JAKARTA (IndependensI.com)- Kelanjutan layanan kartu sehat (KS) berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) produk Pemerintah Kota Bekasi, sempat polemik. Wali Kota Bekasi, Rahmat Effendi, mengeluarkan surat edaran bahwa terhitung mulai Januari 2020, kartu KS, tidak berlaku lagi sementara karena sudah ada BPJS.
Terkait hal itu, Rahmat Effendi dipanggil secara khusus oleh Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (26/12/2019).
Wali hadir bersama Kepala Dinas Kesehatan Tanti Rohilawaty, Kepala BAPPEDA, Dinar Faisal, Inspektur Widodo Indrijantoro, Kepala Dinas Sosial, Ahmad Yani, Direktur RSUD Chasbulah Abdulmajid, Kusnanto Saidi Staf ahli Wali Kota Bidang Keuangan dan SDM, Dwi Andaryanie, Kepala DISKOMINFO, Encu Hermana dan Kepala Bagian Hukum, Diah.
Pertemuan tersebut untuk membahas kelanjutan program Kartu Sehat berbasis NIK yang menjadi berita hangat di Kota Bekasi, dan menjadi polemik karena isu penghentian layanan kesehatan masyarakat berbasis NIK.
Wali Kota menjelaskan bahwa program tersebut yang setara dengan layanan kesehatan kelas tiga, menjadi program unggulan untuk warga Kota Bekasi, karena warga yang membutuhkan sangat tertolong dengan adanya layanan kesehatan masyarakat tersebut berbasis biaya yang disiapkan oleh APBD Pemerintah Kota Bekasi.
Dengan adanya Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 mengenai Jaminan Kesehatan Masyarakat penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Daerah, harus di integrasikan dengan Jaminan Kesehatan Nasional yang di kelola BPJS Kesehatan.
“Kami berusaha memperjuangkan program kesehatan ini pada 2020 dapat tetap berjalan dan legal baik secara yuridis maupum de facto,” ujar Rahmat..
Dilatakan, jika di integrasikan ke BPJS Kesehatan, maka sakit maupun tidak sakit, Pemerintah Kota Bekasi harus membayar iuran selama satu tahun kurang lebih sebesar Rp. 996 miliar, dan apabila dikelola sendiri oleh Dinas Kesehatan Kota Bekasi dengan kerjasama rumah ssakit swasta dihitung selama satu tahun kurang lebih sekitar Rp 380 miliar.
Dengan perhitungan dan pertimbangan secara realitas jika di integrasikan Kota Bekasi sangat keberatan karena dengan uang kurang dari Rp 500 miliar dapat digunakan untuk membangun Puskesmas, Rumah Sakit dan sarana prasarana pelayanan lainnya.
Layanan kesehatan masyarakat berbasis NIK pembayaran secara inacibijis dan insidential, dan tidak dipersulit oleh rumah sakit yang bekerjasama, serta masyarakat tidak dibebankan iuran perbulannya.
Mendengar pernyataan dari Wali Kota Bekasi, Moeldoko selaku KSP juga menyayangkan BPJS tidak bisa seperti program kesehatan yang ada di Kota Bekasi. Maka, dari hasil pertemuan akan di rapatkan ke dalam rapat Mlmenteri khusus pembahasan tentang Perpres 82, dan Kota Bekasi akan diberikan hasilnya.
Rahmat berharap tahun 2020 Kota Bekasi diberikan kewenangan untuk mengelola kesehatan sendiri, dan jika diberikan kewenangan oleh Pemerintah Pusat maka Pemerintah Kota Bekasi dapat membangun rumah sakit tipe D lagi sebanyak tiga unit dengan anggaran APBD Pemerintah Kota Bekasi
Sebelumnya, Pemkot Bekasi telah memperjuangkan keberlangsungan program KS NIK ini melalui konsultasi dengan Gubernur Jabar, Kementerian Hukum dan HAM, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi IX DPR, Kementerian Kesehatan, Kemendagri, dan BPJS Kesehatan. Langkah ‘judicial review’ juga ditempuh ke Mahkamah Konstitusi.
“Kami akan terus berjuang untuk program layanan kesehatan masyarakat berbasis NIK di tahun 2020, semoga hasil rapat menteri nanti bisa memuaskan hasilnya, dan kami dapat dukungan untuk melanjutkan program kesehatan tersebut,” ujar Rahmat. (jonder sihotang)