(Ki-Ka) Husni Setiawan peneliti Scale up, Dr Rawa El Amady Direktur Scale up dan Irfan Miswari koordinator Riset dan Fundraising Scale Up. Scale Up memandang pemerintah daerah Provinsi Riau belum mampu untuk menyelesaikan permasalahan konflik perkebunan dengan baik.

Scale Up: Pemerintah Abaikan Penanganan Konflik Sawit

Loading

PEKANBARU (IndependensI.com) – Konflik pada sektor kelapa sawit di Provinsi Riau sejak awal reformasi di tahun 2016-2019 terus mengalami kenaikan dengan rata-rata sebesar 5 persen setiap tahunnya.

Pada tahun 2019, konflik pada sektor sawit sebanyak 38 kasus dari total 51 kasus konflik SDA di Riau. Total luas lahan konflik sebanyak 63.238 hektar di sembilan kabupaten di Riau dengan total kepala keluarga terdampak sebanyak 34.676 kepala keluarga.

Demikian hasil riset Scale up yang disampaikan di depan awak media, Selasa 28 Januari 2020 di Kantor Scale Up Pekanbaru Riau.

Dalam laporan Tahunan Riset Konflik Sumberdaya Alam di Riau tahun 2019 terungkap, Kabupaten Rokan Hulu menjadi daerah terbanyak kasus konflik kelapa sawit pada tahun 2019.  Rokan hulu menyumbang 26 persen dari total konflik kelapa sawit di Riau.

Selanjutnya Kabupaten Kampar sebanyak 21 persen, Indragiri Hulu sebanyak 18 persen, Pelalawan 13 persen, Bengkalis dan Rokan Hilir 8 persen dan Siak 6 persen. Jumlah desa yang berkonflik sebanyak 35 desa dengan luas 63.238 hektar dan kepala keluarga yang terdampak konflik di seluruh kabupaten di Riau terbanyak terdapat di Kabupaten Rokan Hulu.

Keterlibatan pemerintah dalam upaya penanganan konflik sektor perkebunan kelapa sawit di Riau tahun 2019 masih belum maksimal. Baik peran dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan, desa maupun legislatif. Dari total 38 kasus konflik sawit, keterlibatan pemerintah dalam upaya penanganan konflik hanya 24 kasus saja. Artinya pemerintah hanya terlibat sebesar 63 persen dari total kasus konflik pada tahun 2019.

Sementara itu, Pemerintah Provinsi Riau khususnya Dinas Perkebunan bukan hanya kurang perhatian bahkan cenderung mengabaikan penyelesaian konflik disektor Perkebunan ini.

Padahal jelas sekali bahwa konflik perkebunan sawit setiap tahunnya selalu terjadi peningkatan, dengan luas perkebunan sawit di Riau mencapai ai 3,38 juta ha atau hampir seperlima lahan sawit di tanah air yang mencapai 16,38 juta hektar.

Seharusnya pemerintah Provinsi Riau menunjukkan upaya yang maksimal melalui kebijakan penyelesaian konflik karena KPK RI pada April tahun 2019 mengungkapkan besarnya perkebunan ilegal yang dimiliki perusahaan.

Begitu juga data yang disampaikan Panitia khusus (Pansus) monitoring lahan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau pernah laporkan 190 perusahaan kelapa sawit terbukti tidak memiliki izin dasar perkebunan dan NPWP dengan potensi pajak perkebunan sawit di Provinsi Riau yang mencapai Rp 24 triliun, baru Rp 9 triliun yang mengalir ke kas Negara.

Keseriusan pemerintah daerah Riau dalam penanganan konflik perkebunan kepala sawit belum dilakukan secara baik. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya jumlah kasus konflik perkebunan sawit pada tahun 2019. Jumlah konflik perkebunan sawit pada tahun 2018 hanya 27 kasus, sedangkan tahun 2019 naik menjadi 39 kasus. Artinya terjadi kenaikan sebanyak 18% kasus konflik sawit pada tahun 2019.

Konflik di Riau masih menempati posisi pertama di Indonesia tahun 2019. Berdasarkan data konflik yang dirilis Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), jumlah konflik tertinggi di Indonesia sebanyak 28 yaitu di Jawa Barat. Sedangkan di Provinsi Riau, Scale Up mencatat konflik sepanjang tahun 2019 sebanyak 51 kasus.

Scale Up memandang pemerintah daerah Provinsi Riau belum mampu untuk menyelesaikan permasalahan konflik perkebunan dengan baik. Terbukti peran pemerintah daerah hanya 31% dari total kasus konflik perkebunan kelapa sawit di Riau.

Oleh karena itu, diperlukan penguatan struktur di dinas Perkebunan Provinsi Riau untuk membentuk satu unit yang berfungsi menangani kasus konflik sektor perkebunan.

Unit ini harus diisi oleh berbagai unsur seperti pemerintah, swasta, NGO, Akademisi dan masyarakat. Hal ini dibutuhkan agar pemerintah daerah memiliki instrumen untuk menyelesaikan konflik perkebunan kelapa sawit di Riau. Unit lintas sektor ini dipandang lebih efektif karena pihak yang sering berkonflik harus dapat memiliki satu pandangan terhadap konflik yang sedang dihadapi sehingga menemukan solusi terhadap masalah tersebut.

Permasalahan perkebunan kelapa sawit di Riau yang berkaitan dengan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah di Riau harus disikapi dengan bijaksana. Karena hal ini berkaitan dengan penyelamatan ekosistem lingkungan di Riau dan keberlangsungan pendapatan ekonomi masyarakat.

Usulan Pemerintah Provinsi Riau terkait perubahan kawasan kepada Kemantrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) tidak dikabulkan secara keseluruhan. Akibatnya sebanyak 682.805 hektar area perkebunan harus dikembalikan menjadi area kehutanan kawasan hutan.

Tidak hanya konflik sawit, pemerintah pusat maupun daerah juga belum serius dalam menangani konflik Sumber Daya Alam (SDA), sebab konflik SDA juga terus mengalami peningkatan.

Peningkatan konflik SDA ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya yaitu belum ada unit/lembaga yang serius dalam penanganan konflik perkebunan kelapa sawit di Riau, Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagai alat kontrol yang menjamin pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan belum mampu mengantisipasi dan menyelesaikan konflik yang terjadi.

Ketiga, Perda Rencana Tata Ruang Wilayah Riau No 10 tahun 2018 berpotensi menambah potensi konflik perkebunan kelapa sawit jika tidak di segera dicarikan solusi.

Scale Up merekomendasikan kepada pemerintah agar segera membentuk unit penanganan konflik di tingkat daerah yang terdiri dari berbagai unsur; pemerintah, swasta, masyarakat, NGO dan Akademisi agar konflik di Riau dapat di identifikasi secara menyeluruh dan menemukan solusi untuk konflik SDA di Riau.

Perda RTRW Riau No. 10 tahun 2018 harus disikapi dengan membentuk kebijakan yang tidak merugikan masyarakat dan negara secara umum. Langkah yang logis bisa dilakukan pemerintah daerah adalah membuat perda tentang peralihan bertahap dari perkebunan menjadi hutan.