Sekjen DPP GMNI Sujahri Somar

GMNI Kecam Pelarangan Ibadah Terhadap Jemaat GPdI Jonggol

Loading

JAKARTA (Independensi.com) –  Aksi pelarangan beribadah seakan tak berhenti terjadi di negeri ini. Belum lama setelah terjadinya pelarangan ibadah terhadap jemaat HKBP KSB di Kabupaten Bekasi, peristiwa serupa terjadi lagi di Jonggol, Kabupaten Bogor, Jawa Barat pada Minggu (20/9/2020).

Sebagaimana tampak dalam video yang viral di media sosial dan telah tayang di situs berbagi video YouTube, pelarangan ibadah itu dilakukan oleh segelintir warga Graha Prima, Jonggol, terhadap jemaat dari Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) .

Adu mulut pun  sempat terjadi antara jemaat GPdI dengan sekelompok warga yang dipimpin oleh Ketua RT setempat. Jemaat menegaskan, bahwa yang akan mereka lakukan adalah bagian dari pembinaan iman semata agar jemaat memiliki moralitas yang baik. Namun, segelintir warga itu tetap melarang jemaat tersebut melakukan ibadah.

Menanggapi hal itu, Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP GMNI) mengecam pelarangan ibadah tersebut.

Sekjen DPP GMNI Sujahri Somar sangat menyesalkan terjadinya lagi aksi  persekusi Intoleransi terhadap kelompok masyarakat minoritas.

Dia menegaskan, aksi Intoleransi berupa pelarangan beribadah, apabila dibiarkan terus-menerus akan menjadi preseden buruk bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Pembiaran yang terus berulang terhadap aksi Intoleransi sangat mengancam soliditas bangsa ini. Negara hendaknya tidak terus berdiam diri,” tegas Sujahri.

Sujahri menegaskan, GMNI tak bosan untuk mengingatkan bahwa kebebasan beragama dan beribadah telah dijamin penuh oleh Pancasila dan UUD 1945.

Bahkan, sila pertama Pancasila berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa. Yang artinya, sebagai warga negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, sudah sepatutnya menyembah Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan keyakinan nya.

“Belum lagi, bila kita bicara pasal-pasal dalam UUD 1945, tepatnya Pasal 28 huruf E, I dan J serta Pasal 29 ayat 2. Sudah jelas bahwa negara menjamin kebebasan beribadah setiap warga nya. Lalu pertanyaan kami, apakah para penyelenggara negara dari pusat hingga daerah tak tahu atau tak hapal isi Pancasila dan UUD 1945?? Sehingga membiarkan aksi Intoleran terus berulang??,” tegas Sujahri.

GMNI pun tak jenuh mendesak negara untuk mengevaluasi  Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 yang memperparah pelanggaran kebebasan beribadah di negeri ini, karena kerap menjadi alat kelompok intoleran untuk melanggar kebebasan beribadah kelompok masyarakat lainnya. Peristiwa Jonggol tersebut, merupakan contoh faktual dari digunakannya alasan Peraturan Bersama 2 Menteri tersebut untuk melarang warga lain beribadah.

“Kebebasan beribadah telah dijamin penuh Pancasila dan konstitusi. Sangat tak layak apabila harus terpasung oleh birokrasi akibat peraturan setingkat menteri,” tegas Sujahri.

Terkait lokasi aksi Intoleran yang lagi-lagi berada di Jawa Barat, Sujahri pun “menyentil” Pemerintah Provinsi Jabar agar serius menangani persoalan tersebut.

Mengingat, sambung Sujahri, Jawa Barat kerap muncul sebagai daerah  dengan tingkat intoleransi tertinggi di Indonesia dalam beberapa riset. Hasil temuan Setara Institute dan Kementerian Agama  akhir tahun lalu menunjukkan hal tersebut.

“Pemprov Jabar, khususnya Gubernur, juga tak bisa abai terhadap persoalan Intoleransi ini. Kebebasan beragama dan beribadah di Jabar harus betul-betul dijamin oleh seluruh stakeholder, terutama Pemprov,” ujar Sujahri.(Pr)