JAKARTA (Independensi.com) – Salah satu tantangan menjaga lahan pangan berkelanjutan adalah fakta bahwa ada nilai pada tiap sebidang tanah. Hal itu disampaikan Lala M. Kolopaking, Pakar Studi Pembangunan Institut Pertanian Bogor,(17/1) di Gedung Pusat Informasi Agribisnis Kementerian Pertanian.
“Katakanlah kalau tanah itu berada di kota, kemudian produksi pertanian-nya tidak memiliki nilai bisnis, untuk membayar pajak lahan saja tidak cukup, sementara NJOP setiap tahun naik, maka meskipun ada peraturan larangan mengalihfungsikan, petani terpaksa menjual karena mereka tidak mampu hidup dari situ,” kata Lala.
Oleh karenanya, ketegasan Pemerintah Daerah menurut Lala M. Kolopaking yang juga pernah menjabat sebagai Kepala Program Studi Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB sangat dinantikan sebagai bentuk keberpihakan dan dukungan terhadap konservasi lahan dengan cara melibatkan petani dengan bisnisnya agar menjaga nilai ekonomi lahan-nya cukup.
Akademisi yang pernah menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Bidang Ekonomi Sosial Budaya ini menuturkan bahwa berdasarkan hasil riset yang dilakukannya di Kota Sukabumi, ada 45 hektar lahan sawah tetap berproduksi meskipun berada di tengah-tengah kota.
“Pemkot Sukabumi memiliki passion, mereka tahu, lahan sawah itu adalah sesuatu hal penting. Bukan semata mempertahankannya menjadi lahan pangan berkelanjutan tapi bagaimana menjaga dan menambah nilai-nya. Sawah itu tetap berproduksi, dipetakan pemiliknya tetapi diberi nilai ekonomi lebih, seperti dengan menjadikan wisata sawah di tengah kota. Jadi ada nilai tambah dengan tetap melibatkan petani tentunya,” ujar Lala.
Seperti diketahui, laju alih fungsi lahan pangan khususnya sawah menjadi non sawah setiap tahun begitu cepat meningkat sehingga berpotensi dapat mempengaruhi produksi padi nasional dan mengancam ketahanan pangan nasional.
Untuk itu, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo bergerak cepat, berkoordinasi dengan berbagai pihak. Bahkan pada berbagai kesempatan, Mentan Syahrul meminta penegak hukum menangkap para pejabat daerah yang memberikan izin terhadap alih fungsi lahan pertanian.
Lala M. Kolopaking senada dengan Mentan Syahrul tapi menurutnya, alih fungsi lahan bukan hanya persoalan tata ruang, tapi juga harus memberikan peluang bagi petani untuk mencukupi ekonominya.
“Pemda membuat regulasi itu sudah kewajiban. Sehingga potensi surplus dan kekurangan bisa dipetakan. Seandainya kurang, tinggal memformulasikan bagaimana kerja sama antar wilayah. Jika itu dilakukan, ada nilai bisnis yg boleh dilakukan. Konteks ini tidak semata membicarakan produksi, membahas bagaimana agaribisnis dalam arti entity yg dimiliki warga setempat, tapi juga pertumbuhan local economic, itu yang kita dorong,” pungkas Lala. (eft)