JAKARTA (Independensi.com) – Beberapa hari lalu, publik kembali dibuat geram dengan terkuaknya kasus pedofil anak sesama jenis dan eksploitasi seksual yang disebarluaskan melalui media daring, yang dilakukan oleh seorang penjaga sekolah sekaligus pelatih ekstrakurikuler di Jawa Timur. Asisten Deputi Perlindungan Anak dalam Situasi Darurat dan Pornografi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Ciput Eka Purwianti menegaskan agar pelaku pedofil dan kejahatan seksual terhadap anak harus mendapatkan hukuman yang setimpal agar memberikan efek jera.
“Kami memberikan apresiasi kepada Bareskrim Polri atas terungkapnya kasus ini. Kami akan melakukan pendampingan dan memastikan penanganan selama proses penyelidikan dan pemulihan anak korban sesuai kepentingan terbaik anak. Pemulihan kondisi anak korban, baik fisik maupun psikologisnya menjadi fokus utama kami agar mereka dapat kembali bermain dan belajar layaknya anak-anak yang lain,” ujar Ciput.
Kemen PPPA telah diberikan amanah untuk melindungi dan memastikan pemenuhan hak-hak anak Indonesia. “Namun Kemen PPPA tidak dapat bekerja sendiri, kami mohon kerjasama seluruh pihak, termasuk Polri dan pemerintah daerah sebab dibutuhkan komitmen dan sinergi yang sungguh-sungguh dalam menuntaskan segala bentuk kekerasan dan eksploitasi terhadap anak,” tutur Ciput.
Melihat latar belakang tersangka melakukan tindak pidana pencabulan anak menjadi sebuah alarm bagi kita semua untuk lebih meningkatkan upaya pencegahan agar anak terhindar dari segala bentuk kejahatan tersebut. “Ke depan, Kemen PPPA akan memperkuat kerjasama dengan stakeholder terkait, seperti Kemenkominfo, Kemendikbud, Pemerintah Daerah dan Siber Kreasi dalam upaya pencegahan melalui literasi digital bagi orang tua, digital parenting, internet aman bagi anak, Guru SIAP, dan inovasi-inovasi lainnya yang memungkinkan anak terhindar dari akses pornografi dan tereksploitasi seksual di ranah daring,” ujar Ciput.
Sementara itu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Argo Yuwono menuturkan terungkapnya kasus ini berdasarkan hasil penyelidikan dan kerjasama Subdit 1 Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri dengan The US Immigration and Customs Enforcement (US ICE). “Terungkapnya jaringan komunitas pedofil anak laki-laki sesama jenis ini berawal dari informasi US ICE yang mendapatkan unggahan video berisi konten menyimpang di sebuah akun Twitter. Kemudian Bareskrim Polri melakukan penelusuran dan penyelidikan, hingga penangkapan tersangka berinisial PS (44) di rumah penjaga sekolah di daerah Jawa Timur,” ujar Brigjen (Pol) Argo.
Brigjen (Pol) Argo menuturkan akan melakukan kerjasama dengan Kemen PPPA dalam mengawal proses pemulihan anak korban melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) guna mendapatkan kesaksian korban dengan mendahulukan kepentingan terbaik bagi anak dengan pendekatan yang lebih humanis dan ramah anak. Ia menambahkan pihaknya masih terus melakukan analisis terhadap akun twitter tersangka yang digunakan sebagai media penyebaran foto dan video guna mengungkap jaringan pedofil yang lebih luas.
“Tersangka akan dijerat dengan undang-undang tindak pidana pencabulan terhadap anak dan/atau tindak pidana eksploitasi seksual terhadap anak dan/atau tindak pidana dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan/ menyebarkan konten pornografi anak melalui media elektonik. Tersangka mendapatkan ancaman hukuman pidana penjara paling lama 15 tahun dan atau denda paling banyak 6 miliar rupiah,” tutur Brigjen (Pol) Argo.
Berdasarkan informasi tersangka, terdapat tujuh korban berusia 6-15 tahun. Aksi cabul tersangka sudah dilakukan sejak delapan tahun lalu. Selain itu, PS juga merekam aksinya dan menyebarkan di grup sosial media twitter. PS membujuk korban dengan diberikan uang, minuman keras, rokok, kopi, dan akses internet. Lalu, PS juga mengancam jika tidak mau dicabuli, maka korban tidak diikut sertakan dalam kegiatan-kegiatan sekolah. Aksi kekerasan dan eksploitasi seksual tersebut dilakukan di lingkungan sekolah, yakni di ruang Unit Kesehatan Sekolah (UKS) dan rumah dinas penjaga sekolah.
Tersangka PS merupakan korban kekerasan seksual (dicabuli dan disodomi) sejak usia 5-8 tahun oleh pamannya yang saat ini telah meninggal dunia. Pengalaman buruk saat usia anak menyebabkan PS mulai memiliki penyimpangan seksual karena terstimulasi oleh kebiasaan melihat konten pornografi anak di media sosial dan kemudian bergabung dengan komunitas pedofil.