Sekretaris Jenderal Dayak International Organization (DIO) Dr Yulius Yohanes M.Si

Sekjen DIO: Otsusbud Dayak di Pulau Dayak Perekat NKRI

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Sekretaris Jenderal Dayak International Organization (DIO) Dr Yulius Yohanes, M.Si, menegaskan, desakan diberlakukan Otonomi Khusus Kebudayaan (Otsusbud) Suku Dayak sehubungan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Provinsi Kalimantan Timur, tetap dalam kontek perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berideologi Pancasila.

Hal itu dikemukakan Yulius Yohanes, Sabtu, 31 Agustus 2019, sehubungan salah satu isi Protokol Tumbang Anoi 2019, menerima pemindahan IKN ke Provinsi Kalimantan Timur, tapi harus disertai pemberlakukan Otsusbud Suku Dayak.

Kemudian, Protokol Tumbang Anoi 2019, menetapkan Pulau Kalimantan/Borneo jadi Pulau Dayak, membentuk dua oganisasi Dayak tertaraf internasional, yaitu Dayak International Organization (DIO) dan Yayasan Damang Batu Internasional.

“Otsusbud Dayak di Pulau Dayak memperteguh posisi orang Dayak di dalam NKRI, karena mencintai kebudayaan sendiri. Karena kebudayaan nasional, berasal dari kebudayaan daerah yang disosialisasikan kalangan internal, untuk kemudian diterima ranah psikologis masyarakat secara regional, nasional dan internasional,” ujar Yulius Yohanes.

Protokol Tumbang Anoi 2019, sudah diserahkan kepada Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, dan Menteri/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Bambang Brojonegoro di Jakarta.

Protokol Tumbang Anoi 2019, hasil Seminar Internasional dan Ekspedisi Napak Tilas Damai Tumbang Anoi 1894 tahun 2019, di Cagar Budaya Rumah Betang Damang Batu, Desa Tumbang Anoi, Kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah, 22 – 24 Juli 2019.

Pada 22 Mei – 24 Juli 1894, yaitu 125 silam (1894 – 2019), ribuan tokoh Dayak se Pulau Dayak menggelar pertemuan damai di Tumbang Anoi, menghasilkan 9 kesepakatan mengikat, dijabarkan di dalam 96 pasal hukum adat, dimana di antaranya bunyinya menghentikan budaya perbudakan dan potong kepala manusia (mengayau).

“Otsusbud Dayak sebagai salah satu upaya mengoptimalkan masa depan bangsa dan negara agar dapat mewujudkan cita-cita, untuk meningkatkan kesejahteraan sosial sesuai dengan ideologi bangsa,” ungkap Yulius.

Oleh karena itu, menurut Yulius Yohanes, Otsusbud Dayak harus diimplementasikan dalam menjembatani kepentingan bangsa dan negara.

Otsusbud Dayak, adalah sebuah nilai yang hidup seiring dengan lahirnya sebuah bangsa yang mana sudah teruji dan terbukti bagaimana bangsa ini dapat hidup berdampingan secara harmonis dan serasi sebagai wujud sebagaimana dari aspek budaya dapat berfungsi secara baik untuk mengikat bangsa ini dalam mencapai tujuan bersama.

“Dan dengan pendekatan kebudayaan hal-hal yang negatif seperti intoleran, radikalidme/terorisme serta kejahatan lain yang dapat mengganggu stabilitas kehidupan bersama bangsa ini bisa di stasi sedini mungkin sehingga apa yang kita cita-citakan terkait dengan mencapaian keadilan dan kesejahteraan bangsa ini bisa diwujudkan,” ungkap Yulius Yohanes, sfat pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik(FISIP) Universitas Tanjungpura (Untan), Pontianak, Kalimantan Barat.

Menurut Yulius Yohanes, rencana implementasi Protokol Tumbang Anoi 2019, menyangkut konsep Otsusbud Dayak, sudah dikomunikasikan secara garis besar deengan Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, Akmal Malik di Jakarta, Rabu, 28 Agustus 2019.

Sehubungan permintaan Otsusbud Dayak, ujar Yulius Yohanes, Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, menyarankan agar segera digelar Seminar Kebudayaan Suku Dayak, minimal pada tiap-tiap provinsi pada lima provinsi di Pulau Dayak, tentang konsep yang akan ditawarkan, dengan terlebih dahulu menyusun Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Perlindungan Masyarakat Adat.

Yulius Yohanes menegaskan, dalam pertemuan di Jakarta, Rabu, 28 Agustus 2019, Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia, mengingatkan kalangan Suku Dayak lebih proaktif menyusun konsep pembangunan yang sesuai kebutuhan internal, agar Suku Dayak tidak mengalami nasib buruk seperti Suku Betawi, saat Jakarta dari IKN.

DIO beranggotakan 2 orang masing-masing provinsi dan negara bagian, dengan masa masa jabatan lima tahun. Periode pertama, berlaku 23 Juli 2019 hingga 23 Juli 2025.

Datuk Dr Jeffrey G Kitingan, anggota parlemen di tingkat Federasi Malaysia asal pemilihan Negara Bagian Sabah. ditetapkan sebagai Presiden DIO, dan Dr Yulius Yohanes, M.Si sebagai Sekretaris Jenderal.

Jalumin Bayogoh dari Sabah, bertindak sebagai Kepala Sekretariat Jenderal DIO berkedudukan di Kota Kinabalu Negara Bagian Sabah dan Pontianak, Provinsi Dayak Barat, Indonesia.

Yulius Yohanes, mengatakan, salah satu tugas DIO, melakukan negosiasi terhadap Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam, apabila terbukti kepentingan Suku Dayak, terabaikan di dalam implmentasi pembangunan, sebagaimana digariskan di dalam Deklarasi Hak-hak Penduduk Pribumi Perserikatan Banga-Bangsa (PBB) Nomor 61/295, tanggal 13 September 2007. (Aju)