JAKARTA (Independensi.com) – The Indonessian Democracy Initiative menggelar diskusi publik bertema “Mencegah Disintegrasi Bangsa dari Residu Pemilu Hingga Isu Papua” di Hotel Alia Cikini, Jakarta Pusat. Minggu (15/9).
Diskusi tersebut digelar untuk menegaskan kembali prinsip hidup berbangsa dan bernegara dalam payung NKRI. Hal ini mengingat kondisi bangsa yang diuji persatuannya dengan berbagaai persoalan yang mengancam disintegrasi bangsa akhir-akhir ini.
Lidya Natalia Sartono, Mantan Ketua Presidium PP PMKRI dalam diskusi tersebut menegaskan, masuk ke 4 periode pasca pemilihan berlangsung pesta demokrasi, artinya sudah 3 periode kita menikmati hasil dari kematangan dan kedewasaan demokrasi kita.
“Kalau sudah 3 kali artinya ada hasil evaluasi yang matang yang dapat kita simpulkan untuk mencapai kematangan dalam berdemokrasi,” tegasnya dalam keterangan tertulis diterima Independensi.com, Minggu.
Saya mengajak kita semua, lanjutnya, untuk merefleksikan kembali proses menuju kemerdakaan kita 74 tahun silam, dimana cita-cita anak bangsa yang kian membara sejak dicetusnya semangat para pemuda 1908, 1928 hingga 1945, tidak lah mudah.
“Saya membayangkan “konflik” yang muncul justru membakar semangat persatuan di era itu. Hingga kolaborasi pada setiap jenjang generasi menjadi menarik untuk diperbincangkan hingga kini,” ungkapnya.
Lidya yang juga seorang politisi Nasdem tersebut memandang bahwa hampir setiap penananam idiologi kebangsaan, kita selalu memunculkan tokoh-tokoh perjuangan di era itu.
Berkaitan dengan semangat kaum muda merawat dan terus menegaskan pilar kebangsaan, Lidya mencontohkan semangat pergerakan pendiri kelompok Cipayung ( PMKRI, HMI, GMKI, GMNI & PMII) yang memiliki suatu visi yang sama tentang Indonesia yang kita cita-citakan.
Dimana visi dari kesepakatan tersebut berpedoman kepada Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu menuju masyarakat yang adil dan makmur serta mencapai spiritual dan material yang berdasarkan Pancasila.
”Indonesia yang dicita-citakan adalah Indonesia yang kuat bersatu, cerdas dan modern, demokratis dan adil menjunjung tinggi martabat manusia serta mempunyai wibawa hukum, bebas dari ketakutan dan penindasan, berperan aktif dalam pergaulan bangsa-bangsa di dunia.” katanya.
Lalu bagaimana dengan kita hari ini?
Mantan Ketua Presidium PP PMKRI tersebut memandang, konteks hari ini, ada satu proses penting yang kita sadari, yang dapat kita identifikasi bagaimana kedewasaan demokrasi kita.
Dia mengatakan setidaknya dari berbagai kejadian semenjak Pasca Reformasi tahun 1998, Pasar Bebas tahun 2015, Gelombang Generasi Era Milenial 81,27 jt jiwa ( 34,48%) generasi Z 68,02 Juta jiwa (28,86%) / Bonus Demografi, Era Revolusi Industri 4.0, Mengalami 4 kali Pemilihan langsung, Pemindahan Ibu Kota Negara, Isu Papua dan UU KPK.
Dari kejadian-kejadian ini, lanjutnya, setidaknya menggugat cara pandang kita. Bahwa berbagai persoalan yang terjadi setidaknya menegaskan dan menguatkan kembali cara hidup berbangsa dan bernegara terlebih dalam merawat kedewasaan demokrasi kita.
Selain itu, di ranah ancaman disintegrasi bangsa, politisi Nasdem tersebut mengajak seluruh warga masyarakat agar lebih merawat tenunan kebangsaan dengan pendekatan kultural.
“Tidak bisa kita pungkiri, bahwa multikultural adalah harta yang sangat berharga, dalam memperkokoh bangunan ke-Indonesiaan, kita sudah final merekatkan seluruh kebudayaan menjadi satu bangsa yang berbhineka dan bangsa yang berbudaya,” ungkapnya.
Jika hari ini kita diuji dengan berbagai persoalan, ungkapnya, maka jawaban yang harus kita urai agar roh kebangsaan terus hidup di hati seluruh anak bangsa, adalah dengan menghayati kekayaan kultural sebagai jalan perekat yang meng-Indonesiakan kita semua.
“Secara kultural kita memang berbeda, namun satu dalam Pancasila dan Indonesia,” tutupnya.