papua, Jayapura, Rabu, 13 Februari 2019.
Masyarakat Adat di Papua, menilai, KPK telah melecehkan doktrin agama asli suku di Papua berurat berakar dari legenda suci Papua, mitos suci Papua, adat istiadat Papua dan hukum adat Papua, karena ketika akan memasuki ruangan rapat Pemerintah Provinsi Papua di Hotel Borobodur, Jakarta, Sabtu, 2 Februari 2019, tidak sesuai alam dan budaya orang Papua.
Terlebih lagi, sikap arogansi penyidik KPK, dengan tidak mampu memahami adat dan istiadat Papua, dinilai telah melakukan pembunuhan karakter terhadap salah satu putera terbaik orang Papua, yaitu Gubernur Papua, Lukas Enembe.
Kaharingan dan Karimawatn
Dalam kondisi masyarakat Suku Dayak sekarang di Pulau Borneo yang sebagian besar sudah tercerabut dari akar budayanya, secara politik kebudayaan, sama sekali tidak ada alasan kuat untuk menuntut pemberlakukan otonomi khusus.
Kalaupun orang Dayak mengklaim diri sebagai penduduk asli, sebagaimana digariskan di dalam Deklarasi Hak-hak Penduduk Pribumi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 61/295, tanggal 13 September 2007, tapi faktor pendukung diberlakukan otonomi khusus di Pulau Borneo, sangat lemah, karena semata-mata mengandalkan bukti arkeologi yang membuktikan Kerajaan Dayak sebagai kerajaan tertua di Indonesia.
Logikanya sederhana saja. Orang Dayak sekarang sudah tidak mampu lagi menunjukkan diri sebagai panutan peradaban dari aspek kebudayaan dalam pergaulan luas di Pulau Borneo.
Satu-satunya upaya persiapan tuntut pemberlakukan otonomi khsusus di Pulau Borneo, dengan melakukan revitalisasi kebudayaan Suku Dayak, sebagai implementasi doktrin agama asli Suku Dayak yang berurat berakar dari legenda suci Dayak, mitos suci Dayak, adat istiadat Dayak dan hukum adat Dayak.
Reaktualisasi agama asli Suku Dayak, melalui revitalisasi Kebudayaan Suku Dayak, diyakini akan mampu membuat Suku Dayak menjadi panutan peradaban di Pulau Borneo.
Karena itu, perlu dilakukan reaktualisasi terhadap eksistensi agama asli Suku Dayak, dengan mensepekati terlebih dahulu nama agamanya, tentukan nama kitab suci serta isi materi kitab suci bersumber pada legenda suci, adat istiadat dan hukum adat Dayak dan langkah terakhir, tentukan nama tempat ibadat.
Hal itu sudah dilakukan di kalangan Suku Dayak Uud Danum, Suku Dayak Ngaju dan Suku Dayak Baritu di Provinsi Kalimantan Tengah, dengan menentukan agama asli bernama Kaharingan, kitab suci bernama Panaturan dan tempat ibadat bernama Balai Balai Basarah.
Di lingkungan Suku Dayak Kanayatn di Provinsi Kalimantan Barat, sejak 19 Februari 2019, telah disepakati nama agama asli Suku Dayak Kanayatn yaitu Karimawatn, kitab suci bernama Putih Suri dan tempat ibadat bernama Padagi.
Tapi Agama Kaharingan dan Agama Karimawatn, baru sebagian kecil nama asli asli Suku Dayak. Sementara Suku Dayak terbagi di dalam 7 kelompok besar, sehingga idealnya memiliki 7 agama asli.
Sebagai agama bumi, semua agama asli Suku Dayak di Pulau Borneo, akrab dengan alam. Gunung, bukit dan hutan belantara, diyakini di dalam doktrin agama asli Suku Dayak, sebagai tempat bersemanyam arwah leluhur.
Malah di dalam sebagian besar legenda suci dan mitos suci di dalam agama asli Dayak, tokoh zaman dulu bukan meninggal dunia, tapi pindah ke kehidpan alam gaib, seperti di hutan dan gunung. Dari gunung dan hutan belantara itulah, para arwah leluhur terus berkomunikasi dengan manusia Suku Dayak di alam nyata, versi agama asli Suku Dayak.
Itulah sebabnya Agama Karimawatn di kalangan Suku Dayak Kanayatn di Provinsi Kalimantan Barat, menjadikan Gunung Bawakng sebagai gunung suci karena empat bersemadi Awapama (Tuhan) di Kabupaten Bengkayang.
Di dalam Agama Kaharingan, Puruk Mokorajak (Bukit Raya) di Desa Lato Malom, Kecamatan Sorabai (Serawai), Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat, sebagai tempat suci yaitu tempat tinggal Tuhan Yang Maha Kuasa (Mohotara).
Program revitalisasi Kebudayaan Suku Dayak dengan mengaktualisasikan eksistensi agama asli Suku Dayak, seusai tuntutan zaman, bisa dijadikan momentum menggerakkan kesadaran kolektif Suku Dayak di dalam mendeklarasikan hutan adat.
Di Costarica sebagamaimana dilansir https://thecostaricanews.com/48-of-forests-in-central-america-are-defended-by-indigenous-peoples/, menyebutkan 48 persen hutan yang ada sudah berstatus hutan adat.
Kalau sekitar 30 persen saja dari luas keseluruhan hutan di Pulau Borneo sudah berstatus Hutan Adat Dayak, dengan kekhususan yang ada, secara otomatis pula menjadikan Suku Dayak sebagai panutan peradaban dari aspek kebudayaan, sebagai modal kuat di dalam menuntut pemberlakukan Otonomi Khusus.
Deklarasi Hutan Adat Dayak sebagai pusat religi Suku Dayak, dikelola sebagai Pariwisata Religi Agama Asli Suku Dayak, sudah dibangun rambu-rambunya di dalam rekomendasi seminar Pekan Gawai Dayak Provinsi Kalimantan Barat di Pontianak, Senin, 22 Mei 2017.
Ditegaskan di dalam Seminar Pekan Gawai Dayak Provinsi Kalimantan Barat tahun 2017, apabila situs pemukiman dan situs pemujaan Suku Dayak, sudah berubah fungsi menjadi kegiatan ekonomi konservasi, maka setelah habis izin, habis sertifikat Hak Guna Usaha (HGU), habis satu siklus tanam, otomatis milik masyarakat adat Suku Dayak setempat.
Tuntutan pemberlakukan otonomi khusus, dengan menjadikan hutan sebagai pusat religi agama asli Suku Dayak, sebagai bentuk nyata mendukung Program Heart of Borneo (HoB) sebagai kesepakatan mengikat Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam sejak 12 Februari 2007, tentang pembangunan berkelanjutan berwawasan pelestarian di Pulau Borneo.
Pendeklarasian Hutan Adat Dayak dikemas sebagai Pusat Pariwisata Religi Agama Asli Suku Dayak berurat berakar legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat Dayak, sama sekali tidak dimaksudkan mencampur adukkan ajaran agama, setelah sebagian orang Dayak sudah memeluk agama impor.
Karena Agama Katolik, sebagai salah satu agama impor, misalnya, bagi orang Dayak, sebagai sarana keyakinan iman, sedangkan doktrin agama asli Dayak, upaya memperkaya ideologi dan filosofi orang Dayak beretika berperilaku.
Karena bagi orang Dayak yang sudah memeluk Agama Katolik, misalnya, bukan semerta-merta berubah menjadi Suku Bangsa Yahudi, hanya lantaran Agama Katolik, berurat berakar dari Kebudayaan Suku Bangsa Yahudi di Timur Tengah.
Sedangkan status kedayakan orang Dayak, akan melekat di dalam diri orang Dayak sampai akhir hayat. Jadi antara agama impor (sarana keyakinan iman) dan agama asli (filosofi dan ideologi berperilaku orang Dayak), mesti dimaknai dalam konteks berbeda sehingga terbebas dari tudingan mencampur-adukkan ajaran agama.
Filsuf Gereja Katolik Thomas Aquinas, 1225 – 1275, melahirkan pemahaman teologi adikodrati atau teologi naturalis alamiah, dengan menegaskan, seseorang mengenal Tuhan dengan akal dan budinya.
Itu berarti orang Dayak, dengan sistem religi yang ada, dan kemudian sistem religisi sebagai daya dukung utama untuk survive selama berabad-abad, dimana akrab dengan alam, membuktikan orang Dayak, memiliki kemampuan mengenal Tuhan dengan akal dan budinya.
Karena pengingkaran terhadap aplikasi doktrin agama asli, membuktikan praktik kedungu-abadian orang Dayak itu sendiri. Sebab, agama asli Suku Dayak sebagai filosofi dan agama impor sebagai sarana keyakinan iman.
Bukan Rasis
Tuntutan Otonomi Khusus Suku Dayak di Pulau Borneo, melalui deklarasi Hutan Adat Dayak sebagai masif sebagai pusat religi agama asli Suku Dayak, bukan rasis, karena ini merupakan hak Suku Dayak sebagai penduduk pribumi sebagaimana digariskan Deklarasi Hak-hak Penduduk Pribumi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 61/295, tanggal 13 September 2007.
Karena bagaimana mungkin Pemerintah Indonesia, Brunei Darussalam dan Malaysia, bisa menjabarkan program pembangunan yang bisa mensejahterakan orang Dayak, apabila pemerintah pada tiga negara itu tidak mampu memahami kebutuhan mendasar orang Dayak sebagai penduduk pribumi di Pulau Borneo. (Aju)