PONTIANAK (Independensi.com) – Ketua Bidang Peradilan Adat dan Hukum Adat Majelis Hakim Adat Dayak Nasional (MHADN), Tobias Ranggie, menegaskan, seorang Hakim Adat Dayak yang disebut Temenggung di Provinsi Kalimantan Barat, Damang di Provinsi Kalimantan Tengah, Pemanca di Negara Bagian Sarawak, dan Anak Negeri di Negara Bagian Sabah, Federasi Malaysia, pada masanya, sebagai Utusan Tuhan di Tanah Dayak.
Di Pulau Borneo atau Pulau Dayak, menurut Tobias Ranggie, sebelum negara Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam lahir, seorang Hakim Adat Dayak, memiliki empat fungsi sekaligus, yaitu Pewarta Agama Dayak, Panglima Perang, Kepala Wilayah dan Hakim Adat yang memutuskan berbagai sengketa perdata dan pidana di wilayah adatnya.
“Pada masanya, putusan Hakim Adat Dayak, bersifat final dan mengikat. Hakim Adat dikatakan sebagai Utusan Tuhan di Tanah Dayak, karena pada masanya, fungsinya sebagai pewarta Agama Dayak yang bersumber doktrin: legenda suci Dayak, mitos suci Dayak, adat istiadat Dayak dan hukum adat Dayak,” kata Tobias Ranggie, Kamis, 5 Desember 2019.
Karena itulah, menurut Tobias Ranggie, MHADN, menjamin independensi para Hakim Adat Dayak di wilayah Indonesia.
MHADN merupakan sebuah lembaga yudikatif di lingkungan internal Suku Dayak di Indonesia, dengan salah satu tugasnya meregistrasi para Hakim Adat Dayak yang sudah mengantongi legitimasi dari komunitas adat Suku Dayak di daerahnya.
MHADN, nantinya akan melakukan kerjasama dengan Mahkamah Agung Republik Indonesia, untuk meningkatkan kapasitas para Hakim Adat Dayak. Karena di dalam struktur Mahkamah Agung Republik Indonesia, di dalamnya ada bagian Peradilan Adat.
Ketua Dewan Pertimbangan MAHDN, Cornelius Kimha, di tempat terpisah, menegaskan, salah satu skala prioritas MHADN, mendorong para Hakim Adat melakukan pendataan situs pemukiman dan situs pemujaan, karena hutan bagi Suku Dayak, sebagai simbol dan sumber peradaban.
“Tujuannya agar tidak ada lagi praktik peradilan adat jalanan, premanisme berbaju hakim adat Dayak. Sejumlah pihak yang terbukti menggelar peradilan adat, tapi tidak memiliki kapasitas sebagai Hakim Adat Dayak, wajib dihukum adat kembali, karena membuktikan sebagai manusia Dayak tidak beradat,” kata Tobias Ranggie.
Peradilan adat
Demikian pula, menurut Tobias Ranggie, para Hakim Adat yang terbukti menggelar peradilan adat di luar yurisdiksinya, maka wajib pula dihukum adat, karena hakekat Hukum Adat Dayak, menjamin terwujudnya manusia Suku Dayak beradat, yaitu berdamai dan serasi dengan leluhur, berdamai dan serasi dengan alam semesta, berdamai dan serasi dengan sesama, serta berdamai dan serasi dengan negara.
Menurut Tobias Ranggie, pesan yang sama juga disampaikan Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji saat beraudensi dengan sejumlah pengurus harian MHADN di Pontianak, Rabu siang, 21 Nopember 2019.
MHADN adalah penamaan institusi peradilan adat di Indonesia, dan ditingkat internasional dinamai International Dayak Justice Council (IDJC).
Keberadaan IDJC dan MHADN, didasarkan, Musyarawah Besar Timanggong Kalimantan Barat yang digelar Dewan Adat Dayak Provinsi Kalimantan Barat, menghasilkan “Pedoman Peradilan Adat Dayak dan (Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) Timanggong/Kepala Adat atau Sebutan Lainnya Se Kalimantan Barat”, yang diselenggarakan di Wisma Nusantara, Pontianak, 24 – 28 Juli 2008.
Kemudian, Seminar Nasional: “Hutan Adat, Tanah Adat, Identitas Lokal dalam Integrasi Nasional”, yang diselenggarakan Pekan Gawai Dayak Provinsi Kalimantan Barat ke-XXXII Tahun 2017 di Rumah Radakng, Pontianak, Senin, 22 Mei 2017, dengan rekomendasi sebagai berikut.
Rekomendasi pada point 4, “Pihak yang berwenang menggelar ritual adat dan memutuskan hukuman adat dalam forum peradilan adat, adalah Hakim Adat (Temenggung, Tumenggung, Tomakung, Damang) setempat yang sebelumnya telah mengantongi legitimasi dari masyarakat adat yang dipilih secara musyawarah dan demokratis, dengan syarat menguasai adat-istiadat dan integritas moral yang sudah teruji.”
Rekomendasi pada point 5, “Putusan hukum adat dinyatakan tidak sah, apabila digelar personil hakim adat di luar yurisdiksinya, dan pelakunya dapat diproses secara hukum adat dan atau hukum negara.”
Rekomendasi pada point 6, “Pengurus Dewan Adat Dayak (DAD) Kabupaten, Kota dan Provinsi Kalimantan Barat, hanya bersifat meregistrasi hakim adat yang mengantongi legitimasi dari masyarakat setempat, serta tidak memiliki kewenangan apapun untuk menggelar peradilan adat dan atau mengangkat para hakim adat.”
Rekomendasi pada point 7, “Kendati demikian, DAD Kabupaten, Kota dan Provinsi Kalimantan Barat, harus menjadi motor penggerak membangkitkan budaya literasi di kalangan komunitas adat, dengan mendokumentasikan dalam bentuk buku melalui beberapa bentuk penyesuaian konstruktif, tentang tata cara peradilan adat, agar terjadi alih pemahaman tentang adat istiadat dari masyarakat adat setempat.”
Rekomendasi pada point 8, “Hakim adat dalam memutuskan suatu perkara agar Ketua Adat bersama anggota Hakim Adat bertindak adil dan berasaskan keputusan, sanksi adat harus sesuai dengan ketentuan dalam Hukum Adatnya (tidak melebihkan atau mengurangi sanksi adat), bersifat mendidik agar sadar bahwa yang bersangkutan bersalah dan tidak mengulangi perbuatannya lagi atau tidak melakukan perbuatan pelanggaran adat lainnya.”
“Dengan demikian, keputusan Ketua Hakim Adat dapat diterima oleh kedua pihak yang bersengketa dan rukun kembali, dan pada akhirnya keseimbangan dalam kehidupan masyarakat yang terganggu, menjadi pulih kembali.”
Rekomendasi pada point 9, “Dalam perlindungan hukum masyarakat adat memerlukan peningkatan peranan hakim yang mampu memahami rasa keadilan masyarakat setempat, sekalipun putusan perkaranya menimbulkan perbedaan antara satu dengan masyarakat hukum yang lain.”
Materi dua rekomendasi seminar pada point 19 dan 20, Pekan Gawai Dayak Provinsi Kalimantan Barat ke-XXXII Tahun 2017 di Pontianak, Senin, 22 Mei 2017, menenegaskan implikasi vonis hakim adat dan urgensi keberadaan produk politik untuk memayungi kelembagaan adat.
Rekomendasi point 19, “Dalam menyelesaikan permasalahan perdata dan pidana, mestilah terlebih dahulu mengutamakan aspek kearifan lokal berbasiskan hukum adat, penggunaan hukum negara dilihat sebagai upaya “ultimum remidium”, upaya hukum terakhir. Sengketa perdata dan pidana yang sudah diselesaikan berdasarkan kearifan lokal, sifatnya final dan mengikat, sehingga tidak boleh lagi dilanjutkan sesuai hukum negara.”
Hutan Cagar Adat
Rekomendasi point 20, menurut Tobias Rangie, “Kompilasi hukum adat dalam proses legislasi dalam bentuk Peraturan Daerah dan penguatan fungsionaris adat serta kelembagaan adat.”
Rekomendasi point 28, “Situs pemukiman (bekas pemukiman kuno) dan situs pemujaan (tempat menggelar ritual adat) sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, tentang Kehutanan, harus ditetapkan menjadi Hutan Cagar Adat Dayak.”
“Apabila kawasan situs pemukiman dan pemujaan dimaksud telah dijadikan kegiatan ekonomi non Konservasi, maka sehabis satu siklus tanam dan atau setelah izinnya habis, tidak diperbolehkan diperpanjang, karena secara otomatis kembali dimiliki Suku Dayak untuk menjadi Hutan Cagar Adat dan menjadi hak kolektif masyarakat adat.”
Temenggung International Conference (TIC) di Sintang, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia, difasilitasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Sintang Tahun Anggaran 2018 pada 28 – 30 November 2018, ditindaklanjuti International Dayak Justice Congress di Hotel Perkasa, Distrik Keningau, Negara Bagian Sabah, Federasi Malaysia, 14 – 16 Juni 2019, membentuk International Dayak Justice Council (IDJC) atau Majelis Hakim Adat Dayak Dunia; dan di Indonesia dinamakan Majelis Hakim Adat Dayak Nasional (MHADN).
“Masyarakat Dayak dunia di Pulau Dayak harus mampu berinteraksi dengan masyarakat dunia dalam perababan; sosial, ekonomi, politik dan berkebudayaan; Dayak Dunia merasakan dampak eksploitasi Sumber Daya Alam yang merusak ekosistem dan ekologi serta terjadinya diskriminasi terhadap Dayak,” ujar Tobias Ranggie.
Di samping itu, lanjut Tobias, menyelamatkan dampak buruk deforestasi dan mengembalikan fungsi Pulau Borneo sebagai paru-paru dunia, dengan meluncurkan Program Heart of Borneo (HoB), sebagai bentuk dukungan terhadap program global untuk membatasi kenaikan suhu global di bawah dua derajat celcius.
Diungkapkan Tobias, ada dua produk putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, sebagai jaminan keberadaan masyarakat Adat Dayak, yaitu keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK-RI) Nomor 35-PUU-XI/2012, tanggal 16 Mei 2013, tentang Hutan Adat menyatakan bahwa Hutan Adat milik Masyarakat Adat setempat; dan putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK-RI) Nomor 97-PUU-XIV/2016, tanggal 7 November 2017, tentang pengakuan aliran kepercayaan yang dimaknai pula pengakuan terhadap agama asli Suku Dayak.
Keberadaan masyarakat Adat Dayak dijamin pula di di dalam Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dimana ayat (1), menyebut, Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang.
Kemudian, ayat (2) menyebut, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Di samping itu, lanjut Tobias, Deklarasi Hak-hak Masyarakat Adat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 61/295, tanggal 13 September 2007, sebanyak 46 pasal, di antaranya masyarakat adat berhak menjaga indentitas budayanya, berhak mempertahankan tanah adat dan berhak menentukan haluan politiknya. (Aju)