LOMBOK (IndependensI.com) – Pentingnya kewaspadaan masyarakat terhadap ancaman penyakit dan resistensi antibiotik tersebut mengemuka pada saat Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian (Ditjen PKH) bersama Unit Khusus Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-bangsa di bidang Kesehatan Hewan (FAO ECTAD Indonesia) dan sejumlah mitra lintas sektor memberikan kuliah umum di Universitas Nusa Tenggara Barat. Kuliah umum ini merupakan seri terakhir dari rangkaian kuliah umum di sebelas fakultas kedokteran hewan di seluruh Indonesia.
Kegiatan untuk membahas berbagai isu penting dalam kesehatan global yaitu resistensi antimikroba (antimicrobial resistance- AMR), penggunaan antimikroba (antimicrobial usage- AMU), penyakit infeksi baru/berulang (PIB) serta penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia dan sebaliknya (zoonosis) ini telah berlangsung sejak tahun 2017 dan diselenggarakan dengan dukungan dari USAID.
“Saat ini masyarakat masih belum memahami bahaya dari AMR/AMU, penyakit infeksi baru dan zoonosis. Oleh karena itu, perguruan tinggi memiliki peran penting dalam upaya peningkatan kesadaran masyarakat. Civitas academica sebagai calon tenaga kesehatan profesional serta agen perubahan di masa depan harus memperoleh pengetahuan terkini mengenai tantangan kesehatan yang membutuhkan komitmen bersama pada lintas sektor dan lintas organisasi ini,” kata Syamsul Ma’arif, Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner, Kementerian Pertanian RI.
Fadjar Sumping Tjatur Rasa, Direktur Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian RI, menambahkan bahwa terjadinya resistensi antimikroba tidak terlepas dari penyimpangan dalam penggunaan antimikroba di sektor peternakan seperti penggunaan antibiotic growth promotor (AGP), penggunaan antibiotik untuk pencegahan tanpa pengawasan dokter hewan serta kelemahan dalam diagnosa penyakit sehinga pengobatan tidak tepat. Oleh karena itu perguruan tinggi juga harus membekali para mahasiswa tentang bagaimana penggunaan antimikroba secara bijak dan bertanggung jawab.
Senada dengan hal tersebut, James McGrane, Team Leader FAO ECTAD mengapresiasi keterlibatan mitra lintas sektor dan lintas lembaga, antara lain Kementerian Kesehatan khususnya Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba, Kemenko PMK, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Yayasan Orang Tua Peduli, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Asosiasi Fakultas Kedokteran Hewan Indonesia (AFKHI), Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI). “Dengan menghadirkan berbagai pembicara dari sektor kesehatan hewan, kesehatan manusia serta kesehatan lingkungan dan satwa liar, FAO ingin membangun pendekatan One Health di Indonesia yang mengutamakan koordinasi, kolaborasi dan komunikasi,” jelasnya.
Sementara itu, Rektor Universitas Nusa Tenggara Barat (UNTB), Mashur, menekankan relevansi kuliah umum ini dengan kondisi Provinsi NTB yang kedua pulau utamanya, yakni Pulau Lombok baru saja dilanda bencana alam gempa pada 2018 lalu, sementara Pulau Sumbawa terserang wabah rabies pada awal 2019. “Tentunya dengan memahami lebih dalam, kita semua – civitas akademisi, pengambil kebijakan maupun masyarakat luas lintas sektor, dapat tergerak untuk langkah nyata agar resistensi antimikroba dan wabah penyakit tidak menjadi bencana baru bagi daerah kita.”
Sejak tahun 2017, rangkaian kuliah umum ini telah menjangkau seluruh fakultas dan program studi kedokteran hewan di Indonesia yang terdapat di sebelas universitas, yaitu Institut Pertanian Bogor, Universitas Airlangga, Universitas Hasanuddin, Universitas Gadjah Mada, Universitas Udayana, Universitas Nusa Cendana, Universitas Padjadjaran, Universitas Brawijaya, Universitas Wijaya Kusuma, Universitas Syiah Kuala, dan kini terakhir di Universitas Nusa Tenggara Barat. Meski diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran Hewan, peserta kuliah umum berasal dari beragam fakultas dengan bidang ilmu terkait, seperti Fakultas Peternakan, Fakultas Kedokteran, Fakultas Farmasi, Fakultas Keperawatan dan sebagainya untuk membangun kesadaran kolaborasi One Health sejak dini.
Memandang pentingnya isu-isu terkait kesehatan global khususnya terkait AMR/AMU, PIB, Zoonosis, dan one health, AFKHI berencana memuktahirkan kurikulum Fakultas Kedokteran Hewan di seluruh Indonesia dengan materi-materi tersebut.
“Kami saat ini sedang dalam proses adopsi pembelajaran-pembelajaran terkait AMU/AMR, penyakit infeksi baru/berulang, zoonosis, dan One Health ke dalam kurikulum dan sistem pengajaran di fakultas kedokteran hewan se-Indonesia, sehingga pemahaman tentang isu-isu tersebut sudah diperoleh dari sejak bangku kuliah, dan memudahkan mereka pada saat terjun ke masyarakat untuk bisa mengimplementasikan program pencegahan sekaligus membangun komunikasi, koordinasi, dan kolaborasi lintas sektor,” pungkas Kholik, Dekan Fakultas Kedokteran Hewan UNTB mewakili AFKHI.