Independensi.com – Keputusan DPR mengesahkan Rancangan Undang Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi Undang Undang (UU) memicu protes keras dari kalangan buruh. DPR dan pemerintah dinilai tidak sensitif, tidak mendengarkan suara publik yang sejak awal menolak keras pembahasan RUU Cipta Kerja.
Keberadaan RUU Cipta Kerja ini justru dinilai sebagai celaka bagi para pekerja, sehingga tidak layak dilanjutkan, apalagi disahkan menjadi UU. Protes pun sempat terjadi di sejumlah daerah di Indonesia agar pembahasan RUU yang dipelesetkan sebagai RUU Cilaka ini dibatalkan.
Namun pemerintah dan DPR memiliki optimisme dan cara pandangan sendiri, dan yakin bahwa RUU Cipta Kerja banyak manfaat bagi kemajuan Indonesia maupun kepastian bagi pekerja, terutama pembukaan lapangan kerja.
Selama ini UU Ketenagakerjaan yang berlaku dinilai masih memiliki hambatan bagi daya tarik investor untuk masuk berinvestasi. Dampaknya investasi masuk tidak maksimal sebagaimana diharapkan oleh pemerintah yang menargetkan pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja cukup tinggi.
Kendala yang dihadapi selama ini memang terkait birokrasi yang masih berbelit dan panjang. Investor harus berurusan panjang dengan pemerintah daerah, meskipun sudah mendapat persetujuan dari pemerintah pusat. Artinya ada ‘raja-raja kecil’ di daerah yang bisa membatalkan masuknya investasi, paling tidak menghambat. Dengan alasan memangkas birokrasi, pemerintah pusat ingin menyederhanakan birokrasi perizinan tersebut.
Salah satunya adalah dengan menarik kembali wewenang yang sebelumnya dilimpahkan ke daerah. Peraturan yang selama ini berada dalam kendali kepala daerah dicabut dan dikembalikan ke pusat. Bahkan ada pasal dalam rancangan itu yang dapat membatalkan aturan pemerintah daerah.
Atas dasar itu pula, ada kekhawatiran bahwa UU Cipta Kerja bakal mengancam keberadaan Undang-Undang Pemerintah Aceh, Otonomi Khusus Papua dan lain sebagainya. Wajar jika terjadi letupan protes terhadap UU Cipta Kerja tersebut di berbagai daerah.
Ada banyak hal yang dinilai janggal dalam pembahasan RUU Cipta Kerja ini. Misalnya, cara pemerintah pusat membahas aturan ini yang dinilai tidak transparan dan mengabaikan suara publik. Proses penyusunan aturan ini dikebut dalam enam bulan dan banyak yang serba rahasia.
Penyusunan hanya bagi segelintir pengusaha alias investor yang sepertinya mendapat karpet merah dalam pembahasannya. Selain itu, pasal-pasal diatur, minim keterlibatan publik dan kajian akademik.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar mengatakan bahwa RUU Cipta Kerja memperburuk wajah hubungan industrial yang banyak diwarnai konflik dan merugikan buruh. Di tengah ketidakpastian pandemi covid-19, kehadiran RUU itu kian mereduksi perlindungan dan kesejahteraan buruh.
Pengusaha juga lebih mudah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan undang undang baru. Pasal 161 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur keharusan pengusaha memberikan surat peringatan tiga kali sebelum melakukan PHK, di dalam RUU Cipta Kerja dihapus.
Demikian pula dalam hal penyelesaian pekerjaan kontrak, ditentukan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Pekerja kontrak juga terancam tidak diangkat menjadi karyawan tetap. Buruh kontrak dan alih daya terancam tidak mendapat jaminan.
Parahnya lagi, nilai pesangon berkurang bagi buruh. Di aturan baru buruh mendapatkan pesangon maksimal 25 kali upah, sedangkan di aturan sebelumnya pesangon ditetapkan 32 kali upah.
Meski dianggap merugikan pekerja atau buruh, namun Ketua Panitia Kerja RUU Cipta Kerja yang juga Ketua Badan legislasi DPR, Supratman Andi Agtas menepis semua tuduhan itu. Justru peraturan baru itu lebih meningkatkan perlindungan bagi pekerja dengan adanya JKP yang dikelola melalui mekanisme BPJS Ketenagakerjaan yang sepenuhnya ditanggung negara.
Pasca pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja, Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah menulis surat terbuka kepada serikat buruh. Alasannya pemerintah ingin mencari titik keseimbangan antara melindungi orang yang bekerja dan memberikan kesempatan kepada orang yang menganggur.
Kebenaran itu memang ada di mana-mana, pihak yang tidak setuju juga memiliki fakta-fakta kebenaran yang tidak bisa diabaikan. Makanya publik berteriak dan minta pembahasan RUU dibatalkan.
Namun disisi lain, pemerintah juga punya alasan tersendiri kenapa keberadaan RUU Cipta Kerja itu penting dan mendesak, terutama dalam rangka mendongkrak investasi dan memperluas lapangan kerja.
Bagi pihak yang keberatan dengan RUU ini, tentu bisa menempuh uji material di Mahkamah Konstitusi. Kalau MK memutuskan akan membatalkan, maka pemerintah juga harus berlapang dada. Dengan demikian tidak perlu ada kegaduhan, karena kondisi bangsa ini sudah sulit akibat dampak pandemi covid-19.