PONTIANAK (Independensi.com) – Sekretaris Jenderal Dayak International Organization (DIO), Dr Yulius Yohanes, M.Si, mengatakan, pernyataan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Republik Indonesia, Jenderal (Purn) Wiranto, bisa timbulkan kemarahan masyarakat Suku Dayak.
Hal itu dikemukakan Yulius Yohanes, Minggu, 15 September 2019, menanggapi pernyataan Wiranto yang menuding kebakaran hutan dan lahan penyebab kabut asap tebal adalah para peladang di Kalimantan dan Sumatera.
“Kendati tidak menyebut Suku Dayak pembakar lahan ladang, tetapi menuding peladang di Kalimantan dan Sumatera penyebab kebakaran lahan, otomatis kambinghitamkan orang Dayak, karena sebagian besar Suku Dayak bekerja sebagai petani ladang yang buka lahan dengan sistem bakar di Kalimantan,” ungkap Yulius Yohanes.
Dikatakan Yulius Yohanes, Sekretaris Pascasarjana Universitas Tanjungpura Pontianak, perlu diketahui bahwa masyarakat adat Dayak dengan kearifan lokalnya, termasuk budaya tradisi sudah turun temurun berlangsung dalam hidup masyarakat Dayak untuk memenuhi kehidupannya dengan cara berladang.
Tentu dengan cara berladang ini ada aturan-aturan yang harus di penuhi masyarakat adat untuk menjaga kelestatisn hutan dengan terlebih dahulu melakukan musyawarah antar warga masyarakat secara berkelompok dan dilanjutkan dengan ritual dengan maksud meminta kepada leluhur dan Tuhan agar ladang yang dibuka mendapatkan
hasil yang melimpah.
“Di samping dalam pelaksanaan membuka ladang secara bersama-sama menjaga agar pembakaran lahan tidak merusak hutan dan lingkungan di sekitarnya,” ujar Yulius Yohanes.
Menurut Yulius, buka lahan dengan sistem bakar orang Dayak selama ribuan tahun selalu perhitungkan agar kobaran api tidak merembes, setiap kali membakar ladang.
Ketika areal cukup luas, maka bakar ladang selalu dilakukan secara bertahap, dimana sebelum, selama dan sesudah membakar ada acara ritualnya.
Oleh karena itu tentu penyataan Wiranto sebagai tokoh nasional tidak bijak dan ini dapat menimbulkan kemarahan meluas masyarakat Adat Dayak yang ada di di Kalimantan.
“Pertengahan September 2019, sudah lewat musim bakar lahan ladang bagi Suku Dayak. Sekarang memasuki musim menugal, tapi peladang masih jadi kambing hitam,” ungkap Yulius Yohanes.
Diungkapkan Yulius Yohanes, lokasi kebakaran lahan terjadi di lahan gambut dan pelaku pembakaran bukan orang Dayak, karena orang Dayak tidak menggarap lahan gambut.
Malah banyak fakta membuktikan, banyak warga ditangkap karena bakar lahan milik perusahaan kelapa sawit, karena biaya leandclearing dengan sistem bakar lebih murah. Itu artinya masyarakat dibayar bakar lahan perusahaan.
“Ada banyak perusahaan disegel karena lahannya terbakar atau dibakar. Tahun 1970-an ke bawah tidak ada musibah kebakaran yang meluas. Tapi saat investasi perkebunan kelapa sawit meluas sejak tahun 1970-an ke atas, maka kebakaran terus meluas,” ungkap Yulius Yohanes.
Dikatakan Yulius Yohanes, pernyataan Wiranto bentuk ketidakpahaman Pemerintah Republik Undonesia terhadap kehidupan Masyarakat Adat dimana hak-hak Masyarakat Adat dilindungi dunia internasional sebagaimana Deklarasi Hak-hak Penduduk Pribumi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 61/295, tanggal 13 September 2007.
Dikatakan Yulius Yohanes, hutan, terutama di lokasi situs pemukiman dan pemujaan, telah dijadikan simbol dan sumber peradaban Suku Dayak dengan sistem religi berurat berakar dari legenda suci Dayak, mitos suci Dayak, adat istiadat Dayak dan hukum adat Dayak.
Sistem religi Dayak sebagai pembentuk karakter, identitas dan jatidiri Dayak beradat untuk berdamai dan serasi dengan leluhur, berdamai dan serasi dengan alam semesta, kemudian berdamai dan serasi dengan sesama dan negara.
Jadi, kata Yulius Yohanes, sangat mustahil orang Dayak bakar hutan, karena sama saja dengan menghancurkan peradabannya, karena hutan bagi Kebudayaan Suku Dayak sebagai simbol dan sumber peradaban.
“Belum dimulainya pembangunan fisik di lokasi Ibu Kota Kegara di Provinsi Kalimantan Timur, sekarang sudah terjadi benturan peradaban melalui pernyataan tidak berdasar dari Wiranto,” ujar Yulius Yohanes.
Menyadari hak inilah, ucap Yulius Yohanes, kendati menerima pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Provinsi Kalimantan Timur, tapi dalam Protokol Tumbang Anoi 2019, Suku Dayak tuntut otonomi khusus kebudayaan Suku Dayak, agar tidak terjadi benturan peradaban sebagai akibat Pemerintah Republik Indonesia tidak paham Kebudayaan Suku Dayak.
Yulius Yohanes ingatkan para elit politik di Negara Kesatuan Republik Indonesia, jangan jadikan Suku Dayak jadi alat politik kambing-hitam, karena bisa timbulkan kemarahan meluas. (Aju)