Peter John Jaban Foto: Istimewa

Dayak Kecam Islamisasi Malaysia di Sabah dan Sarawak

Loading

KUCHING (Independensi.com) – Budayawan Suku Dayak di Kuching, Ibu Kota Negara Bagian Sarawak, Peter Jaban (56 tahun), mengecam tindakan terstruktur dan masif praktik islamisasi di kalangan Suku Dayak di Negara Bagian Sarawak dan Negara Bagian Sabah dari Federasi Malaysia.

“Langkah pemaksaan kehendak supaya orang Dayak masuk Agama Islam, telah menimbulkan konflik sangat sensitif di kalangan Suku Dayak di Sabah dan Sarawak. Kondisi itu sewaktu-waktu bisa menumbuhkan semangat merdeka, memisahkan diri dari Federasi Malaysia,” kata Peter Jaban di Kuching, Jumat, 4 Januari 2020.

Menurut Peter Jaban, ada perbedaan pelayanan pemerintah terhadap Suku Dayak yang sudah memeluk Agama Islam, dengan Suku Dayak yang tidak ingin masuk Agama Islam.

Di Negara Bagian Sarawak, orang Dayak yang sudah memeluk Agama Islam, diberi kepercayaan penuh di dalam memobilisasi masyarakat Suku Dayak dalam hal-hal tertentu.

Di antaranya diberi kepercayaan di dalam mengatur subsidi rutin dari Pemerintah Negara Bagian Sarawak dalam ritme kehidupan masyarakat Suku Dayak yang hidup di rumah betang, yaitu rumah memanjang tiang panggung.

Di Negara Bagan Sabah, menurut Peter Jaban, pihak imigrasi Federasi Malaysia, melakukan pembiaran terhadap pendatang illegal beragama Islam dari Sulu, Mindanaw, Filipina. Mereka malah diberi legalitas, agar memenangkan partai politik berhaluan Islam. Hal itu dilakukan untuk meredam dominasi kalangan politisi Suku Dayak yang bukan beragama Islam.

“Hal ini sudah berkali-kali diprotes, tapi tidak diindahkan. Belum lagi sistem bagi hasil hasil pertambangan minyak bumi yang melanggar perjanjian saat Sabah dan Sarawak bergabung dengan Federasi Malaysia terhitung 16 September 1963,” ujar Peter Jaban.

Diungkapkan Peter Jaban, di era keterbukaan sekarang, praktik Islamisasi di Sabah dan Sarawak, akan membuka mata kalangan Suku Dayak untuk segera meninjau kembali untung dan ruginya untuk tetap bergabung dengan Federasi Malaysia.

“Belum lagi bicara masalah hak-hak masyarakat Dayak terhadap tanah adat yang sama sekali tidak dipedulikan lagi. Setiap tanah adat kalangan Suku Dayak diambil begitu saja, tanpa ada proses negosiasi dan tanpa ada proses ganti rugi,” ungkap Peter Jaban.

Peter Jaban mengingatkan Pemerintah Federasi Malaysia untuk menghargai hak-hak penduduk Suku Dayak sebagai penduduk asal atau penduduk asli sebagaimana Deklarasi Hak-hak Masyarakat Adat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 61/295, tanggal 13 September 2007.

Dimana dari 46 pasal, di antaranya menggariskan, masyarakat adat, termasuk Suku Dayak, berhak mempertahankan identitas budayanya. Juga berhak mempertahankan tanah adat dan berhak menentukan haluan politiknya.

Pemerintah Federasi Malaysia, melakukan langkah represif di dalam membendung berbagai bentuk kekhawatiran masyarakat di Sabah dan Sarawak.

Perdana Menteri Mahathir Mohamad menuding asosiasi sekolah Cina di Malaysia yang menolak mata pelajaran kaligrafi khat dianggap memicu sentimen rasial.

Menurut Mahathir, Aosiasi Komite Sekolah Cina Bersatu Malaysia yang memicu sentimen rasial dapat dikenai hukuman.

“Ini melawan hukum. Kita memiliki kebebasan berbicara, namun kita selalu sensitif mengenai hasutan orang untuk saling bertengkar,” kata Mahathir seperti dikutip dari The Star dan Channel Mews Asia, 13 Agustus 2019.

Mahathir mengatakan, asosiasi sekolah Cina yang disebutnya sebagai Dong Zong hanya berbicara tentang satu komunitas, sehingga lupa bahwa Malaysia multi rasial.

“Ini polisi yang memutuskan (apakah melarang Dong Zon beroperasi),” kata Mahathir.

Menurut Mahathir, ini bukan pertama kali asosiasi sekolah Cina menolak kebijakan pemerintah. Asosasi ini, ujarnya, tidak pernah sepakat dengan kebijakan pendidikan nasional termasuk kaligrafi khat.

Dong Zong, ujar Mahathir, juga menolak mendirikan kampus dengan mahasiswa dari berbagai ras.

“Dong Zong rasis, kami mendirikan kampus di Sekolah Visi untuk menempatkan Sekolah Jenis Kebangsaan Cina, Tamil dan sekolah kebangsaan di satu kampus, tetapi mereka menentangnya,” ujar Mahathir.

Kelompok hak-hak Melayu mengeluarkan petisi online menuntut Asosiasi Komite Sekolah Cina Bersatu dilarang beroperasi karena menolak mengajarkan kaligrafi kat kepada murid mereka.

Asosiasi Sekolah Cina membantah keras tudingan rasis yang disuarakan Mahathir.

Penolakan mata pelajaran kaligrafi khat, ujar asosiasi itu dalam pernyataannya Selasa malam, 13 Agustus 2019, disuarakan oleh komunitas non-Muslim di seluruh peninsula, Sabah, dan Sarawak. Kenyataannya, tidak semua orang Melayu setuju dengan inisiatif ini.

Asosiasi dan sejumlah tokoh berpengaruh Malaysia menyarankan agar mata pelajaran kaligrafi khat ini menjadi mata pelajaran pilihan, bukan wajib.

Mengenai kekhawatiran Islamisasi, asosiasi ini merujuk pernyataan Islamic Da’wah Foundation’s, YADIM, Nik Omar Nik Abdul Aziz, yang mengatakan mempelajari kaligrafi khat memudahkan generasi muda mempelajari Quran.

Asosiasi sekolah Cina dan Tamil lebih dulu mengeluarkan pernyataan bersama menolak mata pelajaran kaligrafi khat kepada murid mereka.

Mereka mempertanyakan alasan di balik memperkenalkan kaligrafi khat yang biasanya dikaitkan dengan Islam, karena tidak akan membantu para pelajar meningkatkan keterampilan mereka berbahasa Melayu, sebagaimana dikutip Tempo.co.

Protes direspons Kementerian Pendidikan Malaysia pada awal Agustus ini dengan mengeluarkan keputusan bahwa mata pelajaran kaligrafi khat hanya untuk pelajar tahun ke empat yang dimulai tahun depan.

Tahun 1945, delegasi Sabah dan Sarawak pernah menemui Presiden Indonesia, Soekarno, untuk menyatakan keinginan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tapi keinginan itu, ditolak Presiden Indonesia, Soekarno, karena Sabah dan Sarawak, memang dipersiapkan untuk menjadi dua negara yang berdiri sendiri, dan tidak boleh bergabung dengan Federasi Malaysia di Kuala Lumpur.

Ketika Sabah dan Sabah diputuskan British (Inggris) bergabung dengan Federasi Malaysia, Presiden Indonesia, Soekarno, marah, dan memutuskan menyatakan perang dengan kepentingan Inggris di Sabah dan Sarawak sejak tahun 1963.

Konfrontrasi terhenti setelah terjadinya pergantian kepemimpinan nasional di Indonesia dari Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto pada 1 Juli 1966. Perdamaian Indonesia dan Malaysia ditandatangani di Jakarta, 11 Agustus 1966. (Aju)