JAKARTA (Independensi.com) – Pembentukan 4 provinsi di Kalimantan (Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Kalimantan Selatan), bagain dari kejahatan sejarah (part of historical crime), dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Karena empat provinsi dimaksud, masih berstatus Negara Bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS), lantaran dibentuk didasarkan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1945, sebelum dikeluarkan Dekrit Presiden Soekarno, 5 Juli 1959.
Sementara pembentukan Provinsi Kalimantan Utara berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2012, tanggal 16 Nopember 2012, menjadi perdebatan panjang, karena Provinsi Kalimantan Utara pemekaran dari Provinsi Kalimantan Timur yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959, tanggal 26 Juni 1959.
Indonesia mengalami dua kali perubahan undang-undang dasar, sebagai sumber hukum dalam mengarahkan kita kepada kehidupan yang tertib dan teratur untuk mencapai kesejahteraan, dengan menetapkan ideologi Pancasila sebagai filosofi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Periodisasi bentuk negara Indonesia yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yaitu periode 17 Agustus 1945 sampai dengan 16 Agustus 1950, dan Republik Indonesia Serikat (RIS) dimana wilalayah Pemerintah Provinsi berstatus Negara Bagian berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1945 yaitu periode 17 Agustus 1950 sampai dengan 4 Juli 1959.
Bentuk negara Indonesia, kembali lagi dari bentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, terhtung 5 Juli 1959 sampai sekarang, sebagai konsekeunsi logis dari Presiden Indonesia, Soekarno, mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959.
Isi Dekrit Presiden Soekarno, 5 Juli 1959, adalah pembubaran Badan Konstituante hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 1955, karena Badan Konstituante dinilai gagal mensepakati dasar negara, dan penggantian undang-undang dasar dari Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 17 Agustus 1950 kepada Undang-Undang Dasar (UUD) 17 Agustus 1945.
Konferensi Meja Bundar
Keberadaan Undang-Undang Dasar Sementara 17 Agustus 1950 (UUDS 1950) sebagai konsekuensi logis dari Kerajaan Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia berdasarkan Konferensi Meja Bundar di Denhaag, yaitu berbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949.
Berdasarkan periodisasi di atas, maka 4 dari 5 pemerintahan provinsi di Kalimantan berstatus Negara Bagian dari Republik Indonesia Serikat, karena dibentuk berdasarkan undang-undang dasar sebelum Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 (UUDS 1950), yaitu Provinsi Kalimantan Barat berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956, tanggal 7 Desember 1956.
Kemudian, Provinsi Kalimantan Tengah berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1957, tanggal 10 Mei 1957; Provinsi Kalimantan Timur berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959, tangal 26 Juni 1959; Provinsi Kalimantan Selatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956, tanggal 29 Nopember 1956.
Sementara dalam kenyataanya, salah satu sumber hukum pembentukan produk Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Gubernur (Pergub), tetap mengacu kepada undang-undang di dalam sistem Negara Bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai payung hukum pembentukan empat provinsi yang bersangkutan di Kalimantan.
Sehungan dengan itulah tuntutan Otonomi Khusus Kalimantan, bukan tindak makar, dan bukan pula bentuk aksi teror terhadap Pemerintah Pusat, tapi hak warga negara berdasarkan konstitusi.
Tuntutan Otonomi Khusus Kalimantan, sebagai salah satu solusi supaya masyarakat di wilayah itu, tidak melakukan berbagai tindakan disintegrasi yang bisa mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ada 8 legal standing tuntutan Otonomi Khusus Kalimantan, sehubungan pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Provinsi Kalimantan Timur, sebagaimana pengumuman Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) di Jakarta, Senin, 26 Agustus 2019.
Pertama, empat provinsi di Kalimantan masih berstatus “Negara Bagian” dari Republik Indonesia Serikat, karena dibentuk berdasarkan produk undang-undang sebelum Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yaitu Provinsi Kalimantan Barat berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956, tanggal 7 Desember 1956.
Kemudian, Provinsi Kalimantan Tengah berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1957, tanggal 10 Mei 1957; Provinsi Kalimantan Timur berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959, tangal 26 Juni 1959; Provinsi Kalimantan Selatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956, tanggal 29 Nopember 1956.
Kedua, Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 4 Tahun 1967, tentang pembakuan nama rupabumi, dimana digariskan penyebutan dan atau penulisan nama wilayah dan fasilitas umum bentukan manusia, harus mengacu kepada kearifan lokal masyarakat setempat.
Identitas lokal
Di samping itu harus mengacu kepada bahasa daerah setempat, legenda suci setempat, mitos suci setempat, adat istiadat setempat dan hukum adat setempat. Pembakuan nama rupabumi, di Indonesia dipertegas di dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2006, dan secara lebih teknis keluar Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 900/1178/PUM, tanggal 5 April 2013, demi terwujudnya identitas lokal dalam integrasi regional, nasional dan Internasional.
Ketiga, Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 12230, tanggal 17 Nopember 1999, dengan menetapkan setiap tanggal 21 Februari sejak tahun 2000, sebagai Hari Bahasa Ibu International.
Berdasarkan sidang United Nation General Assemby (UNGA) pada 18 Oktober 2019, menetapkan Perayaan Hari Bahasa Ibu Internasional, berlangsung selama satu dekade, yaitu 2022 – 2032.
Keempat, Deklarasi Hak-hak Masyarakat Adat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 61/295, tanggal 13 September 2007, berupa hak individual dan kolektif para penduduk asli (pribumi), di antaranya hak mempertahankan identitas budaya, hak mempertahankan tanah adat, hak memperoleh pekerjaan layak, hak memperoleh fasilitas pendidikan dan kesehatan, hingga berhak menentukan sikap politiknya.
Kelima, Pasal 225 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang sudah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014, tentang Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan bahwa daerah-daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus, dalam kaitan Kalimantan berbatasan laut dan darat langsung dengan Federasi Malaysia dan Kerajaan Brunei Darussalam.
Keenam, Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dimana ayat (1), menyebut, Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang.
Pada ayat (2) menyebut, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Ketujuh, putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK-RI) Nomor 35-PUU-X/2012, tanggal 16 Mei 2013, tentang Hutan Adat menyatakan bahwa Hutan Adat milik Masyarakat Adat setempat.
Kedelapan, putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK-RI) Nomor 97-PUU-XIV/2016, tanggal 7 November 2017, tentang pengakuan aliran kepercayaan yang dimaknai pula pengakuan terhadap sistem religi (agama) berbagai suku bangsa di Indonesia yang bersumber doktrin: legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum dari suku bangsa yang bersangkutan di Indonesia.
Berkeadilan sosoal
Tuntutan Otonomi Khusus Kalimantan, wujud kesadaran baru di kalangan masyarakat di Kalimantan untuk memperjuangkan secara damai dan konstitusional pengakuan terhadap hak-hak dasar serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pelanggaran dan perlindungan Hak Asasi Manusia demi terwujudnya program pembangunan yang berkeadilan sosial.
Cita-cita dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia: adalah membangun masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Masyarakat di Kalimantan sebagai insan ciptaan Tuhan dan bagian dari umat manusia yang beradab, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, nilai-nilai agama, demokrasi, hukum, dan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat hukum adat, serta memiliki hak untuk menikmati hasil pembangunan secara wajar.
Sementara dalam hal ekonomi, Kalimantan adalah daerah yang kaya sumber daya alamnya, namun masyarakatnya, tertinggal dalam banyak bidang seperti ekonomi, kesejahteraan masyarakat, pendidikan, kesehatan dan lainnya.
Selama ini hasil kekayaan alam Kalimantan belum dinikmati secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat asli, sehingga berakibat terjadinya kesenjangan antara Kalimantan dan daerah lain, antara penduduk asli dan bukan asli, bahkan cenderung terjadinya pengabaian hak-hak dasar penduduk asli di Kalimantan.
Di daerah pedalaman dan perbatasan Kalimantan, masyarakat tidak menikmati jalanan beraspal, tidak menikmati listrik, layanan kesehatan yang memadai dan pendidikan yang layak.
Untuk mengurangi kesenjangan antara provinsi di Kalimantan dan provinsi lain, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di Kalimantan, serta memberikan kesempatan kepada masyarakat di Kalimantan, diperlukan adanya kebijakan khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam Undang-Undang;
Integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus tetap dipertahankan dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat dari berbagai suku di Kalimantan, melalui penetapan daerah Otonomi Khusus; sebagai jaminan membendung berbagai paham yang bertentangan dengan ideologi Pancasila.
Penduduk dari berbagai suku di Kalimantan adalah salah satu rumpun dari ras Mongoloid yang merupakan bagian dari suku-suku bangsa di Indonesia, yang memiliki keragaman kebudayaan, sejarah, adat istiadat, dan bahasa sendiri.
Penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Kalimantan selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum berkeadilan, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di Kalimantan.
Pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Kalimantan belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli, sehingga telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara Kalimantan dan daerah lain, serta merupakan pengabaian hak-hak dasar penduduk di Kalimantan;
Dalam rangka mengurangi kesenjangan antara provinsi di Kalimantan dan Provinsi lain, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di Kalimantan, serta memberikan kesempatan kepada penduduk di Kalimantan, diperlukan adanya kebijakan khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
Terciptanya kedamaian
Otonomi Khusus Kalimantan merupakan langkah mempercepat proses menjadikan kebudayaan di Kalimantan menjadi kebudayaan nasional. Karena kebudayaan nasional, berasal dari kebudayaan daerah yang disosialisasikan secara terus-menerus kalangan internal, kemudian diterima ranah psikologis masyarakat regional, nasional dan internasional, sehingga akhirnya dinyatakan sebagai kebudayaan nasional.
Kemudian, demi terciptanya kedamaian, kesejahteraan dan keadilan, serta penyelarasan dan percepatan pembangunan sosial, ekonomi, dan politik, berideologi Pancasila sebagai filosofi kehidupan berbangsa dan bernegara (dalam upaya memberangus paham radikalisme yang selalu berimplikasi kepada aksi teorisme), berlandaskan kebhinekaan, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, sehubungan pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Provinsi Kalimantan Timur.
Kalimantan wilayah Indonesia, berbatasan darat dan laut langsung dengan Negara Bagian Sabah dan Negara Bagian Sarawak, Federasi Malaysia, dan Kerajaan Brunei Darusssalam, yang membutuhkan penanganan khusus, melalui Otonomi Khusus Kalimantan.
Sebagai pendukung 8 point legal standing tuntutan Otonomi Khusus Kalimantan, di dalam Protokol Tumbang Anoi 2019, hasil Seminar Internasional dan Ekspedisi Napak Tilas Damai Tumbang Anoi 1894 tahun 2019, di Cagar Budaya Rumah Betang Damang Batu, Desa Tumbang Anoi, Kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah, 22 – 24 Juli 2019, salah satunya, menuntut Otonomi Khusus Kebudayaan Kalimantan.
Otonomi Khusus Kalimantan adalah kewenangan khusus yang diberikan kepada 5 provinsi, yaitu Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Selatan, dan Provinsi Kalimantan Utara, untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat, sebagai syarat utama mendukung pemindahan Ibu Kota Negara ke Provinsi Kalimantan Timur, karena Kalimantan berbatasan darat dan laut dengan Federasi Malaysia dan Kerajaan Brunei Darussalam.
Pemberlakuan kebijakan khusus melalui Otonomi Khusus Kalimantan, didasarkan pada nilai-nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga negara;
IKN Ilegal
Status Negara Bagian dari sebuah provinsi di Indonesia, karena dibentuk didasarkan undang-undang sebelum Dekrit Presiden, 5 Juli 1959, diakui Gubernur Bali, I Wayan Koster.
Gubernur Bali, I Wayan Koster, tiba-tiba membuat geger kalangan politisi dan praktisi hukum, sehubungan manuver politiknya dalam rapat kerja dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Jakarta, Jumat, 7 Februari 2020.
“Saya harap DPR RI segera membahas Rancangan Undang-Undang Provinsi Bali atau RUU Provinsi Bali, karena payung hukum undang-undang sebelumnya lemah, masih mengacu kepada Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950, tanggal 17 Agustus 1950,” ujar Wayan Koster.
“Jadi Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958, tanggal 11 Agustus 1958, tentang pembentukan Provinsi Bali, sudah tidak relevan. Saat itu, Republik Indonesia Serikat (RIS), misalnya nama kami masih Sunda Kecil dan Ibu Kotanya di Singaraja,” tambah Wayan Koster.
Menurut Wayan Koster, ”Ibu Kota Provinsi Bali sekarang adalah Denpasar. Sekarang kami kan NKRI, Bali bagian NKRI. Jadi kalau pakai Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1950, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) kan Negara Bagian. Jadi Undang-undang ini harus diubah.”
Lucunya, menurut I Wayan Koster, selain tidak sesuai UUD 1945 dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sejumlah produk hukum daerah seperti Peraturan Daerah dan Peraturan Gubernur Bali dalam konsiderannya masih mengacu pada Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 yang sebetulnya sudah tidak berlaku.
Karena itu, pemberlakukan Otonomi Khusus Kalimantan, memperteguh kembali status Negara Bagian dari Republik Indonesia Serikat, atas Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Tengah, dan Provinsi Kalimantan (serta Provinsi Kalimantan Utara sebagai pemekaran dari Provinsi Kalimantan Timur).
Pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Kalimantan, merupakan tindakan illegal dari Pemerintah Pusat, apabila terlebih dahulu tidak memperkukuh status Negara Bagian dari provinsi-provinsi di Kalimantan dalam bentuk pemberlakuan Otonomi Khusus Kalimantan. (Aju)
Pontianak, 11 Februari 2020
Aju, Wartawan dan Divisi Pelayanan Publik Data Informasi Majelis Hakim Adat Dayak Nasional (MHADN).