JAKARTA (Independensi.com) – Sebuah penelitian tentang penyakit diabetes belum lama ini menyebutkan bahwa terapi eksperimental dapat menghilangkan kebutuhan akan insulin.
Seperti yang dilansir dari Medical News Today – para ilmuan telah mengusulkan terapi baru untuk penderita diabetes tipe 2. Jika terapi ini terbukti efektif, hal ini dapat membantu pasien untuk berhenti menggunakan pengobatan dengan insulin.
Para penulis penelitian mempresentasikan temuan mereka di konferensi UEG Virtual Week 2020 yang diselenggarakan oleh organisasi nirlaba profesional spesialis kesehatan pencernaan, United European Gastroenterology.
Menurut Institut Nasional Diabetes dan Penyakit Pencernaan dan Ginjal Amerika Serikat, seseorang dapat menderita diabetes tipe 2 dikarenakan kadar gula di dalam darahnya terlalu tinggi.
Seseorang mendapatkan gula darah atau glukosa darah umumnya dari makanan yang mereka konsumsi. Insulin membantu sel – sel dalam tubuh untuk mengubah glukosa menjadi energi. Namun, tubuh penderita diabetes tipe 2 tidak menghasilkan insulin yang cukup atau tidak mampunya sel – sel di dalam tubuh mereka merespons insulin sebagaimana mustinya.
Akibatnya, glukosa dalam darah mereka meningkat dan dapat menyebabkan komplikasi diabetes seperti; penyakit jantung dan ginjal, gangguan pengelihatan, juga rasa kebas pada anggota tubuh. Semakin tinggi kadar gula dalam darah, semakin tinggi pula risiko komplikasi ini.
Dokter biasanya menyarankan penderita untuk mengubah gaya hidup, seperti menjadi lebih aktif secara fisik, mengonsumsi makanan yang lebih sehat, juga obat – obatan untuk mengkontrol tekanan darah dan kadar glukosa dalam darah.
Pengobatan dengan insulin mungkin diperlukan jika seseorang tidak dapat mempertahankan kadar gula dalam darahnya pada tingkatan yang normal.
Pengobatan insulin dapat berupa suntikan, pompa, dan inhaler. Pengobatan dengan insulin dilakukan agar sel – sel dalam tubuh penderita dapat menyerap lebih banyak gula di dalam darah.
Terapi eksperimental
Namun beberapa tahun terakhir ini para peneliti dibalik penelitian ini menggunakan teknik baru yang pertama kali dilakukan pada manusia di tahun 2016. Hasil awal teknik tersebut tampaknya menjanjikan dan tentu saja menjadi kabar baik bagi para penderita diabetes.
Teknik baru tersebut dinamakan duodenal mucosal resurfacing (DMR). Duodenum adalah bagian pertama dari usus halus seseorang. Teknik ini melibatkan pengangkatan lapisan mukosa duodenum untuk menghilangkan sel – sel di area yang ditargetkan menggunakan air yang dipanaskan.
Para peneliti yang mengembangkan teknik baru ini mencoba meniru efek positif dari operasi bariatrik terhadap kadar gula darah dengan teknik yang tidak terlalu invasif.
Studi tentang bagaimana operasi bariatrik meningkatkan control akan kadar gula dalam darah, menyimpulkan bahwa ada efek langsung dari duodenum selain penurunan berat badan. DMR dapat dilakukan pada pasien rawat jalan. Ini melibatkan kateter endoskopi sebagai akses ke duodenum.
Efek langsung dari usus halus pada kontrol glukosa tampaknya berasal dari adanya sel T limfosit intrapitelial yang terletak di antara sel – sel usus yang berfungsi dalam penyerapan nutrisi dalam makanan.
Limfosit intrapitelial ini mengurangi jumlah hormon yang ada di usus, GLP-1. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini, para peneliti menambahkan dosis reguler GLP-1 agonis yang disebu liraglutide pada hari ke-14.
Hal tersebut dilakukan untuk mencegah penurunan jumlah hormon antidiabetes yang penting. Peserta penelitian juga menerima konseling gaya hidup untuk membantu mereka menurunkan kadar gula darah mereka.
Studi tersebut melibatkan 16 peserta dengan diabetes tipe 2 yang menerima pengobatan dengan insulin. Dari peserta yang melakukan terapi eksperimental ini dengan liraglutide, 12 peserta atau 75% mampu berhenti menggunakan insulin dan mempertahankan kontrol gula darahnya selama 6 bulan. (Immanuel Nauly)