Independensi.com – Beberapa hari terakhir ini di awal tahun baru 2020 ini, berbagai persoalan menerpa bangsa kita, terutama tergenangnya ibukota dan sekitarnya serta daerah-daerah lain. Kemudian, adanya nelayan China di perairan utara Natuna dan berita menggemparkan dunia, predator seksual terbesar di Inggris.
Selain banjir bandang, ada juga banjir yang melanda perusahaan asuransi BUMN yakni Asuransi Jiwasraya yang mengalami kerugian akibat salah kelola kurang lebih Rp 13,4 triliun. Supaya bisa beroperasi normal kembali perusahaan asuransi plat merah itu butuh dana Rp. 32, 2 triliun. Kasus asuransi Jiwasraya ini sudah cukup lama tapi selama ini ditutup-tutupi dan baru terbongkar jelang akhir 2019 lalu.
Menyusul terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK. Seorang komisioner Komisi Pemilihan Umum Wahyu Setiawan dan tiga orang lainnya ditangkap KPK karena kasus suap. Kasus suap itu terkait dengan mengupayakan agar Harun Masiku mengisi kursi Anggota DPR RI Pengganti Antar Waktu. Padahal, kursi itu telah diisi oleh orang yang memiliki suara terbanyak setelah anggota yang seharusnya duduk meninggal. Sebelum meng-OTT Wahyu Setiawan, KPK juga telah menjerat Bupati Sidoardjo Saiful Illah.
Kembali ke masalah banjir Ibukota, sebenarnya tidak perlu menjadi polemik “debat kusir”, kalau semua jujur pada diri sendiri, tidak perlu berkelit. Tokh hujan bukan urusan manusia, akan tetapi dengan tidak adanya ke-peka-an penanggung jawabnya menjadi bumerang.
Apa yang kita hadapi sekarang adalah warisan dari pendahulu kita, selain mewarisi keindahan tentu juga ada keburukan kepemimpinan masa lalu. Nah, untuk itulah perlu upaya pembenahan, dan pembenahan tersebutlah yang kurang diperhatikan pemerintah daerah sekarang. Kasus bencana memang tidak hanya terjadi Ibukota, tetapi juga daerah lain yang hutannya gundul dan gunungnya dibongkar para penambang legal maupun illegal.
Sementar itu, tentang nelayan China yang memasuki perairan Natuna, jelas wilayah kedaulatan NKRI harus dipertahankan. Oleh karena itu, para pelanggar harus ditangkap dan diadili sesuai dengan hukum yang berlaku.
Kalau ada yang mau mencoba-coba melanggar ke wilayah kedaulatan NKRI, tinggal diusir. Tetapi, kita sebagai bangsa selalu ribut dan menyalahkan sesamanya bahkan mengusulkan mencopot pejabat yang bertanggungjawab. Mudah-mudahan hari esok kita sebagai anak bangsa semakin dewasa dalam menanggapi setiap persoalan.
Berita terakhir adalah masalah pemberantasan korupsi, di mana komisioner KPU di-OTT KPK. Dalam keterangannya kepada pers, Lili Pintauli Siregar yang didampingi Ketua KPU Arif Budiman mengatakan keterlibatan Wahyu tersebut merupakan bentuk penghianatan terhadap demokrasi. “Persekongkolan antara oknum penyelenggara pemilu dengan politisi dapat disebut sebagai penghianatan terhadap demokrasi yang telah dibangun susah payah dan biaya yang sangat mahal”.
Harus kita apresiasi langkah dan kebijakan yang diambuil oleh KPK dalam meng-OTT komisioner KPU tersebut Sebab kalau hal-hal seperti itu berlangsung, tidak ada artinya pemilu dan bangsa ini akan dipimpin oleh koruptor-koruptor.
Kejadian tersebut mudah-mudahan mampu membuka mata hati kita dalam memilih tokoh-tokoh lima tahunan, terutama mereka yang akan duduk di komisi-komisi negara, agar tidak masuk dalam kategori manusia seperti “musang-musang berbulu ayam”.
Apalagi para Panitia Seleksi termasuk organisasi supaya mau dan mampu mencegah anggotanya yang integritasnya diragukan untuk tidak masuk ke jajaran pengambil kebijakan dalam penyelenggaraan negara. Isme-isme yang diduga sering mempengaruhi pemberian dukungan dan pemilihan angggota-anggota Komisi sudah selayaknya ditinggalkan. Agar bangsa ini benar-benar terpelihara oleh orang-orang yang memiliki etika dan moral serta setia pada sumpah jabatannya.
Kalau KPK melalui komisioner Lili Pintauli Siregar mengumandangkan istilah “penghiantan terhadap demokrasi”, istilah itu juga perlu diterapkan kepada para “perusak” PT Asuransi Jiwasraya (Persero) sebagai “penghianatan terhadap keuangan”. Demikian pula kepada para penambang yang merusak hutan dan lingkungan sebagai “penghianatan terhadap kemanusiaan”, dan kejahatan-kejahatan lainnya sebagai penghianatan terhadap NKRI.
Yang ingin kita ingatkan adalah bahwa selama ini kita sering mendasarkan kerugian negara atau keuangan negara dengan nilai nominal saja. Pada hal akibat dari suatu tindakan seperti “penghianatan terhadap demokrasi” nilai nominalnya hanya Rp. 850 juta tidak bisa dihitung. Karena taruhannya adalah kepercayaan masyarakat terhadap pemilihan legislatif, KPU, PDI-P dan Bawaslu.
Upaya memulihkan kredibilitas KPU, Bawaslu, partai yang terbawa-bawa akan memakan waktu. Oleh karena itu, semua pihak harus sadar diri dan berupaya mempertahankan kredibilitas masing-masing.
Kiranya, keterangan Lili Pintauli Siregar itu juga menyadarkan para hakim dalam memutus perkara bahwa kerugian itu, tidak hanya nilai nominal tetapi juga kerugian immaterial, dan sesuai kesalahannya, ijinnya dicabut, tidak hanya didenda ringan, tetapi lebih dari itu. Sebab, kerugian atau efek buruk yang ditimbulkan sesungguhnya tidak bisa dihitung. (Bch)