PEKANBARU (Independensi.com) –
Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) tidak akan mengagendakan rapat atau musyawarah untuk mengusir Kapolda Riau dari bumi Lancang Kuning, sehubungan tindakan jajaran Polda Riau yang dianggap represif dalam menangani unjuk rasa Kamis, (8/10/2020) lalu.
Hal itu disampaikan Datuk Seri H Al Azhar (Ketua Umum Majelis Kerapatan Adat LAMR) dan Datuk Seri Syahril Abu Bakar (Ketua Umum Dewan Pimpinan Harian LAMR) dalam realise yang diterima Independensi.com, Minggu (11/10/2020) malam.
Kapolda Riau itu pejabat yang menjalankan tugas negara yang dibebankan padanya, sehingga tidak pada alurnya atau bukan kewenangan LAMR menjatuhkan sanksi kepada se-seorang atas tindakannya disaat yang bersangkutan menjalankan tugas resmi kenegaraan.
Oleh karena itu, permintaan Koordinator Jikalahari sebagaimana disampaikan Made Ali, baik secara lisan maupun sewaktu mendatangi Balai Adat Melayu Riau pada hari Jumat (9/10/2020) lalu, sebaiknya ditujukan kepada yang berwewenang untuk itu, sesuai dengan hukum atau peraturan negara yang mengaturnya.
Datuk Seri Al Azhar maupun Datuk Seri Syahril Abubakar sepakat, bahwa Lembaga Adat Melayu Riau saat ini masih merumuskan Undang-Undang Cipta Kerja, apalagi sampai hari ini (Minggu, 11/10/2020), LAMR belum menerima dokumen sahihnya untuk di pelajari secara mendalam.
Pastinya, LAMR juga tidak mau kepentingan masyarakat ter-abaikan, terutama yang menyangkut kedaulatan masyarakat adat, nasib pekerja dan pendidikan, tegas Syahril Abubakar.
Terkait kerusuhan yang terjadi saat unjuk rasa berbagai komponen masyarakat di Provinsi Riau yang menolak pengesahan UU Cipta Kerja, Datuk Seri Syahril Abubakar maupun Datuk Seri Al Azhar sama-sama menyatakan rasa keprihatinannya yang mendalam. Menurut mereka, pro-kontra terhadap pengesahan UU Cipta Kerja sangat dipahaminya.
Unjuk rasa sebagai ekspresi pro maupun kontra itupun sudah menjadi instrumen perjuangan di alam demokrasi.
Namun keduanya sepakat, unjuuk rasa tak perlu anarkis, karena bisa menggeser substansi yang diperjuangkan ke hal-hal lain, disamping mencederai adab dan adat Melayu yang menjadi teras budaya negeri ini.
“Kita sepakat Riau ini negeri Melayu. Ke-Melayuan sejati negeri ini ditunjukkan keseharian kita sebagai warga negeri ini, baik ketika sendiri, bersama keluarga, maupun disaat kita berada di ruang umum,” ujar Al Azhar.
Sebagaimana diketahui, Made Ali selaku Koordinator Jikalahari Riau, Jumat (9/10) secara langsung menyampaikan permintaan di Balai Adat Melayu Riau, mendesak LAM Riau agar mengusir Kapolda Riau Irjen (Pol) Agung Setya Imam Efendi dari bumi Lancang Kuning.
Karena Jikalahari menganggap aparat Polda Riau melakukan tindakan anarkis terhadap anak-anak masyarakat adat, mahasiswa di saat melakukan unjuk rasa menolak Omnibus Law beberapa hari lalu.
Made Ali sebagaimana di rilis berbagai media di Riau beranggapan, akibat gas air mata dan gas beracun yang ditembakkan polisi selama sekitar dua jam kepada peserta demo termasuk Jikalahari didalamnya, membuat massa lari kocar-kacir sambil teriak dan menangis, ada yang jatuh hingga pingsan.
“Tindakan itu bertentangan dengan adat masyarakat Riau yang menjunjung tinggi falsafah; Raja Alim Raja Disembah, Raja Zalim Raja Disanggah,” ujar Made Ali. (Maurit Simanungkalit)