JAKARTA (IndependensI.com) – Istilah buzzer atau pendengung akhir-akhir ini menjadi cukup populer. Dalam konteks tertentu, buzzer menjadi industri yang siap pakai untuk menggiring opini publik. Namun pada prakteknya buzzer justru terkadang dikonotasikan negatif. Mereka diasosiasikan suka menyebarkan dan merusak informasi dengan konten hoax dan menyesatkan. Padahal aktifitas buzzer ini sejatinya bisa bernilai positif dengan menjadi penggerak dan penyebar isu perdamaian, anti fitnah dan penyebaran hoax.
Aktivis media sosial, Enda Nasution, mengatakan jadi buzzer membutuhkan kemampuan dan pengetahuan serta pengalaman yang bagus untuk mengelola dan menyebarkan informasi. Menjadi buzzer boleh saja, asal informasi yang disebarkan bertujuan menjaga perdamaian dan persatuan.
“Perlu diingat bahwa menyebarkan informasi yang bisa menyesatkan dan memecah persatuan bukan saja melangar hukum tapi, juga jahat dan melanggar hukum agama. Sudah seharusnyalah teman-teman yang bekerja untuk melakukan penyebaran kebencian seperti itu untuk stop melakukan itu dan kemudian menggunakan kemampuan dan pengalamannya untuk menyebarkan informasi-informasi yang sifatnya positif dan menjaga perdamaian,” kata Enda di Jakarta, Sabtu (12/10/2019).
Dikatakan Enda, masyarakat pengguna media sosial yang cerdas dan rajin, tentunya bisa membuat buzzer penyebar fitnah ini untuk tidak ada lagi di Indonesia. Karena dengan kecedasan yang dimiliki masyarakat maka tidak ada lagi ruang untuk mereka bisa memanipulasi informasi atau memprovokasi masyarakat dengan sengaja untuk menyebarkan lagi informasinya.
“Sehingga perilaku kita yang menggunakan media sosial secara bijaklah yang utama jangan mau diprovokasi, jangan menjadi user yang malas. Harus rajin dan sadar bahwa ini ada perang opini di dunia maya. Jangan tanpa kita mengerti betul isunya atau opininya, dan jangan mau jadi orang yang dimanipulasi,” ujar Enda.
Dalam kesempatan tersebut Enda menjelaskan bahwa selama ini ada semacam kesalahan persepsi tentang buzzer. Definisi buzzer itu sebenarnya adalah akun-akun tanpa identitas yang jelas, tapi punya misi, tugas ataupun kesukarelaan untuk menyebarluaskan informasi yang dia punya.
“Latar belakang motivasinya bisa memotivasi ekonomi, dibayar atau juga bisa motivasi ideologis atau prereferensi untuk atau relawan untuk mendukung sebuah isu atau kampanye tertentu. Ini yang saya katakan sebagai buzzer. Karena memang istilahnya itu nge-buzz yang tidak jelas dimana kita hanya ramai, tapi kemudian tidak ada informasi yang yang kredibel, sumbernya dari mana, kita tidak bisa tahu,” ujar Enda
Namun demikian menurut Enda, para masyarakat yang misalnya mendukung atau melakukan hal menyebarkan informasi yang sama, tentunya akan mempertaruhkan reputasi dan kredibilitasnya kalau menggunakan nama yang benar atau valid. Karena hal tersebut memiliki konsekuensi bila menyebarkan informasi yang salah. Hal tersebut menurutnya bisa dikatakan sebagai influencer atau endorser, karena mereka itu bisa bersifat relawan atau bisa juga sebenarnya mendapatkan imbalan ekonomi.
“Tapi ada reputasi atau kredibilitas yang dipertaruhkan di situ. Jadi tidak bisa seenaknya. Karenanya informasinya mau tidak mau tetap harus di cek atau minimal dia harus dapat informasi yang bisa dia pertanggung jawabkan. Nah itu pembedaan yang utama, karena sekarang ini semua orang yang menyebarkan tentang informasi sesuatu disebut sebagai buzzer. Menurut saya di situ ada yang salah persepsi,” kata pria yang juga Koordinator Gerakan #BijakBersosmed.
Dikatakan alumni Teknik Sipil ITB ini, karena adanya munculnya ruang informasi publik yang baru ini maka konsumsi informasi ini akhirnya terpaksa harus ada supplynya. Hal ini yang membuat masyarakat Indonesia dan juga para profesional komunikasi akhirnya belajar bagaimana caranya meraih para konsumen informasi yang ada di media sosial. Dan salah satu metodenya adalah menggunakan para influencer dan buzzer ini.
“Saya setuju bahwa metode nya sendiri sebenarnya netral, tapi tergantung dari substansinya. Substansinya ini terutama buzzer yang tidak ada konsekuensi terhadap informasi yang disebarkan sehingga bisa saja informasi yang disebarkan bersifat hoax atau bersifat disinformasi dan bahkan negatif,mungkin ada musuh yang mau diserang atau ada isu yang dimanipulasi,” kata pria yang juga dijuluki sebagai Bapak Blogger Indonesia ini.
Tetapi di sisi lain kalau memperkerjakan para influencer yang memang punya kredibilitas dan reputasi yang dipertaruhkan, maka tentu tidak bisa seenaknya dalam menyebarkan informasi. Tentunya harus bisa dipercaya dan tidak merusak kredibilitas para influencer ini.
“Jadi apakah itu untuk kepentingan politik, kampanye untuk berbagai isu lingkungan, perdagangan dan sebagainya, maka yang terjadi adalah ruang publik di media sosial ini menjadi sebuah ruang medan perang opini dimana masing-masing pihak yang berusaha memenangkan opini publik, akhirnya berusaha untuk membentuk opini dengan menyebarkan informasi informasi tentunya yang berpihak pada si penyebarnya,” kata pria kelahiran Bandung, 29 Juli 1975 ini
Namun yang menjadi masalah menurutnya, buzzer ini bisa dengan mudah dan tanpa konsekuensi dalam menyebarkan informasi yang salah atau memang sengaja dibuat salah, disinformasi dan hoax. Untuk itu salah satu cara untuk melawannya adalah masyarakatnya harus makin cerdas dan makin pintar.
“Ini hubungannya dengan literasi digital. Yang utama memang masyarakat Indonesia harus lebih rajin mencari sumber informasi yang benar, jangan mau gampang terpercaya dengan informasi yang beredar di media sosial,” kata pria yang juga sebagai pelaku startup dan bertindak sebagai Eksekutif Direktur dari Gerakan Nasional 1000 Startup ini..
Untuk itu ketika mendapat informasi pun masyarakat juga diminta untuk tidak mudah emosi, terkejut, heran, gampang terpancing, terprovokasi, yang berakibat lalu ikut menyebarkan lagi informasi itu ke sekelilingnya. Karena hal tersebut yang diinginkan oleh para buzzer atau pembuat hoax ini. Untuk itu dirinya meminta kepada masyarakat pengguna media sosial ketika mendapat informasi dari dunia digital, dari media sosial lebih baik di ‘diskon’ dulu kebenaranya hingga 50 persen dan tidak langsung percaya.
“Dengan cara begitu kita bisa melawan informasi yang salah dengan efektif dan kemudian ke depan makin menurun aktivitasnya, tidak bisa lagi hanya sekedar menyebaran informasi atau fitnah yang tidak jelas, apalagi cara-caranya kasar, misalnya melakukan Photoshop terhadap media atau screenshoot dari media, majalah, TV dan lain sebagainya, karena masyarakat sudah lebih cerdas lagi,” katanya.
Enda pun memberikan tips untuk mengenali ciri-ciri akun buzzer yang palsu diantaranya bisa, namanya bukan nama asli. Selain itu juga bisa dilihat dari jumlah isi posting atau kontennya yang biasanya sangat satu sisi atau satu arah dan tidak banyak informasi tentang hal-hal lain.
“Jadi hanya tentang isu atau campaig yang terus-menerus dikabarkan Ini tentu berbeda dengan akun-akun yang memang riil atau orang-orang yang jelas, biasanya tentu ada banyak konten yang sesuai dengan pribadinya masing-masing seperti hobinya atau aktivita kesehariannya,” ucap Ketua Tim Jabar Saber Hoaks yang dibentuk Pemerintah Provisni Jawa Barat ini.
Dirinya juga meminta kepada aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan tegas terhadap para penyebar fitnah atau hoax. “Penegakkan hukum menjadi salah satu faktor yang penting agar ada efek jera, sehingga tidak lagi terus menerus masyarakat dibombardir oleh hoax dan disinformasi,” kata Enda mengakhiri.