Independensi.com – Kita menghormati pendapat anggota Komisi III DPR RI Teuku Taufiqulhadi yang menuding Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang meng-Operasi Tangkap Tangan (OTT) Asisten Tindak Pidana Umum (Aspidum) Kejaksan Tinggi DKI Jakarta, Agus Winoto, sebagai tindakan mempermalukan instisusi Kejaksaan.
Menurut anggota Kimisi III DPR tersebut sebagai sesama aparat penegak hukum, sebaiknya KPK sebelum melakukan OTT bisa memberitahukan kepada lembaga kejaksaan, mau melakukan penangkapan. Karena tidak ada koordinasi atau pemberitahuan kepada lembaga Kejaksaan, maka tindakan itu menurut politisi partai Nasdem itu sebagai mempermalukan Kejaksaan. Teuku Taufiqulhadi mengemukakan pendapatnya kepada pers Sabtu, 29 Juni lalu di Jakarta.
Teuku Taufiqulhadi sebagai anggota DPR yang tergabung dalam Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket KPK beberapa waktu lalu termasuk yang aktif mengkritisi KPK bersama Masinton Pasaribu dari PDI-P, yang hasilnya “biasa-biasa saja”.
Kritik atau pendapat Teuku Taufiqulhadi tersebut dapat dimengerti, apalagi M. Prasetyo juga adalah politisi Partai Nasdem, mudah-mudahan kritik dan saran tersebut tidak didorong atas kesamaan partai untuk pembelaan, melainkan masih dalam koridor fungsi pengawasan DPR dalam penerapan hukum dan perwujudan keadilan.
Dalam sopan-santun keseharian kita wajar mengingatkan rekan secara halus, ibarat “right resleting” (kancing) celana kurang rapi, perlu memilih cara yang tertutup alias “tidak diketahui” orang lain.
Dengan pengertian seperti itu, kita menghormati pendapat Teuku Taufiqulhadi, bagus sekaligus saran yang baik, akan tetapi terhadap dengan OTT yang dilakukan KPK, perbuatan kriminal dan bukan suatu ketidak sengajaan tidak perlu pemberitahuan KPK kepada Kejaksaan, ya tidak berlaku “sesama bis kota jangan saling mendahului”.
Yang dilakukan Agus Winoto sebagai Aspidum Kejati DKI adalah perbuatan tercela, tidak bermoral dan justru mencoreng Kejaksaan. Agus Winoto-lah yang mempermalukan korpsnya dan Kejaksaan seharusnya berterimakasih kepada KPK, dan wakil rakyat justru harus mendukung pemberantasan korupsi.
Kalau Korps Adyaksa dan Jaksa Agung M. Prasetyo terimbas “rasa malu” tentu suatu hal yan g tidak bisa dihindari, namun bukanlah KPK yang mempermalukan melainkan dugaan tindak pidana korupsi dengan menerima suap sebanyak Sing $ 21.000,– dan hal tersebut adalah tanggungjawab pribadi tidak ada kaitan dengan Kejaksaan.
Kita berharap dalam penerapan hukum sepanjang dilakukan sesuai Undang-undang, jangan sekali-kali dipolitisasi, sebab kalau tindakan OTT harus diberitau ke pihak lain bukan OTT lagi dan KPK akan jadi macan ompong.
Soal malu mempermalukan, OTT KPK itukah yahng mempermalukan atau tindakan korupsi dari anggota instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga negara lainnya? Ketua DPR, Ketua DPD, Ketua Mahkamah Konstitusi, Menteri, Gubernur, Bupati Walikota sudah lengkap terkena OTT dan turutannya.
Apakah karena KPK memberantas korupsi dan menyelamatkan harta dan kekayaan negara kita merasa dipermalukan, atau sebaliknya justru dengan kegigihan KPK kehormatan kita sebagai bangsa dipuluhkan dan rasa malu kita diobati?
Semakin intens dan efektif pemberantasan korupsi menurut hemat kita, pembangunan nasional kita akan semakin efisien, kesejahteraan rakyat akan semakin meningkat, harkat dan martabat masyarakat dan bangsa Indonesia akan semakin baik. Kalau ada yang menilai OTT oleh KPK sebagai tindakan hukum yang negative, menurut kita justru pemikiran yang terbalik.
Oleh karena itu walaupun Pimpinan yang sekarang sudah mau mengakhiri masa bhaktinya, hendaknya tidak kendor memberantas korupsi sesuai dengan Undang-undang, sebab kelihatannya, selama system politik kita seperti sekarang ini yang memungkinkan meraih kedudukan di perwakilan rakyat maupun pemerintahan dengan “money politics”, tindak pidana korupsi merupakan jembatan alternatif meraih suatu kedudukan. Setelah terpilihpun, upaya mengembalikan uang yang “terbuang”, tidak ada jalan lain selain tindakan yang sama, dan akan dilanjutkan lagi untuk meraih periode berikutnya.
Instansi atau induk organisasi yang ada hendaknya mewanti-wanti anggotanya agar tidak di-OTT KPK, tidak justru mengharapkan KPK memberitahukan kalau akan ada OTT ke anggotanya. Itu namanya bukan OTT, tetapi “orang yang right resleting celana”-nya yang kurang rapi, alias “porno” sebab “cd”-nya kelihatan.
Semoga Panitia Seleksi Komisioner KPK periode mendatang dapat menjaring orang yang benar-benar pribadi yang telah selesai dengan dirinya bukan diri orang lain. (Bch)