Haji Abang Mohammad Japri, mantan romusha yang sekarang berumur 102 tahun.

Era Jepang, 1.000 Romusha dan Jugun Ianfu Tewas di Kapuas Hulu

Loading

PUTUSSIBAU (Independensi.com) – Kejahatan kemanusiaan dilakukan Jepang, menyebabkan, paling tidak seribu orang meminggal dunia dari dua ribu lima ratus hingga tiga ribu romusha dan jugun ianfu di lokasi pertambangan batu cinnabar atau batu tungau di Sungai Petikah, Desa Nanga Dua, Kecamatan Bunut Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat, 1942 – 1945.

Banyaknya korban romusha atau kerja paksa dan jugun ianfu atau budak seks dari seluruh Indonesia merenggang nyawa, akibat kekerasan fisik dilakukan militer Jepang, perkelahian antar sesama, dan serangan berbagai jenis penyakit, dan sanitasi lingkungan yang buruk.

Jepang membutuhkan pasokan batu cinnabar dalam jumlah memadai dengan mengerahkan tenaga romusha, untuk memenuhi pasokan pembuatan denotor sebagai alat peledak bom selama Perang Dunia II, 1941 – 1945.

Hal itu terungkap di dalam buku: “Fakta Kekejaman Jepang di Petikah”. Angka pekerja berjumlah 2.500 – 3.000 orang, dengan perhitungan satu mandor besar bernama Ali Kelantan, membawahi 200 mandor sebagai lapisan pertama.

Kemudian satu mandor lapisan pertama berjumlah 200 orang masing-masing mmembawahi lagi 50 mandor lapisan kedua. Mandor lapis kedua membawahi 10 orang kapisan ketiga. Satu mandor lapis ketiga membawahi 9 orang romusha.

Angka meningal dunia 1.000 orang perhitungan sebagai berikut. Masa romusha 3,5 tahu atau setara dengan 900 hari. Tiap hari meninggal antara 10 – 15 orang, seingga dicapai angka 1.000 orang tewas dalam 900 hari.

Bahkan selama satu pekan setelah Jepang meninggalkan Sungai Petikah tanpa kabar, akhir 1945, tiap hari 50 orang lebih meninggal dunia, akibat salig berkelahi antar sesama romusha, berebut bahan makan di gudang.

Buku ini mengulas awal kedatangan Jepang ke Indonesia dengan berbagai implikasi sosial, ekonomi dan politik pasca penyerangan Pangkalan Militer Amerika Serikat di Pearl Harbor, Hawaii, 7 Desember 1941, sehingga memantik Perang Dunia II, 1941 – 1945.

Perang Asia Timur Raya, menurut Aju dan Salfius Seko, dalam bedah buku: “Fakta Kekejaman Jepang di Petikah” di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kapuas Hulu di Putussibau, Ibu Kota Kabupaten Kapuas Hulu, Jumat, 15 Nopember 2019, membuat Jepang melakukan ekspansi ke berbagai wilayah di daratan Asia, untuk mengeruk sumberdaya alam dalam rangka membiayai Perang Dunai II.

Termasuk di antaranya melakukan penambangan batu cinnabar atau batu tungau, dengan mempekerjakan 2.500 – 3.000 tenaga romusha di Sungai Petikah.

Di Sungai Petikah, dalam rangka memuaskan nafsu seks para anggota militer, Jepang menghadirkan jugun ianfu dari berbagai negara yang ditempatkan di rumah bordil yang disebut lanjo.

Buku berjudul: “Fakta Kekejaman Jepang di Petikah”, ditulis dalam 9 bagian, meliputi 1 adalah Pengantar, kemudian isinya dirangkai di dalam 8 bab.

Pampasan perang

Pengantar, berjudul: Peran Sari Dewi Soekarno bagi Indonesia. Bagian ini, mengulas, lika-liku pembayaran pampasan perang kepada Indonesia.

Didasarkan Perjanjian San Fransisco pada tanggal 8 September 1951 dan mulai berlaku efektif tanggal 28 April 1952.

Pembayaran pampasan perang setelah Jepang dinyatakan menyerah tanpa syarat kepada Amerika Serikat dan Sekutunya, pada 15 Agustus 1945, pasca pengeboman Hirosima pada 6 Agustus 1945 dan Nagasaki pada 9 Agustus 1945.

Perdana Menteri Juanda bertolak ke Jepang tahun 1952, menuntut pampasan perang sebesar USD17,7 milyar, sebab Indonesia kehilangan 4 juta jiwa selama pendudukan Jepang dan miliaran dolar Amerika Serikat dalam bentuk aset negara.

Namun terjadi proses tawar-menawar antara Indonesia dan Jepang. Jumlah yang diminta oleh Pemerintah Indonesia, dinilai terlalu besar untuk dibayar oleh Jepang pada masa itu.

Pemerintah Jepang membujuk opini publik dengan berdalih bahwa pembayaran pampasan perang sesungguhnya, adalah investasi untuk pasar baru Jepang di masa depan. Sebagai alternatif ideal menggantikan pasar China yang hilang pascaperang.

Dalam proses negosisi, muncul figur perempuan cantik sebagai tim negosiator dari perusahaan dagang Jepang bernama, Tonichi, untuk memuluskan pembangunan berbagai proyek fisik di Indonesia.

Perempuan cantik, itu, namanya: Nemoto Naoko. Indonesia kemudian menyetujui pembayaran pampasan perang dari sedianya US$D17,7 miliar, turun menjadi US$D223,08 juta dan dibayar pada 20 Januari 1958.

Dalam perkembangannya, perempuan cantik Jepang, Nemoto Naoko, dijadikan istri ketiga Presiden Soekarno tahun 1962, dengan mengubah namanya menjadi Sari Dewi Soekarno.

Di antara bangunan monumental di Jakarta yang dibangun dengan sumber dana pampasan perang Jepang, yaitu Monumen Nasional, Gedung Gelora Bung Karno, Pasar Sarinah dan Wisma Nusantara. sebagai bagian dari 36 proyek pampasan perang.

Trilogi peradaban kebudayaan

BAB I, berjudul: Jepang dan Kebudayaan Asia. Di sini diulas, tentang ranah psikologis masyarakat di Indonesia, begitu mudah menerima kedatangan Jepang.

Karena sebagai sesama suku bangsa di Benua Asia, ada kesamaan peradaban kebudayaan.

Dengan menganut trilogi peradaban kebudayaan, yaitu hormat dan patuh kepada leluhur, hormat dan patuh kepada orangtua dan hormat dan patuh kepada negara.

Trilogi peradaban kebudayaan dimaksud, membentuk karakter, identitas dan jatidiri berbagai suku bangsa di Asia beradat.

Yaitu berdamai dan serasi dengan leluhur, berdamai dan serasi dengan alam semesta, berdamai dan serasi dengan sesama, dan berdamai dan serasi dengan negara.

Karakter, identitas dan jatidiri manusia di Asia beradat, lahir dari sistem religi yang berurat berakar dari legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat berbagai suku bangsa di Benua Asia, dengan menempatkan hutan sebagai simbol dan sumber peradaban.

Ini menyebabkan ada kemiripan doktrin antara agama asli berbagai suku bangsa di Indonesia dan agama asli Jepang. Di Jepang ada istilah Kami di dalam Doktrin Agama Shinto.

Kami, yaitu dimana benda dan atau makluk hidup yang sudah menyatu dengan pemiliknya, maka akan memiliki kekuatan lebih, di antaranya memiliki kemampuan bicara.

Seperti mandau peninggalan Alianjang, seorang Suku Dayak Uud Danum, Pejuang Kemerdekaan Kalimantan Barat yang meraih Bintang Penghargaan Mahaputera Nararya tahun 1999.

Mandau milik Alianjang, itu, dalam periode tertentu selalu mengeluarkan suara, layaknya suara manusia.

Di sini, diulas posisi Sungai Petikah sebagai Daerah Aliran Sungai (DAS) Kapuas di Desa Nanga Dua, Kecamatan Bunut Hulu, secara geografi.

Kemudian, gambaran umum wilayah Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu, sebagai salah satu dari 5 pemerintahan otonom yang berhadapan langsung dengan Negara Bagian Sarawak, Federasi Malaysia.

Pearl Harbor

BAB II, berjudul: Perang Asia Timur Raya. Di sini mengulas Perang Asia Timur Raya, dampak dari Jepang menyerang Pangkalan Militer Amerika Serikat di Pearl Harbor, Hawaii, pada 7 Desember 1941 yang memicu Perang Dunia II.

Sukses melumpuhkan Pangkalan Militer di Pearl Harbor, Jepang melakukan ekspansi di seluruh kawasan Asia.

Jepang langsung merebut sejumlah kawasan strategis sebagai ladang minyak di Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur pada 24 Januari 1942, Tarakan, Provinsi Kalimantan Utara pada 11 Januari 1942, Pontianak, Kalimantan Barat, pada 29 Januari 1942.

Pada Agustus 1942, Jepang sepenuhnya menguasai seluruh wilayah Kalimantan Barat, untuk dengan leluasa mengeruk sumberdaya alam.

Di antaranya mengerahkan 2.500 – 300 orang romusha atau pekerja paksa dari seluruh Indonesia.

Ribuan pekerja romusha, dikerahkan melakukan penambangan batu cinnabar atau batu tungau di Sungai Petikah, Desa Nanga Dua, Kecamatan Bunut Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat, 1942 – 1945.

BAB III, berjudul: Perlawanan Pang Suma. Di sini mengulas perlawan masyarakat Suku Dayak di wilayah Kecamatan Meliau, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat, dipimpin seorang Suku Dayak bernama Minera.

Minera memiliki anak tertua bernama Suma. Ayah dipanggil Pang, sehingga kemudian lebih dikenal dengan nama Pang Suma.

Perang Majang Desa, adalah perang terbuka terbesar di Provinsi Kalimantan Barat melawan Jepang, 13 Mei – 31 Agustus 1945 di Meliau.

Dalam Perang Majang Desa, Pang Suma, dinyatakan gugur setelah dikhianati anak buahnya.

Setelah 33 tahun Indonesia merdeka, di Pontianak, pada 30 Juli 1981, bekas pejuang Angkatan Perang Majang Desa yang masih hidup, menyerahkan 5 tengkorak tentara Jepang yang berhasil dibunuh selama Perang Majang Desa.

Di antara tengkorak tentara Jepang yang diserahkan atas nama Kapten Takeo Nakatani, Sersan Yamamoto, Osaki dan Sut Sugisang. Kemudian tengkorak seorang dokter yang tidak disebutkan namanya. Diserahkan satu unit samurai milik Kapten Takeo Nakatati.

Hantu romusha

BAB IV, Hantu Romusha di Sungai Petikah. Di sini, berdasarkan sejumlah data yang sudah dikumpulkan, dikonfirmasi ulang dengan sejumlah nara sumber berkompeten, yaitu (1) Simon Supeno, (2) Marsilus Ugak, (3) Arifin, (4) Bagong, (5) Thomas Buluh, dan (6) Viktorianus Karem.

Para narasumber, berasal dari generasi kedua dan ketiga, dalam kapasitas sebagai anak, menantu dan cucu korban romusha.

Wawacara di Desa Nanga Dua, Kecamatan Bunut Hulu, didampingi Bapak Fabianus Kasim, SH, anggota DPRD Kabupaten Kapuas Hulu, dan Fixrianus Kordion, Sekretaris Desa Nanga Dua, Minggu pagi, 10 Nopember 2019.

Di wawancarai pula Haji Abang Mohammad Japri yang kini berusia 102 tahun di Desa Nanga Semangut, Ibu Kota Kecamatan Bunut Hulu, Kabupaten Putussibau, Selasa malam, 12 Nopember 2019.

Japri, salah satu pekerja romusha di Sungai Petikah yang bertahan selama 9 bulan.

Selasa siang, 12 Nopember 2019 di wawancarai narasumber Silvester Romi di Putussibau.

Romi, Pegawai Negeri Sipil di Kantor Camat Embaloh Hulu di Banua Martinus dan pernah bertapa di Sungai Petikah

Romi pernah mendengar sendiri suara teriakan, rintihan dan berbagai bentuk jenis penyiksaan saat bermalam di Sungai Petikah, Desember 2015.

Ada tujuh point penting dari hasil konfirmasi di lapangan di Desa Nanga Dua, Minggu pagi, 10 Nopember 2019, yaitu:

Point pertama, tentang peran sentral Ali Kelantan, warga asal Nanga Semangut, Ibu Kota Kecamatan Bunut Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, sebagai mandor besar yang paling bertanggungjawab terhadap berbagai bentuk penyiksaan dan tindak kejahatan kemanusiaan lainnya, seperti pembunuhan terhadap para romusha di Sungai Petikah.

Point kedua, mandor besar bernama Ali Kelantan, melakukan instruksi atas berbagai tindakan perampokan terhadap masyarakat petani Suku Dayak sekitar.

Perampokan berupa pengambilan paksa berbagai jenis bahan pangan hasil ladang seperti padi, beras, buah-buah, sayur-sayuran dan berbagai jenis hewan ternak seperti sapi, babi, dan ayam, untuk memenuhi kebutuhan makanan ribuan orang pekerja romusha.

Point ketiga, ada kuburan massal berukuran 5 meter dengan kedalaman di atas 10 meter di Petikah I.

Kuburan massal untuk membuang mayat para romusha dan jugun ianfu yang dibunuh dan atau meninggal dunia, akibat sakit, melawan, berkelahi antar sesama romusha, maupun yang sudah tidak produktif lagi sebagai pemuas nafsu seks militer Jepang.

Point keempat, ada sebuah tempayan besar yang diletakkan di pinggir Sungai Petikah, di antara barak militer Jepang dan barak romusha, untuk menampung darah segar para korban romusha yang terlebih dahulu disembelih akibat melawan.

Point kelima, bahwa para jugun ianfu militer Jepang yang menempati lanjo yang berhadapan dengan barak militer Jepang dan barak romusha.

Para jugun ianfu, tidak hanya direkrut paksa dari perempuan muda asal warga sekitar, melainkan juga dari perempuan berkewarganegaraan luar negeri, seperti dari India, China, Korea, dan berbagai negara lainnya di Asia Tenggara.

Point keenam, para jugun ianfu perempuan muda yang terbukti melakukan perlawanan saat dijemput paksa dari kampung sekitar menuju lanjo di Petikah I, maka harus dibayar mahal.

Perempuan malang, ini, karena terus-terusan diperkosa secara bergantian oleh oknum militer Jepang di sepanjang perjalanan, dengan disaksikan para buruh romusha yang membawa korban, dengan kendaraan air menuju lanjo di Petikah.

Point ketujuh, para wanita muda yang direkrut paksa sebagai jugun dianfu, disuntik obat untuk menghentikan sistem jaringan reproduksi, agar tidak bisa hamil.

Terikan jugun ianfu

Bab V, berjudul: Teriakan Jugun Ianfu di Petikah. Di sini diulas dari pemahaman filsafat budaya, karena seringkali terjadi di tengah kesunyian malam, tiba-tiba terdengar suara wanita berteriak melengking histeris minta tolong di Sungai Petikah.

Ini diasumsikan sebagai ilustrasi kondisi arwah para jugun ianfu atau budak seks usai diperkosa dan kemudian dibunuh militer Jepang di lanjo atau rumah bordir, 1942 – 1945.

Ada jugun ianfu dilaporkan dibunuh dan mayatnya dibuat begitu saja, karena dinilai tidak produktif dan sakit-sakitan.

Barak atau atau rumah bordil pertama di dunia dibangun di Shanghai, China tahun 1932.

Pembangunan barak di China dijadikan model untuk pembangunan barak-barak rumah bordir di seluruh kawasan Asia Pasifik termasuk Indonesia sejak pendudukan Jepang tahun 1942-1945.

Di Indonesia, telah dibangun barak di berbagai wilayah seperti Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Jawa, Nusa Tenggara, Sumatra, Papua.

Di Kalimantan, lanjo di antaranya dibangun di Sungai Petikah, Kalimantan Barat, di Balikpapan, Kalimanan Timur dan di Tarakan, Kalimantan Utara.

Sebagai proyek percontohan, militer Jepang membuat kebijakan membangun Ianjo yang berisi perempuan-perempuan ”bersih”.

Fasilitas tersebut dibangun di berbagai tempat di Asia yang telah diinvasi Jepang seperti China, Korea Utara, Korea Selatan, Taiwan, Filipina, Malaysia, Indonesia, dan Timor Leste.

Akibat kebijakan tersebut 200 ribu lebih perempuan di kawasan Asia dikorbankan sebagai budak seks untuk memuaskan kebutuhan seksual militer Jepang.

Peristiwa mandor

Bab VI, berjudul: Pembantaian Massal di Mandor. Di sini mengulas sisi lain kekejaman militer Jepang selama menjajah Indonesia. Selama penjajahan Jepang di Provinsi Kalimantan Barat, 1942 – 1945, ada pembantaian 21.037 jiwa penduduk di Desa Mandor, Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak.

Sebanyak 21.037 jiwa kaum terpelajar dan pejabat kerajaan, diangkut dan kemudian dieksekusi mati di Desa Mandor.

Kemudian di bab VII, berjudul: Larangan Tataniaga Batu Cinnabar. Di sini mengulas landasan hukum Pemerintah Indonesia, untuk melarang tataniaga dan penambangan batu cinnabar atau batu tungau, karena mengandung logam mercuri dan sebagai bahan baku detonator.

Larangan tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2017, tentang Rafitikasi Konvensi Minamata pada 10 Desember 2013, berupa larangan tataniaga mercuri atau larangan menjual jenis mineral yang mengandung logam mercuri seperti batu cinabar.

Tanggungjawab pemerintah

Bab VIII, berjudul: Tanggungjawab Pemerintah Daerah. Dari uraian di bangian pengantar, dan isi bab I – VIII, maka rekomendasi yang diharapkan ditindaklanjuti Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu dan Provinsi Kalimantan Barat, sebaga berikut:

Pertama, telah terjadi tindak kejahatan kemanusiaan berupa pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) yang cukup serius di Sungai Petikah, 1942 – 1945.

Kedua, Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kapuas Hulu, bisa bersinergi, demi terwujudnya rasa keadilan hukum dan kemanusiaan bagi masyarakat.

Agar lebih intens melakukan langkah lebih lanjut kepada Pemerintah Pusat lewat Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, untuk mengajukan tuntutan ganti rugi kepada Pemerintah Jepang.

Ketiga, DPRD Kabupaten Kapuas Hulu, agar mendorong Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, untuk mengumpulkan data pendukung di dalam mengajukan tuntutan ganti rugi kepada Pemerintah Jepang.

Keempat, memperhatikan teologi adikodrati atau teologi naturalis alamiah, dimana ditegaskan, seseorang mengenal Tuhan dengan akal dan budinya, seiring sering didengar berbagai suara aneh pada malam hari yang mengilustrasikan berbagai bentuk tindak kejahatan kemanusiaan di lakukan Jepang periode 1942 – 1945, maka kawasan Sungai Petikah, perlu ditetapkan menjadi Kawasan Pariwisata Sejarah Berbasis dan Religi Suku Dayak.

Kelima, Kawasan Pariwisata Sejarah Berbasis Religi Suku Dayak, dengan dengan mengajukan permohonan penetapan menjadi Hutan Desa atau Hutan Adat kepada Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesa, lewat Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat.

Keenam, DPRD Kabupaten Kapuas Hulu dapat mendorong Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, untuk merevisi tataruang dengan mengeluarkan rencana Kawasan Pariwisata Sejarah Berbasis Religi Suku Dayak di Sungai Petikah hingga lereng Bukit Pesinduk dan Bukit Tuan dari peruntukan kawasan ekonomi nonkonservasi.

Sungai Penongon

Ini perlu dilakukan, mengingat wilayah Desa Nanga Dua dan Desa Nanga Payang, dimana termasuk di dalam areal Sungai Petikah, sudah menjadi konsesi eksploitasi perusahaan pertambangan emas atas nama PT Borneo Mandiri Mineral dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, selama 20 (dua puluh) tahun terhitung 26 Nopember 2016 – 26 Nopember 2036.

Ketujuh, Pemerintah Desa Nanga Dua, Pemerintah Kecamatan Bunut Hulu dan Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu, harus menjamin tidak boleh menjadikan rencana lahan Kawasan Pariwisata Sejarah Berbasis dan Religi Suku Dayak di Sungai Petikah menjadi milik pribadi atau instansi manapun yang akan menjadikan wilayah itu sebagai lokasi kegiatan ekonomi nonkonservasi.

Kedelapan, Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu, dapat menetapkan Hari Berkabung Daerah untuk mengenang tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi selama penjajahan Jepang di Sungai Petikah, 1942 – 1945.

Kesembilan, Pemerintah Desa Nanga Dua dan Pemerintah Kecamatan Bunut Hulu, perlu mengajukan permohonan penetapan kawasan Ayar Basuah sebagai Pariwisata Ayar Basuah di Desa Nanga Dua.

Mengingat, semasa penjajahan Jepang, 1942 – 1945, Kawasan Ayar Basuah, sebagai tempat peristirahan dan permandian di lokasi sumber air panas seluas 50 (lima puluh) hektar. (Aju)