JAKARTA (Independensi.com)
Pengacara tersangka Patrick Toar Pelenkahu (Manajer Operasi Kapal MV Seniha-S) meminta Kejaksaan Agung melalui JAM Pidum selaku penuntut umum untuk hati-hati menangani kasus pidana kliennya yang dituduh penyidik Tipiter Bareskrim Polri melanggar pasal 264 dan 266 KUHP karena melakukan pemalsuan izin pelabuhan dan perubahan nama kapal Panama MN Seniha-S.
“Bahkan jika perlu Kejagung menolak berkas perkara pidana klien kami sebagaimana yang pernah kami sampaikan dalam surat kepada JAM Pidum,” kata Niko Nixon Situmorang pengacara Patrick kepada wartawan di Jakarta, Jumat (10/01/2020).
Niko beralasan selain kurang bukti, pihak pelapor Ronald Umbas bukan korban. “Dia hanya wakil atau penerima kuasa berdasarkan surat kuasa yang juga diduga palsu dari Roy Bawole yang mengaku korban, untuk dapat melaporkan klien kami kepada pihak kepolisian, ” tutur Niko.
Selain itu, ungkap Niko, status Roy Bawole sendiri adalah buronan dan masuk DPO penyidik Tipidum Bareskrim Polri setelah berstatus tersangka pemalsuan dokumen atas laporan Mustafa pemilik sah kapal MV Seniha yang juga kliennya.
Disebutkannya bahwa Mustafa melaporkan Roy Bawole bersama Frans Tiwow kepada Mabes Polri karena keduanya diduga memalsukan surat kuasa tertanggal 23 September 2015 yang digunakan sebagai dasar menguasai kapal MN Seniha yang sedang doking di Batam, Kepulauan Riau.
Oleh karena itu,tegas Niko, untuk mencari tahu apakah kliennya melakukan kejahatan seperti disangkakan, pihak kepolisian harus memanggil dan meminta keterangan dari pemilik sah kapal yaitu Mustafa Er warga negara Turki.
Begitupun, tuturnya, harus dipanggil juga Roy Bawole yang mengaku menjadi korban berdasarkan Laporan Polisi No. LP / B / 15121XU2018 / Investigasi Kriminal pada 19 November 2018 sebagaimana dilaporkan pelapor Ronal Umbas.
“Karena sepengetahuan kami, baik Mustafa dan Roy Bawole belum pernah diperiksa penyidik,” kata Niko yang juga mempertanyakan keabsahan Ronald Umbas sebagai pelapor karena tidak terlibat langsung dan hanya penerima kuasa untuk membuat laporan kepada polisi.
Dia juga heran mengapa kasus kliennya ditangani penyidik Tipiter bukan Tipidium Bareskrim Polri. “Kami melihat adanya dugaan penyalahgunaan kekuasaan yang sangat jelas serta manipulasi hukum disini.”
Sementara terkait sangkaan kliennya telah melakukan pemalsuan izin pelabuhan, Niko menegaskan kalau hal tersebut tidak benar sama sekali.
Sedang menyangkut perubahan nama kapal dari MV Seniha menjadi MV Neha, dia menegaskan kliennya Patrick adalah perwakilan sah pemilik kapal. “Karena itu klien kami bisa melakukan apa saja selama sesuai dengan peraturan maritim yang berlaku, dan kapal itu tidak ditahan,” tuturnya.
Ditambahkannya secara keseluruhan kasus MV Seniha masih di Mahkamah Agung dan menunggu keadilan untuk ditegakkan karena hal ini akan berpengaruh pada citra Indonesia dimata international.(muj)